jaesweats

Jemari Evan masih setia menyisir pelan rambut Gala. Sementara sosok yang sedang duduk sembari memeluk erat pinggang Evan lantas menutup damai kedua mata indahnya.

“Dek, kamu gak laper?”

Suara rintik hujan yang semula menjadi satu-satunya pemecah keheningan di antara dua insan yang dibalut kasih itu pun berakhir mendapat teman—saat Evan tiba-tiba membuka suara.

“Enggak, Mas.”

Gala mendongak, “Mas laper?”

“Gak kok, dek. Tapi kalo kamu laper, ayo. Mas temenin ke resto sekarang.”

“Entar aja deh, Mas. Pas makan malem,” kata Gala.

“Kamu bosen?”

“Gak bosen, tapi dingin. Makanya pengen dipeluk Mas Evan sambil ngeliatin ujan,” kata Gala lalu senyum tipis.

Evan mengangguk paham. Setelahnya dia kemudian mencium pipi kanan Gala. Bikin wajah empunya tiba-tiba terasa panas di tengah suhu dingin yang mencekik.

“Mas pindahin kamu ke tempat tidur ya? Rebahan bentar, istirahat dulu.” kata Evan sambil ngusap pelan kedua pipi Gala, “Kalo hujannya udah reda, entar Mas bangunin lagi.”

“Tapi Mas jangan pergi ya?” pinta Gala, “Temenin aku.”

“Iya, dek. Mas gak bakal kemana-mana.”

Gala mengulum senyum sebelum ngalungin lengannya ke leher Evan. Dia kemudian bergumam, “Mas, gendong.”

Sementara itu, yang lebih tua lantas terkekeh sebelum menggendong Gala layaknya bayi koala di depan tubuhnya.

“Waktu masih kecil dulu, kamu juga selalu gini. Dikit-dikit minta digendong,” ucap Evan setelah mendaratkan punggung Gala di atas ranjang.

“Tapi sekarang aku udah berat banget ya, Mas?”

“Iya. Sekarang Mas kayak gendongin lima Gala kecil,” kata Evan diikuti kekehan.

Gala pun cuma tersenyum simpul sambil merhatiin Evan yang nyelimutin tubuhnya. Sesaat setelahnya sang atasan pun ikut berbaring menyamping di sampingnya. Kembali meluk pinggangnya sebelum berbisik, “Bobo, dek.”

“Mas juga bobo.”

Keduanya kemudian sama-sama memejamkan mata. Menciptakan damai dalam kamar yang hanya ditemani suara rintik hujan di luar sana.

Tapi gak lama berselang, Gala tiba-tiba melek—lagi. Dia pun mendongak dan natap wajah tampan Evan lekat-lekat.

Saat itu pula Gala kembali mengagungkan paras Evan dalam hati. Mulai dari alisnya yang tegas, bulu mata yang panjang, hidung lancip hingga bibir penuh nan lembut yang pernah menjamah miliknya.

Demi Tuhan, Gala seketika membayangkan betapa menyenangkan jika ia bisa melihat pemandangan yang sama setiap pagi. Terbangun dengan Evan berada di sisi.

“Mas, kamu udah bobo?”

Gak ada jawaban.

Gala pun menghela napasnya pelan sebelum mengubah posisi menjadi berbaring menyamping. Seolah hendak memuaskan dirinya untuk menatap wajah damai Evan yang nyatanya udah terlelap.

Jemari Gala kemudian beralih membelai pipi yang lebih tua. Sementara tatapan matanya justru lagi-lagi terhenti tepat di bibir atasannya itu.

Sejenak Gala menelan ludah sebelum mencondongkan kepalanya. Mengikis jarak yang membentang antara wajahnya dengan Evan.

Hingga saat Gala akhirnya bisa merasakan hembusan napas hangat Evan di wajahnya, detak jantungnya justru seketika menggila. Keberaniannya yang tadi telah terkumpul di ubun-ubun lantas jatuh hingga ke ujung kuku kakinya.

Alhasil, Gala pun mengurungkan niat dan kembali menjauhkan wajahnya dari milik Evan.

“Kok gak diterusin, dek?”

Gala melotot. Terlebih pas ngeliat Evan senyum lebar sebelum membuka matanya.

“Mas Evan!”

Gala nepuk keras bahu sang atasan sebelum nenggelamin wajahnya di depan dada Evan. Dia malu. Malu banget sampe gak bisa natap yang lebih tua.

“Dek, liat Mas.”

“Gak mau.”

“Bentar aja.”

“Gak mau. Aku maluuu!”

