Pamit
“Papa, kenapa Om Arsen lama banget sih? Apa lagi macet ya?”
Celotehan Gavi membuat Nala yang sedari tadi memangku si buah hati di atas sofa ruang tengah lantas tersenyum tipis sebelum mengecup lembut puncak kepala anaknya itu. Sementara Gavi sendiri masih sibuk memegang gawai si Papa di tangannya, dimana sedang terputar satu video dari tokoh kartun yang amat disukainya.
“Mm.” gumam Nala. “Gavi udah gak sabar pengen ketemu ya?”
“Iya,” cebik Gavi. “Gavi kangen banget sama Om Arsen, Papa.”
Nala tersenyum saat anaknya itu mendongak ke arahnya dengan bibirnya yang tiba-tiba manyun.
“Om Arsen beneran mau datang kan, Papa?” Gavi memastikan.
“Iya, Sayang.”
Tak lama berselang, Mama yang berjalan dari arah dapur lantas menghampiri Nala dan Gavi. Ia lalu ikut duduk di sofa sembari meletakkan sepiring buah apel di atas meja sebelum bersuara.
“Gavi, ayo makan buah dulu.”
“Nanti aja ya, Oma. Gavi mau nunggu Om Arsen,” sahut Gavi.
Mama tersenyum maklum diikuti anggukan. Wanita paruh baya itu kemudian memusatkan atensi ke Nala sebelum kembali bersuara.
“Arsen udah di jalan?”
“Gandi bilang udah, Ma. Dia yang nganterin Arsen ke sini soalnya.”
Saat Nala dan Mamanya sedang sibuk berbincang, suara bel unit apartemennya pun menggema. Gavi kemudian buru-buru turun dari pangkuan si Papa sebelum menarik kuat lengan kanan Nala.
“Papa, ayo! Pasti itu Om Arsen.”
Nala mengangguk kecil lalu ikut bangkit dan bergegas ke sumber suara. Saat dia membuka pintu, Nala lantas mendapati si mantan kini telah berdiri di hadapannya dan Gandi yang mendampingi.
“Om Arsen!”
Gavi pun berseru antusias lalu memeluk kaki Arsen. Buru-buru Arsen berjongkok dan membalas pelukan si kecil diikuti kekehan.
“Gavi kangen Om Arsen.”
“Om juga kangen sama Gavi.”
Gavi melepaskan pelukannya lalu beralih memandangi wajah Arsen yang telah menyamai tingginya hingga tatapan mereka bertemu.
“Om Arsen, kenapa gak pernah ke sini sih? Om Arsen juga gak pernah telpon Papa buat bicara sama Gavi. Gavi kan mau cerita kalau Ayah Gavi udah pulang.” kata si kecil, “Gavi juga mau Om Arsen temenin Gavi main lagi.”
Arsen tersenyum tipis sebelum mengusap puncak kepala Gavi.
“Maafin Om Arsen ya, ganteng. Om kemarin-kemarin sibuk, jadi gak sempet dateng atau nelpon.”
Arsen mencubit kedua pipi Gavi saat melihat anak itu mencebik.
“Om janji gak bakalan ngulangin lagi. Kalau Gavi kangen, bilang aja ke Papa buat telpon Om ya?”
“Kalau Gavi mau ketemu Om Arsen, Gavi boleh bilang sama Papa juga kan?” tanya si kecil.
Senyum getir menghiasi bibir Arsen, namun dia tetap berusaha terlihat tenang. Sementara itu, Nala juga Gandi yang sedari tadi diam sambil memerhatikan Gavi dan Arsen lantas berbagi tatapan sejenak sebelum Gandi bersuara.
“Kalau gitu, Gavi ngobrol sama Om Arsen di dalam ya? Nih, liat. Om Gandi bawa oleh-oleh dari Om Arsen. Berat tau,” cebiknya.
Gavi cengar-cengir, “Maaf ya, Om Gandi. Gavi kan gak lihat.”
“Ayo, Sen. Masuk dulu,” ajak Nala yang seketika diamini oleh Arsen.
