Revealed

Langkah buru-buru Biru lantas membawanya ke arah ruang rawat dimana Jeva kini sedang bertugas, tepatnya di unit stroke. Degup jantung Biru pun semakin tak beraturan ketika dia melihat beberapa perawat berkerumun di sekitar pintu kaca ruangan itu.

Belum sempat Biru masuk guna melihat apa yang sedang terjadi di dalam sana, sebuah brankar pasien tiba-tiba keluar. Pacarnya pun ikut mendorong brankar itu bersama Dokter Malik dan Julian serta dua orang perawat wanita. Pun sosok pria paruh baya yang Biru ketahui ialah suami pasien.

Tanpa membuang waktu, Biru kemudian ikut membantu. Dia tak henti-henti memandangi si pujaan hati hingga Biru lantas sadar bahwa sudut bibir Jeva memerah, bahkan sedikit luka.

Namun Biru tidak berani untuk bertanya baik itu kepada Julian yang berada di sisinya maupun ke Jeva. Waktunya belum tepat.

Laju brankar kemudian berakhir di ruang ICU. Dokter Malik yang merupakan penanggung jawab dari pasien itu pun masuk ke ICU bersama seorang Residen saraf.

“Dok, saya boleh ikut?” tanya Jeva ke Dokter Malik sebelum perawat menutup pintu ICU.

“Jangan berani dekat-dekat sama istri saya lagi! Saya enggak mau Dokter yang masih belajar kayak kamu ikut ngerawat istri saya!”

Biru dengan sigap menarik Jeva saat suami dari pasien wanita itu berteriak histeris lalu tiba-tiba hendak menyerang sang pacar. Beruntung, Julian juga dengan sigap menahan paruh baya itu.

Dokter Malik sekaligus Konsulen yang melihat kegaduhan itu pun tak tinggal diam. Dia pun kembali berdiri di hadapan suami pasien, berusaha ‘tuk menenangkannya.

“Pak, saya mohon tenang ya. Istri Bapak akan kami beri perawatan di dalam. Tolong biarkan kondisi di sini kondusif,” ujar si Dokter.

“Tenang kata kamu, Dok?” si pria paruh baya lalu menggeleng tak percaya sebelum menunjuk Jeva.

“Dia udah bikin istri saya koma! Padahal dua hari yang lalu istri saya gak kenapa-kenapa,” lanjut suami pasien. “Istri saya cuma lemah separoh kaki sama tangan, sakit kepala, muntah. Cuma itu!”

Jeva menarik napasnya dalam-dalam sebelum melepas tautan lengannya dengan Biru. Dia lalu tersenyum tipis ke pacarnya itu, seolah memberitahu Biru secara tersirat bahwa dia baik-baik saja.

Setelahnya, Jeva lalu mendekati si pria paruh baya dan bersuara.

“Pak, saya mohon. Tolong kasih saya izin buat ngejelasin kondisi istri Bapak sambil Dokter Malik ngasih perawatan di dalam. Ya?”

“Saya gak mau denger apa-apa lagi dari kamu!” pria paruh baya itu tetap kekeh lalu menoleh ke arah Dokter Malik, “Saya nggak mau tau. Kalau istri saya kenapa- kenapa, Dokter sama anak Koas ini akan saya laporkan ke Polisi!”

Menghela napas pelan, Dokter Malik kemudian mengangguk. Sementara suami pasiennya itu lantas menjauhi kerumunan di depan ICU dan memilih untuk menangis di atas kursi tunggu.

“Jeva,” Dokter Malik memandangi si Koas. “Kamu harus bisa ngasih konseling ke suami pasien sampe dia paham. Kamu ngerti ini kan? Kamu yang merawat pasien tadi.”

“Iya, Dok.” lirih Jeva.

“Kalau saat saya keluar dari ICU nanti dan kamu masih gak bisa bikin suami pasien paham, nilai kamu akan saya kurangi.” tegas Dokter Malik sebelum masuk ke dalam ruang ICU, meninggalkan Jeva, Biru dan Jul di tempat itu.