Ketawa ringan Evan yang merdu lantas menembus gendang telinga Gala.

“Gak usah malu. Kamu pas masih kecil dulu juga sering kok nyium Mas kalo lagi merem,” kata Evan sambil ngusap rambut lembut Gala.

Pada akhirnya Gala kembali mendongak. Dan kali ini dada Evan yang jadi sasaran pukulan ringannya.

“Lagian Mas ngapain pura-pura tidur sih? Nyebelin.”

Evan cuma ketawa kecil.

“Gak mau diterusin, dek?”

Gala berdecih pelan. Dia kemudian menghindari tatapan Evan dan bilang.

“Gak mau,” jawabnya, “Kan Mas sendiri pernah bilang, gak ada kakak adek yang ciuman.”

Evan mengulum senyum. Persekian detik berikutnya dia kemudian mempertemukan keningnya dengan milik Gala. Hingga sosok yang lebih muda darinya itu lantas kembali menatap kedua matanya.

Perlahan satu tangan Evan membelai lembut pipi Gala. Bersamaan dengan ujung hidung mereka yang telah bersentuhan—sampai keduanya merasakan sapuan napas hangat satu sama lain. Ketika tangan Evan kemudian menarik pelan dagunya, Gala refleks memejamkan mata.

Kedua bilah bibir mereka pun bertemu. Saling memadu dalam lembutnya lumatan yang menimbulkan sensasi menggelitik di perut bak dipenuhi kupu-kupu.

Refleks Gala pun seketika menuntun satu lengannya untuk memeluk tengkuk Evan. Sementara yang lebih tua beralih mengusap pelan punggung sempitnya dengan penuh afeksi.

Suara rintik hujan di luar sana lantas tak mampu meredam lenguhan pelan Gala kala Evan menyesap bibir bawahnya. Dibalasnya dengan satu sentuhan lidah pada bibir atas Evan sebelum Gala kembali menyesapnya pelan. Hingga bunyi kecipak saliva dari aksi keduanya pun menjadi pengiring ciuman lembut di antara mereka.

Meski bukan yang pertama kalinya, namun baik itu Gala maupun Evan lantas tak bisa menyembunyikan degupan hebat di balik dadanya.

Deru napas berat bersahut-sahutan pun seketika menjadi pertanda semakin intensnya aksi dua anak manusia yang tengah beradu rasa itu.

Dan Gala—dalam hatinya bersumpah bahwa dia tidak ingin mengakhirinya.

Dia ingin Evan memberinya kelembutan dan kehangatan seperti ini selamanya.

Tapi lagi dan lagi. Semesta seolah tak merestui. Pasalnya ponsel yang berada di dalam saku celana Gala justru berdering nyaring. Membuat Evan melepas tautan bibir mereka sebelum bertanya.

“Siapa yang nelpon?” bisiknya.

Gala dengan sigap meraih handphonenya. Melihat nama yang tertera di layar sebelum bergumam, “Bayu, Mas.”

“Kamu mau ngobrol sama dia?” tanya Evan dengan suara baritonnya.

“Gak kok.”

Gala mematikan daya handphonenya kemudian.

“Kenapa dimatiin? Kali aja penting, dek. Gak apa-apa.”

Sebab sesungguhnya Evan juga ingin tau bagaimana Bayu memperlakukan Gala. Terlebih sejak insiden dimana ia menerima pesan dari Bayu.

“Aku ngantuk, Mas.”

Gala meluk pinggang Evan sebelum nutup matanya, “Bangunin aku ya entar.”

“Mm,” gumam Evan sebelum mendaratkan satu kecupan ringan di permukaan bibir Gala, “See you tonight, Gala.”

Gala senyum tipis. Masih dengan kedua matanya yang terpejam sebelum bergumam.

“See you, Mas Evan.”

“Kamu ke sofa sana, dek. Aku balesin email orang HR dulu.”

Gala yang baru aja masuk ke ruangan Evan dan disambut dengan perintah dari sang atasan pun langsung nurut. Dia duduk di sofa sebelum naroh laptopnya di atas meja.

Gak lama berselang, Evan kemudian nyamperin Gala. Tapi yang bikin Gala sedikit heran adalah pas sang atasan ngatur bantal tepat di samping lengan sofa.

Tuhan, gue mau diapain? Batin Gala.

“Kamu nyender di sini,” kata Evan sambil nepuk-nepuk bantal, “Kakinya dilurusin.”

Jantung Gala tiba-tiba berdegup kencang.

Lagi, dia dibuat panas dingin sama Evan tanpa sebab.