Mereka lalu berjalan ke ruang tengah dengan Gavi yang berada dalam gendongan Arsen, sedang Nala diam-diam memerhatikan si mantan pacar dari arah belakang.
Sesampainya di tempat tujuan, Mama pun menyambut Arsen dengan senyum. “Kenapa Gavi digendong sama Om Arsen sih?”
“Gak apa-apa, Tante.”
“Ayo duduk, Nak. Tante bikinin minum dulu di dapur,” katanya.
“Gak usah, Tante. Arsen udah begah abis makan sama Gandi. Arsen juga gak bisa lama-lama.”
Mendengar ucapan Arsen lantas membuat Gavi yang kini berada di atas pangkuan pemilik lesung pipi itu mendongak. Nampak dia memasang tampang memelas.
“Om Arsen gak mau temenin Gavi main?” tanya Gavi lirih.
“Kita mainnya besok aja boleh ya, ganteng?” bujuk Arsen. “Om mau ngajakin Gavi ke Timezone, tapi minta izin Papa sama Ayah dulu.”
“Kalau Gavi diizinin, besok Om jemput. Kita puas-puasin main,” timpalnya. “Abis ini Om musti pulang ke rumahnya Papi sama Mami Om dulu soalnya. Mereka juga kangen. Om udah janji mau pulang sebelum malam. Kan janji itu harus ditepatin. Bener kan?”
Gavi mengangguk lemah, sedang Nala seketika bersuara. “Emang sejak nyampe dari Bali tadi, elo gak langsung pulang ke rumah Mami sama Papi lo? Kata Gandi, apartemen lo udah dijual kan?”
“Iya, gue mampir ke rumahnya Gandi dulu pas abis dijemput di bandara. Sekalian nyamperin si Endra pas jam makan siang tadi.”
Nala lalu bergumam pelan, masih sambil memandangi wajah Arsen.
“Di mobil tadi, lo bilang pengen ngomong sesuatu ke gue sama Nala pas kita udah nyampe.” ujar Gandi mengingatkan. “Apa, Sen?”
Arsen berdeham pelan. Raut ragu seketika menghiasi wajahnya.
“Gue… Pengen pamitan sama lo, Nala, Tante juga Gavi.” sahut si pemilik lesung pipi. “Minggu ini gue mau ke Amerika buat lanjut kuliah bisnis sebelum balik lagi ke sini terus kerja di kantor Papi.”
Napas Nala tercekat, tidak jauh berbeda dengan Gandi yang kini menatap Arsen dengan raut tak percaya. Usai memberi jeda pada ucapannya beberapa saat, Arsen lantas kembali melanjutkannya.
“Gue juga sekalian pengen cabut dari dunia hiburan,” kata Arsen sambil berusaha tertawa kecil.
“Om Arsen, Amerika itu di mana? Jauh dari rumah Gavi sama Papa gak?” celetuk Gavi yang seketika membuat Arsen memeluk erat tubuh kecil anak lelaki Nala itu.
“Iya, Sayang. Jauh banget. Kalau mau ke sana musti naik pesawat, bisa sampai sehari semalam baru nyampe.” jelas Arsen. “Nanti, kalo Gavi kangen sama Om Arsen, Om yang bakalan minta izin ke Papa sama Ayahnya Gavi buat ketemu sama Om Arsen di sana. Ya? Om Gandi pasti bisa nemenin Gavi.”
Gavi mendongak lalu menatap Arsen dengan bibir tertekuk ke bawah. Nampak kedua matanya berkaca-kaca dengan sorot sedu.
“Om Arsen, jangan pergi…” lirih Gavi, “Ayah baru pulang, kenapa Om Arsen yang mau pergi lagi?”
“Om ke sana buat sekolah, anak ganteng.” suara Arsen seketika bergetar melihat Gavi menahan tangis. “Nanti Om Arsen bakalan balik lagi kok ke sini. Om janji.”