Biru bisa melihat bagaimana bola mata Jeva telah berkaca-kaca. Dengan sigap, Biru mengusap pelan punggung Jeva lalu diikuti senyum lembutnya. Biru harap, dengan begitu Jeva bisa tenang.

“Ayo, aku bantu.”

“Gue juga bisa bantu,” timpal Julian, “Ayo, kita samperin.”

Jeva menggeleng, “Kalian pasti punya tugas lain. Gak apa-apa, biar gue aja. Kalian boleh pergi.”

“Jev,” Biru berdecak. “Kamu gak usah batu deh sekarang. Kalau kamu dipukulin sama suami si pasien gimana? Kami pikir aku gak khawatir? Ayo, aku temenin.”

Jeva pun hanya tersenyum tipis saat Biru menarik lengannya ke arah suami pasien. Dia, Julian, juga Biru kemudian menghampiri si pria paruh baya. Pria itu masih menangisi istrinya yang koma.

Namun, saat menyadari bahwa Jeva kembali menghampirinya, pria itu lantas berdiri. Matanya menatap nyalang ke arah Jeva.

“Mau apa lagi kamu?”

“Pak, saya paham kalo Bapak lagi khawatir. Tapi supaya Bapak bisa tau kondisi istri Bapak, tolong… Kasih saya kesempatan ya, Pak?”

“Izinkan saya menjelaskan apa yang terjadi sampai istri Bapak bisa koma padahal dua hari lalu masih sadar,” Jeva melanjutkan. “Dan gimana penanganannya.”

“Tau apa kamu hah?”

Si pria paruh baya kembali emosi lalu mencengkeram kerah baju Jeva. Beberapa perawat yang ada di nurse station—yang tidak jauh dari kursi tunggu—pun lagi-lagi dibuat kaget akan keributan itu.

Sementara itu, Biru lantas tidak tinggal diam saja. Dia dan Julian berusaha melerai dan meredam amarah si pria paruh yang masih saja melampiaskan itu ke Jeva.

“Pak, tolong tenang dulu ya?”

“Minggir!”

Biru berusaha membujuk sambil menuntun tangan suami pasien agar melepaskan cengkeraman kuatnya dari Jeva, namun yang terjadi selanjutnya adalah dirinya yang justru mendapat dorongan keras dari si paruh baya. Tubuh Biru ditepis dengan kuat hingga bokongnya mendarat di lantai.

“Bi!”

Jeva ikut mendorong pria paruh baya itu agar cengkeramannya terlepas. Di saat yang sama pula Julian yang kini menghadang di paruh baya. Jeva lalu bergegas ke arah pacarnya, menolong Biru untuk segera berdiri. Tatapan khawatir lantas Jeva berikan.

“Bi, mana yang sakit?” tanya Jeva khawatir. “Kamu bisa jalan gak?”

“Aku bawa kamu ke nurse station ya, Bi?” suara Jeva semakin lirih.

“Jev, aku gak apa-apa.” balas Biru, “Udah, kamu gak usah khawatirin aku. Kamu lagi punya tugas yang jauh lebih penting sekarang, Jev.”

Napas Jeva pun tersengal. Tanpa mengatakan apa-apa, Jeva lalu kembali menghampiri pria tadi dengan sorot mata berapi-api. Meski begitu, dia tetap tenang dan tidak meluapkan emosinya.

“Apa? Kamu mau mukul saya?”

Si pria paruh baya menantang.

“Saya mengerti perasaan Bapak,” sahut Jeva. “Bapak wajar marah kalau orang yang sangat Bapak sayang disakiti sama orang lain.”

“Saya pun begitu, Pak. Saya lagi marah karena Bapak bikin orang yang saya sayang sampai terjatuh dan kesakitan kayak tadi,” timpal Jeva yang membuat si pria paruh baya tersentak. Nampak pria itu tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan dari mulut Jeva dan membuatnya seketika diam.

“Bapak boleh kok mukulin saya sampai bonyok, tapi jangan apa-apain dia, Pak. Saya nggak rela.”