Selepas ucapannya itu kembali dituruti, Evan yang duduk tepat di sisi paha sang bawahan pun lantas natap mata boba Gala lekat-lekat.

“Perut kamu ga enak?”

“Iya, Mas. Aku kekenyangan nih. Jadi kek kembung gitu.”

“Yakin cuma kekenyangan?” Evan memastikan, “Aku perhatiin kamu keliatan gak nyaman banget di luar tadi.

“Yakin.”

“Kamu gak salah makan kan?”

“Gak kok.”

“Makan apa tadi sama Nino?”

“Makan soto doang, Mas.”

“Sambelnya banyak ya?”

“Enggak.”

Gala nelan ludah pas ngeliat Evan micingin mata. Ketahuan kalo atasannya itu gak percaya sama ucapannya.

“Kamu abis makan yang pedes-pedes kan?”

“Iya, aku makan soto pake sambel. Tapi gak pedes kok.”

Evan ngehela napas pelan. Dia kemudian sedikit membungkuk supaya jemarinya bisa menjangkau puncak kepala Gala. Setelahnya Evan lantas ngusap lembut helaian rambut hitam bawahannya itu sebelum bersuara.

“Pedes atau enggak itu kan relatif, dek. Buat orang yang jago makan sambel, mau ditambahin dua sendok pasti bilangnya masih gak pedes.”

Evan kemudian beralih menggenggam jemari Gala.

“Kamu kemaren abis kena tipes, perutnya masih gak sehat. Jangan dikasih yang pedes-pedes dulu,” katanya.

“Tipes itu lama loh sembuhnya. Meski pun kamu udah keliatan sehat tapi kalo makannya gak dijaga bisa drop lagi,” jelas Evan.

Gala terkekeh, “Mas lebih bawel dari Bunda tau gak?”

“Mas cuma gak mau kalo sampe kamu sakit lagi, dek.”

“Kenapa? Mas Evan capek ya jagain aku kalo lagi sakit?”

“Bukan capek, tapi Mas berasa ikutan sakit kalo ngeliat kamu tersiksa—kek pas kita outing kemarin.”

Gala berdecih. Dia gak tau lagi harus ngerespon dengan kalimat apa. Pasalnya dia justru dibuat salah tingkah.

“Kamu tunggu di sini ya. Mas ambilin obat di klinik kantor.”

“Mas, gak usah.”

Gala nahan lengan Evan.

“Entar juga mendingan kok. Aku gak apa-apa,” ucap Gala.

“Aku ambilin minyak angin mau?” tanya Evan.

“Gak ah, Mas. Entar aku keluar dari sini malah bau aki-aki,” kata Gala yang bikin Evan lantas menyemburkan tawa.

“Kamu ya kalo ngomong,” Evan nyubit pipi kanan Gala.

“Kalo nyender gini nyaman gak? Apa mau Mas tambahin bantalnya?” tanya Evan lagi.

“Ini udah nyaman kok, Mas.”

“Ya udah, kamu istirahat aja. Biar Mas yang beresin kerjaan kamu,” ucap Evan sebelum berbalik ke arah meja dan natap laptop Gala yang udah ada di depannya.

Gala nautin alisnya heran.

“Katanya aku disuruh tanggung jawab gara-gara udah bikin Mas cemburu, kok sekarang malah disuruh istirahat?”

“Iya, bentuk tanggung jawabnya itu kamu harus nurutin setiap ucapan Mas.”

Gala geleng-geleng kepala.

“Emang Mas Evan gak ada kerjaan apa?”

“Kerjaan Mas udah beres semua tadi,” katanya, “Udah, sekarang kamu harus nurutin ucapan aku. Siapa suruh udah bikin aku cemburu.”

Gala nahan senyum. Evan emang selalu punya caranya. Cara buat bikin dia ngerasa istimewa dan begitu dicintai.

Bahkan ketika Gala berpikir kalau atasannya itu pengen ngusilin dia—sebagai bentuk tanggung jawab, Evan justru mengambil kesempatan buat ngasih dia perhatian.

Gala pun masih heran kenapa Evan begitu mengerti kalo dia ngerasa gak nyaman di meja kerjanya seusai jam makan siang tadi hanya dengan ngawasin dari jendela.

“Mas?”

“Iya, dek.”

Evan noleh, “Pengen apa?”

Gala mendengus diikuti senyum, “Aku cuma mau nanya.”

“Nanya apa?”

“Mas keberatan gak kalo aku cerita soal Mas Baim?”

Evan menipiskan bibir.

“Aku keberatan kalo kamu mau cerita pas kalian pegangan tangan kemarin.”