Gavi mengangguk kecil sebelum memeluk erat tubuh Arsen. Nala sendiri masih terdiam. Dia buang muka ke arah lain dengan bibir yang dia kulum rapat-rapat guna membendung isak tangis yang nyaris terbebas. Sementara itu, Gandi seketika membuka suara.
“Kenapa lo pengen cabut dari industri ini sih, Sen?” tanya si sahabat. “Lo yakin gak, lo udah mikirin ini mateng-mateng?”
“Kalau alasan lo cabut karena lo pikir karir lo udah berakhir, elo salah. Masih banyak yang ada di sisi lo. Masih banyak fans yang nungguin karya lo.” timpal Gandi.
“Lo punya mimpi yang belum lo capai, Sen. Mimpi itu udah ada di depan mata lo. Dikit lagi lo dapet pengakuan yang lo impikan dari dulu. So please, pikirin lagi. Ya?”
Arsen berdeham. Dia kemudian menunduk dan mendapati Gavi diam-diam meneteskan air mata dalam dekapnya. Bahkan Arsen bisa melihat bahu Gavi bergetar.
“Gavi kenapa? Ngantuk ya?” kata Arsen sambil mengusap lengan si kecil. “Apa belum makan nih? Eh, tadi Om ada bawa makanan loh. Coba cek ke dapur bareng Oma.”
Si Mama yang paham akan kode Arsen pun bangkit dan beralih membujuk cucunya untuk ikut ke dapur. Gavi lantas menurutinya meski sesekali menoleh ke Arsen seolah takut pria itu akan pergi tanpa berpamitan lagi padanya.
Usai Gavi dan Mama menghilang di balik tembok pemisah dapur dan ruang tengah, Arsen seketika kembali memusatkan atensi pada Nala dan Gandi. Dia lalu berkata.
“Gue udah mikirin semuanya baik-baik kok, Di. Dan menurut gue, emang udah waktunya gue ngikutin apa kata Papi gue dulu.”
“Gue juga berusaha nerima fakta kalau, ada kalanya sebuah mimpi itu harus dikubur dalam-dalam setelah udah mencoba berkali-kali dan selalu berakhir gagal…”
“Karena apa yang gue harapin itu tuh mungkin bukan jalan yang terbaik buat gue. Jadi… Gue lagi berusaha buat lewatin jalan lain.”
Arsen lalu menatap lurus ke arah Nala yang juga masih enggan ’tuk bertemu pandang dengannya itu.
“Nal…”
Panggil Arsen, tapi Nala masih belum sanggup untuk menoleh.
“Gue udah tau kok kalau Tristan yang nyebarin soal masa lalu kita ke akun gosip itu.” katanya. “Gue juga tau, lo ngerasa punya utang maaf karena lo udah nuduh gue.”
“Lo udah gue maafin, meskipun gue ngerasa kalau lo sebenarnya gak perlu minta maaf ke gue. It all started because of my faults.”
Arsen tersenyum miring. “Tapi gue gak bakalan pernah maafin suami lo. Terlepas dari apapun alasannya, yang dia lakuin salah.”
Gandi menghela napas gusar lalu menoleh ke Nala. Sahabatnya itu kini telah memandangi Arsen.
“Gue boleh gak ngomong berdua sama lo di luar, Sen?” pinta Nala.
Arsen mengangguk. “Kalau gitu, gue sekalian pamit ya abis ini.”
“Lo mau di sini aja kan, Di? Apa mau ikut ke rumah Papi gue?” tanya Arsen kepada sahabatnya.
“Gue di sini aja. Entar biar gue minta temen gue yang jemput terus nganterin gue pulang.”
“Ya udah. Kalau gitu, gue mau ke dapur dulu ya, pamit sama Gavi.”
Nala mengangguk lalu bangkit dari sofa. Begitupun Arsen yang seketika melenggang ke dapur. Sejenak, Nala berbagi pandangan dengan Gandi. Sang sahabat pun menggenggam jemari Nala sesaat sebelum kembali bersuara pelan.
“Ini kesempatan lo, Nal.”