“Apalagi Bapak bikin orang yang saya sayang kesakitan kayak tadi karena nggak mau dengerin soal keadaan istri Bapak dari saya...”

“Saya dan temen-temen saya di sini memang masih Koas, Pak. Masih Dokter muda. Tapi bukan berarti kami ada di sini gitu aja tanpa bekal apa-apa,” jelas Jeva.

“Sebelum Koas, kami sudah ikut banyak ujian. Termasuk waktu kami masih kuliah sampai bisa dapat gelar Sarjana Kedokteran.”

“Kami harus lulus dengan nilai dan keterampilan yang bagus sebelum dilepas untuk Koas.”

Si pria paruh baya mulai tenang dan mendengarkan tutur Jeva. Terlebih saat dia melihat netra Jeva mulai meneteskan air mata.

“Karena kami akan dihadapkan sama pasien, Pak. Kami harus merawat pasien, bukan malah bikin orang sakit tambah sakit.”

“Di sini kami juga tidak akan mau bertindak sendiri tanpa adanya persetujuan dari Dokter-dokter penanggung jawab kami, Pak.”

“Kami ada di sini bukan untuk menjadikan pasien sebagai bahan percobaan atau semacamnya seperti yang Bapak pikirkan…”

“Tapi kami ada di sini untuk belajar turun langsung dan melihat kondisi tempat kami akan mengabdi nanti,” katanya.

“Termasuk bertemu dan ngasih tau pasien beserta keluarganya arahan, seperti yang tadi ingin saya jelaskan kepada Bapak...”

“Arahan itu juga bukan untuk kepentingan saya, tapi Bapak. Karena Dokter pun harus dapat persetujuan dari keluarga kalau nanti harus ada tindakan serius.”

“Jadi sekali lagi saya mohon ya, Pak. Tolong izinkan saya untuk menjelaskan kondisi istri Bapak.”

Si pria paruh baya nampak jauh lebih tenang. Julian juga Biru yang melihat hal itu seketika memberikan kode kepada Jeva agar segera memberi penjelasan.

“Jadi begini, Pak. Istri Bapak ini mengalami penyakit stroke.”

“Stroke itu penyakit yang disebabkan karena kerusakan pembuluh darah otak yang sifatnya mendadak, sehingga dapat menyebabkan kelemahan, kelumpuhan, pelo, atau kelainan lainnya yang menetap lebih dari dua puluh empat jam, bahkan mungkin bisa menimbulkan kematian.” Jeva menghela napas.

“Nah, stroke itu sendiri dibagi menjadi dua, ada yang namanya stroke penyumbatan dan stroke perdarahan,” Jeva melanjutkan.

“Dari gejalanya, kemungkinan besar istri bapak mengalami stroke perdarahan. Hal ini terjadi karena Istrinya Bapak mengalami hipertensi yang tidak terkontrol.”

“Akibatnya, pembuluh darah di otak pun pecah sehingga terjadi perdarahan. Lalu, perdarahan yang terjadi ini menekan pusat kesadaran dan pusat vital batang otak.” Jeva menunduk sejenak sebelum kembali menatap pria paruh baya di hadapannya itu.

“Makanya istri Bapak sekarang mengalami koma.” tutur Jeva dengan raut sedu. “Kalau dari medis sendiri, biasanya angka kesembuhan stroke perdarahan memang lebih rendah daripada yang penyumbatan.” jelasnya.

“Tapi Bapak tetap sabar dan berdoa ya Pak...” Ucap Jeva.

“Sebenarnya faktor risiko stroke ini karena mungkin Ibunya dulu suka makan makanan yang asin, lemak, jarang olah raga,” katanya.

“Kebiasaan itu yang membuat tekanan darahnya tinggi,” ujar Jeva lalu melanjutkan ucapannya yang sebentar lagi akan usai.

“Nanti kami akan melakukan CT Scan untuk bisa melihat luasnya perdarahan, supaya kita juga bisa tau apa bisa dikeluarkan melalui tindakan operasi atau mungkin perdarahannya diserap kembali oleh tubuh.” jelas Jeva hati-hati.