“Hahaha, gak kok. Bukan itu.”

“Terus apa?”

“Tadi Nino cerita ke aku, katanya Mas Baim jujur loh sama Nino soal dia pernah FWB-an sama Mba Naura.”

“Masa sih, dek? Bukannya dia lagi deketin Nino ya?”

“Serius, Mas. Justru gara-gara Mas Baim jujur kek gitu Nino jadi ngasih kesempatan buat mereka PDKT.”

Gala ngelipat lengan, “Nino kan anaknya punya trust issue, dia gak gampang percaya sama orang. Dia juga takut diboongin. Aku aja kena kemarin. Disuudzonin.”

“Tapi karena Mas Baim mau jujur soal masa lalunya yang gak baik itu, Nino jadi ngeliat kalo dia ada tekad dan tulus.”

Evan ngangguk paham.

“Kamu tau gak? Pas malam Senin kemarin Mba Yana bilang gini sama aku...”

“Katanya kejujuran itu pasti selalu bawa hal baik, gak pernah bawa kita ke keburukan,” ucap Evan.

“Jadi Mba Yana ngeyakinin aku supaya jujur ke kamu soal perasaan aku selama ini.”

Evan ngehela napas, dia ketawa hambar, “Tapi belum juga sempat jujur, eh tau-tau kamu balikan sama Bayu.”

“Tapi Mas udah jujur,” Gala ngeraih tangan Evan.

“Kalo Mas gak jujur, aku keknya bakal tetep mikir kalo kamu cuma nganggap hubungan kita kayak kakak sama adek kandung.”

“Makasih ya, Mas. Udah jujur sama aku,” ucap Gala tulus.

“Iya, dek. Sekarang aku juga legaaa banget udah jujur.”

Gala senyum. Tapi persekian detik berikutnya tarikan kedua ujung bibirnya lenyap.

“Mas, bentar...”

Gala nautin alis, “Tadi kamu bilang Mba Yana ngeyakinin kamu buat jujur ke aku?”

“Iya.”

“Jadi Mba Yana tau kalo kamu suka sama aku?!”

“Tau lah, dek.”

Evan terkekeh sambil ngusap punggung tangan Gala dengan ibu jarinya.

“Pas makan siang bareng Mba Yana tadi, aku juga cerita kalo kita berdua sama-sama suka.”

“Aku maluuu,” Gala merengek.

“Loh, malu kenapa? Kamu malu suka sama Mas?” Evan ngerapihin dasinya, “Padahal Mas ganteng loh, iya kan?”

“Dih,” Gala ngulum senyum sebelum mukul pelan bahu Evan, “Lanjutin kerjaan aku.”

“Siap, bos kecil. Siap.”

Gala kembali tersenyum tipis ngeliat Evan beralih memfokuskan pandangan ke laptopnya. Saat itu juga dia semakin sadar kalau sang atasan jauh lebih ganteng pas lagi serius—kayak sekarang.

Evan benar-benar indah. Gak cuma dari segi tampilan tapi juga tutur kata dan sikap manisnya. Gala seketika merasa beruntung karena hatinya saat ini udah dimiliki pria seperti Evan.

Di saat Gala lagi sibuk natap wajah atasannya itu dari samping, ketukan pintu lantas menggema. Sesaat setelahnya seseorang dari luar pun masuk. Bikin Gala yang ngeliat sosok yang berjalan ke arahnya dan Evan itu seketika mendengus pelan.

Entah, dia tiba-tiba kesel ngeliat Naura senyumin Evan.

“Sore, Van.”

“Sore,” Evan natap wanita yang udah berdiri di depannya, “Ada apa, Ra?”

“Gue bawa hard file yang lu minta,” kata Naura.

“Bukannya masih ada yang mau direvisi? Tadi gue juga udah bales email Nino.”

“Udah direvisi kok. Dikit doang tadi error nya, Van.”

Evan ngangguk pelan. Dia kemudian ngeraih berkas yang disodorin Naura.

“Eh, ada Gala. Kamu gak kerja, La?” tanya Naura sebelum duduk di salah satu sofa tunggal di samping Evan.

Gala narik napasnya. Dia kemudian maksain senyum sebelum bilang, “Gak, Mba. Kerjaan aku mau diberesin sama Mas Evan soalnya.”

Naura tersenyum tipis—tapi Gala justru ngeliat kalau tarikan bibir atasan Nino itu seperti seringai meremehkan.

“Lu gak berubah dari dulu ya, Van.” kata Naura, “Masih aja suka nolongin orang lain.”

Gala ngepalin tangan. Sementara tatapan matanya terfokus ke arah Evan.

“Gala bukan orang lain buat gue kok,” balas Evan tanpa ngelirik sedikit pun ke Naura.

“Ah bener, kalian katanya temen kecil kan ya? Gue denger dari Nino,” Naura terkekeh, “Pantes kayak kakak adek kandung.”

Gala tiba-tiba bete. Terlebih pas ngeliat Evan gak ngerespon ucapan Naura soal hubungan mereka. Tapi sesaat setelahnya Gala lantas sadar kalo Evan sama dia emang belum terlibat dalam status apa-apa. Bikin Gala makin gusar sendiri sekarang.

“Pasti Evan perhatian banget sama kamu ya, La?”

Gala sebenarnya males banget buat ngerespon. Tapi pada akhirnya dia menjawab.

“Iya, Mba.”

“Ketebak sih. Dia tuh manis banget emang, La. Jangankan ke orang yang udah dia anggap adek kandung, ke orang lain aja perhatian.”

Gala mengeraskan rahang. Entah kenapa dia tiba-tiba mikirin gimana pas Evan perhatian ke Naura dulu.

Apa perhatian Evan ke dia sama pas ke Naura dulu?

Apa selama ini apa yang dia anggap istimewa justru udah dirasain duluan sama Naura?

Gala berperang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba muncul di otaknya. Tapi sesaat setelahnya dia lantas mengingatkan dirinya sendiri dalam hati.

La, jangan cemburu.

Sekarang Mas Evan sayang sama lu, bukan Mba Naura.

“Iya, Mba. Mas Evan emang perhatian banget jadi cowok. Aku kalo diajak pacaran sama dia gak bakalan nolak sih.”

Evan berusaha menyembunyikan senyumnya. Dia pun mengulum bibir rapat-rapat sampai kedua lesung pipinya nampak. Sementara kedua daun telinganya berubah warna menjadi merah padam.

“Hahaha, iya. Siapa sih yang bakalan nolak Evan?” kata Naura, “Aku kalo diajak balikan sama dia juga gak bakalan nolak sih, La.”

Gala seketika pengen ngelemparin bantal ke arah Naura sekarang. Gak tau diri banget nih cewek, batinnya.

“Mas, dengerin tuh. Mba Naura mau loh kalo diajak balikan. Kamu gak capek apa jomblo mulu?” sarkas Gala.

Evan noleh ke Gala. Dia gak bisa lagi nahan senyumnya.

“Kok jomblo sih? Mas kan udah punya kamu, dek.”

Kini giliran Gala yang nahan senyumnya. Umpannya bener-bener dimakan sama Evan. Gala seketika ngerasa menang dari Naura sekarang.

Naura ketawa tapi terkesan dipaksakan, “Emang hubungan lu sama Gala apa sih, Van? Kalian pacaran?”

Evan yang lagi ngasih tanda tangan ke berkas di hadapannya pun ngelirik Naura sekilas sebelum bilang.

“Doain aja ya,” ucapnya.

Evan kemudian nyodorin berkas ke Naura yang tiba-tiba diam sambil merhatiin dia sama Gala bergantian.

“Udah, Ra. Makasih.”

“Sama-sama,” ucap Naura sebelum bangkit dari sofa, “Kalo gitu gue pamit dulu.”

Evan ngangguk pelan. Selepas itu, Naura pun langsung ninggalin ruangannya.

Gak lama berselang, Evan lantas dibuat kaget pas Gala tiba-tiba meluk pinggangnya dari belakang. Bahkan sang bawahan nenggelamin wajah dibalik punggungnya, bikin dia seketika terkekeh pelan.

“Aku sayang kamu, Mas.”

Bisikan Gala bagai nyanyian merdu yang paling disukai Evan. Terlebih lagi terselip kata sayang di sana.

“Mas juga sayang kamu, Gala.”

“Beresin kerjaan aku gih.”

“Disayang-sayang dahulu, disuruh kerja kemudian ya.”

Gala ngehela napasnya gusar sebelum ngelirik ke arah Evan yang lagi beresin meja kerjanya. Setelahnya, dia langsung bangkit dari sofa sebelum nyamperin sang atasan.

“Nino masih di depan?”

“Anaknya udah pulang, Mas.”

“Yah,” Evan natap Gala dengan raut sesal, “Maaf ya. Gara-gara aku kalian jadi batal jalan bareng.”

“Kata Nino sih gak apa-apa, Mas. Tapi...”

“Tapi apa, dek?”