“Untuk sementara, istri Bapak perlu rawat inap selama minimal 21 hari. Nantinya juga akan diberi obat-obatan untuk mengurangi perdarahan, menurunkan tensi, dan lain-lain.” Jeva berdeham.

“Untuk kemungkinan adanya pembedahan, kita tunggu hasil CT Scan dan konsul ke Dokter bedah saraf ya, Pak.” final-nya.

Si pria paruh baya tidak mampu mengatakan apa-apa dan hanya menutup wajahnya dengan dua tangan. Pria paruh baya itu pun kembali menangisi sang istri.

Baik itu Jeva, Biru maupun Julian tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain ikut mendoakan si pasien yang sedang diberi penanganan di ICU oleh ahli. Namun, selang beberapa sekon kemudian, tiga Koas itu dibuat terkejut ketika Professor Harry dan satu ahli saraf yang menjadi rekan Dokter Malik menghampiri mereka dan si pria paruh baya. Khususnya Jeva yang melihat sang Papa kini menatapnya dengan raut serius.

“Selamat Siang, Pak. Saya Dokter Ghani, spesialis saraf di sini.” kata pria yang berdiri di samping sang Direktur Rumah Sakit. “Tadi saya mendengar penjelasan Dek Jeva tentang kondisi istrinya Bapak.”

“Saya harap, Bapak tetap sabar dan terus berdoa untuk Ibu ya.” katanya, “Semua yang dijelaskan Jeva tadi adalah kondisi umum dari pasien Stroke yang selalu datang di rumah sakit ini. Tapi, kami pasti akan berusaha sebisa kami untuk kesembuhan Ibu.”

Si pria paruh baya mengangguk sebelum menatap Prof Harry yang menjulurkan tangan ke arahnya. Ia pun menyalaminya.

“Perkenalkan, Pak. Saya Harry, Direktur rumah sakit ini…”

“Sekaligus Ayah dari Koas yang merawat istri Bapak,” katanya.

Jeva dan Biru lantas tersentak, sebab Prof Harry tiba-tiba saja memperkenalkan diri sebagai Papa Jeva. Sementara itu, Julian yang tidak tau apa-apa seketika melotot ke arah Jeva dan Biru.

“Terima kasih karena Bapak mau memberi anak saya kesempatan untuk belajar menjelaskan soal kondisi istri Bapak,” timpalnya.

“Saya menyesal karena harus ada keributan sebelumnya. Sampai-sampai kabarnya tersebar ke seluruh penjuru rumah sakit ini.”

“Saya paham betul, putera saya masih perlu belajar. Mungkin, hal tidak mengenakkan seperti ini bisa teratasi kalau sebelumnya Jeva sudah menjelaskan terlebih dahulu kemungkinan buruk soal efek stroke yang Ibu alami, Pak.”

“Untuk itu, saya sebagai Direktur dan orang tuanya Jeva memohon maaf atas kejadian ini.” katanya.

“Saya bersama teman-teman Dokter di sini akan memberikan perawatan dan pelayanan terbaik bagi istri Bapak selama dirawat.”

Mulut Jeva setengah terbuka. Dia menatap Papanya tidak percaya dengan sorot mata kecewanya.

“Buat apa Papa ngelakuin ini?”

Profesor Harry menghela napas lalu meraih lengan anaknya itu. Namun, Jeva justru menepisnya.

“Papa mikir kalau aku ngelakuin kesalahan, makanya Papa make kekuasaan Papa buat bikin aku gak disalahin sama orang? Gitu?”

Professor Harry berdeham lalu menatap lurus ke arah anaknya.

“Ikut ke ruangan Papa sekarang.”

“Aku Koas di sini,” kata Jeva. “Aku harus balik ke ruang rawat buat meriksa pasien aku sekarang.”

“Jeva.”

Jeva tidak memedulikan si Papa yang memanggil namanya. Dia hanya terus berjalan menuju ke ruang rawat, meninggalkan sang Papa juga Biru dan Julian yang kini masih mencerna semuanya.