Gala mendesis, “Nino ngeliat kita pas pelukan tadi.”

“Kok bisa?”

Berdecak pelan, Gala kemudian nunjuk ke arah jendela ruangan Evan. Sang atasan pun dengan sigap ngikutin arah telunjuknya sebelum melongo sesaat.

“Astaga,” gumam Evan.

“Nino bakal ngeledekin aku abis ini. Liat aja,” ucap Gala.

Evan lantas kembali natap Gala. Dia kemudian ngusap puncak kepala bawahannya itu sambil menyunggingkan senyum setenang angin pagi.

“Biar Mas yang ngomong sama Nino besok.”

“Ngomong apa coba?”

Evan senyum tipis, “Mas mau bilang—Gala jangan diledekin ya, No. Dia gak suka, nanti nangis lagi anaknya.”

“Dih, emang aku anak kecil apa? Nangis gara-gara diledekin,” gumam Gala.

Evan terkekeh sebelum ngeraih tasnya di atas meja, “Kamu bawa mobil gak?”

“Bawa, Mas.”

“Mas telpon supir buat bawa mobil kamu ke rumah ya? Kamu ga usah nyetir,” katanya, “Biar Mas aja yang nganterin kamu pulang.”

Gala cuma mengangguk patuh sebelum ngikutin langkah kaki Evan. Mereka berdua pun keluar dari ruangan dengan berjalan beriringan.

***

Selama di perjalanan pulang, Gala gak pernah mengalihkan pandangan dari Evan yang lagi fokus nyetir di sampingnya. Sesekali bibirnya melengkungkan senyum tersipu ketika atasannya itu ngelirik ke arahnya sekilas.

Masih cukup sulit bagi Gala buat percaya kalau selama ini perasaannya dan Evan nyatanya sama. Alhasil, dia kemudian berdeham sebelum memutuskan bersuara.

“Mas?”

“Hm? Apa, dek?”

Gala nelan ludah, “Sejak kapan kamu mulai suka sama aku?”

Evan senyum. Dia ngelirik Gala sesaat sebelum kembali natap jalanan di depannya.

“Kalo dibilang sejak kapan Mas suka sama kamu... Kayaknya udah sejak kamu jadi karyawan baru di kantor kita sebelumnya deh, La.”

“Hah?” gumam Gala dengan tampang gak percaya, “Kok bisa sih, Mas?”

“Aku juga gak tau,” Evan terkekeh, “Yang jelas kamu langsung nyuri perhatian aku waktu itu.”

“Karena aku ganteng banget ya?” sela Gala sebelum ikut ketawa kecil bareng Evan.

“Ganteng kayaknya faktor kesekian,” kata Evan.

“Aku inget banget pas awal-awal kamu masuk di kantor,” sambungnya, “Waktu itu kamu energik, ceria, rajin, semua orang langsung ngandelin kamu dan minta tolong sama kamu mulu padahal kamu anak baru.”

Gala ngangguk setuju.

“Dari situ aku jadi pengen selalu melindungi kamu. Aku gak mau kamu dimanfaatin sama orang-orang di sana. Aku juga kesel tiap kali kamu diomongin yang enggak-enggak,” Evan melanjutkan.

“Tapi cara Mas ngelindungin aku juga nyebelin tau,” protes Gala, “Aku berasa diteror tiap hari buat dikasih kerjaan.”

“Hahaha!” Evan ketawa, “Maafin Mas ya, dek.”

Gala ngulum senyum pas Evan lagi-lagi ngusap puncak kepalanya. Entah. Sentuhan kecil itu bikin Gala benar-benar merasa dicintai Evan.

“Terus kalo Mas suka sama aku sejak awal, kenapa gak pernah bilang?” tanya Gala.

Evan menipiskan bibir.

“Waktu awal-awal dulu Mas belum yakin. Aku pikir perasaan aku ke kamu cuma karena kagum atau kasian gara-gara ngeliat kebaikan kamu dimanfaatin,” kata Evan.

“Sampai saat Mas udah yakin sama perasaan Mas, eh tau-tau orang kantor ngobrolin kamu yang katanya udah punya pacar. Jadi ya udah, Mas mundur. Mas gak mau jadi pengganggu hubungan orang,” sambungnya.

Gala ngehela napas sambil nyandarin punggungnya di jok, “Ada aja halangan nya.”

Dia kemudian noleh ke Evan yang beralih nyalain musik di dalam mobilnya.

“Aku waktu awal-awal masuk kantor dulu juga sempet naksir sama Mas Evan tau,” ucap Gala jujur.

“Berarti Mas gak kegeeran,” Evan ngelirik Gala.

“Waktu itu aku ngerasa kamu sering merhatiin aku. Tapi pas aku natap kamu balik, kamu langsung buang muka.”

“Mhm,” Gala bergumam setuju, “Tapi gak lama setelah itu, aku jadi gak suka banget sama Mas Evan.”

“Gara-gara selalu aku kasih kerjaan banyak ya?” Evan ketawa ringan.

“Bukan banyak lagi, tapi udah gak manusiawi,” cibir Gala.

“Mas ngelakuin itu karena Mas sayang sama kamu, La.”

Gala senyum tipis. Dia pun ngangguk pelan masih dengan sorot matanya yang tertuju ke Evan.

“Btw, ini lagu kesukaan aku.”

Gala ngangkat alisnya, “Ini lagunya H.E.R kan? Hard Place?”

“Bener.”

Evan kemudian noleh ke Gala bersamaan dengan laju mobil yang terhenti sebab lampu merah di sisi jalan menyala.

“Kamu suka lagu ini gak?”

“Mm, aku suka.”

Evan ikut nyandarin punggungnya di sandaran kursi. Persis seperti Gala. Mereka pun bertukar tatapan dalam diam, hanya alunan lagu yang menjadi pemecah keheningan di antara mereka.

“Mas,” Gala memecah senyap.

“Aku boleh gak genggam tangan kamu?” pintanya diikuti raut malu hingga pipi bersemu merah merah jambu.

“Gak boleh.”

“Kenapa?” Gala heran.

“Kamu masih pacar orang, dek. Mas gak mau macam-macam,” kata Evan diikuti senyum tipis.

“Macam-macam apanya sih?”

“Gak boleh tau pegang tangan pacar orang sembarangan.”

Gala berusaha nahan hasratnya buat gak memutar bola mata kesal.

“Tapi aku kan adek kamu, Mas. Jadi boleh dong?” sela Gala yang bikin Evan ketawa.

“Hhh, dasar.”

Evan bergumam sebelum ngeraih tangan kanan Gala. Bikin jemari mereka akhirnya saling bertautan—cukup erat.

“Jangan dilepasin ya, Mas.”

Senyum kembali menghiasi bibir Evan pas ngeliat Gala tiba-tiba nutup mata. Gak lama berselang, dia pun kembali menancap gas dan membelah jalanan penuh gemerlap dari kota Jakarta.

***

Gala yang sama sekali gak tidur—meski sibuk nutup mata selama dalam perjalanan pulang pun lantas melek pas ngerasa mobil Evan berhenti melaju. Alhasil dia pun mendapati mobil sang atasan udah terparkir tepat di depan pagar rumahnya.

“Eh? Mas bikin kamu bangun?”

Gala senyum. Dia kemudian ngelirik tangannya yang masih digenggam Evan sebelum ngegeleng pelan.

“Aku gak tidur kok dari tadi,” katanya, “Aku juga dengerin Mas Evan nyanyi. Suara Mas bagus banget. Adem kek lantai marmer.”

Evan ketawa kecil, “Lantai marmer banget gak tuh?”

“Marmer mahal tau, Mas.”

“Ya... Gak salah sih, dek. Tapi pengandaiannya kan bisa yang romantis dikit kek.”

“Ngapain? Aku kan cuma adek kamu,” canda Gala diikuti senyum tipis. Sementara Evan seketika nyubit pipinya.

“Udah, masuk sana. Kamu langsung mandi ya,” kata Evan sambil ngusap punggung tangan Gala dengan ibu jari.

“Mas gak mampir dulu?”

“Besok aja, dek. Mas gak bawa apa-apa nih buat Bunda.”

“Emang Mas mau bawa apa sih?”

“Ya apa kek. Makanan atau apa gitu. Mas gak enak soalnya kalo dateng dengan tangan kosong,” jelas Evan.

“Kek mau ke rumah orang lain aja kamu, Mas.”

Gala ngehela napas. Dia kemudian bangkit dari posisinya yang semula masih bersandar di jok. Setelahnya Gala lantas natap Evan sebelum kembali bersuara.

“Mas, adek kamu pengen dipeluk. Bentar aja. Boleh?”

Evan cuma ngerespon dengan senyum simpul sebelum narik Gala ke dalam dekapannya. Satu tangannya kemudian ngusap belakang kepala sang bawahan, sementara Gala sibuk ngedusel di lehernya.

Selang beberapa saat kemudian, Gala ngangkat kepalanya. Mendekatkan bibirnya di telinga Evan sebelum berbisik.

“Aku sayang kamu, Mas.”

Evan gak mampu lagi nahan senyum harunya. Dia pun ikut mendekatkan bibirnya di samping telinga Gala dan berucap.

“Mas juga sayang kamu, dek.”

Keduanya kemudian melepaskan dekapan mereka. Beralih saling menatap dalam jarak yang amat dekat. Alhasil, baik itu Gala mau pun Evan bisa merasakan hembusan napas satu sama lain.

Tatapan Gala yang semula terfokus pada biner kecoklatan Evan lantas turun ke bibir penuh sang atasan. Sesuatu yang menggelitik di dalam perutnya pun tiba-tiba bikin Gala pengen menuntaskan hasrat yang saat ini ada di balik dadanya.

Tapi sebelum niatnya itu tersampaikan, Evan tiba-tiba meletakkan telunjuk di bibir Gala.

“Gak ada kakak adek yang ciuman,” bisik Evan.

Gala berdeham. Saat itu pula akal sehatnya seketika kembali.

“Siapa juga yang mau nyium Mas Evan,” katanya sebelum nepuk bahu sang atasan.

“Kamu bisa nyium Mas kalo udah putus sama Bayu.”

Gala berdecih. Dia kemudian nonjok pelan perut Evan, sementara atasannya itu seketika tergelak ngeliat dia salah tingkah.

“Aku masuk dulu. Mas Evan hati-hati di jalan.”

“Iya, dek. Kabarin Mas kalo mobil kamu udah nyampe ya?”

“Oke!” Gala senyum, “Mas juga kabarin aku kalo udah nyampe ya?”

“Mhm.”

Evan ngusap lembut pipi kanan Gala sebelum ngecup puncak kepala sang bawahan.

“Bye, Gala.”

“Bye, Mas Evan.”

Jarum jam nunjuk tepat ke angka 04.15 sore. Dimana udah waktunya untuk pulang kantor. Gala pun dengan sigap bergegas bangkit dari kursinya—hendak ngikutin karyawan lain yang keluar dari ruangan.

Sayangnya sebelum niat Gala itu tersampaikan, Evan yang sedari tadi udah ngawasin dan nungguin dia lebih dahulu menghadang langkahnya. Mau gak mau Gala lantas mendongak dan natap sang atasan sejenak.

“Aku mau ngobrol bentar.”

Gala ngehela napas. Dia kemudian ngelirik ke arah karyawan lain yang satu persatu udah ninggalin ruangan. Sampai saat yang tersisa di tempat itu cuma dia dan Evan, Gala pun bersuara.

“Mas, aku udah ditungguin di depan.”

“Bentar aja, dek. Gak sampe sepuluh menit,” pinta Evan dengan suara lirihnya.

Gala nelan ludahnya. Dia bisa nebak kalau Evan bakal nanyain lagi kenapa beberapa hari terakhir dia terkesan menghindar.

Pasalnya, chat Evan pagi tadi tentang hal itu gak dia balas sama sekali. Bukan gak mau, tapi dia bingung alasan apa lagi yang harus dia ucapin supaya Evan percaya.

Dan Gala gak mungkin ngasih tau Evan alasan sebenarnya.

“Mas kan bisa nelpon aku entar malem,” kata Gala, “Atau kalo emang harus ngomong secara langsung bisa besok aja kan, Mas?”

Evan terdiam. Sementara Gala natap wajahnya sejenak.

“Aku duluan,” pamit Gala.

Tapi sebelum kakinya melangkah ninggalin Evan, atasannya itu lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya.

“Mas, lepasin.”

Gumaman Gala gak berarti apa-apa di telinga Evan. Dia tetap mencengkeram pergelangan tangan Gala sambil menyeret bawahannya itu hingga masuk ke ruang kerjanya.

“Kamu apa-apaan sih, Mas?”

Deru napas Gala seketika gak beraturan pas Evan nutup dan ngunci pintu ruang kerjanya. Sang atasan kemudian berbalik ke arahnya sampai mereka akhirnya berdiri saling berhadapan.

“Kenapa, dek?” suara Evan semakin lirih, “Apa yang bikin kamu ngejauhin aku?”

“Aku gak ngejauhin kamu.”

“Tapi sikap kamu ke aku sejak hari Minggu kemarin beda banget dari sebelumnya, La.”

Gala bungkam. Sementara Evan yang ngeliat sang bawahan gak kunjung bersuara pun mencengkeram kedua pundak Gala sebelum angkat bicara.

“Aku udah berusaha nahan perasaan ini sendiri karena takut sikap kamu berubah,” mata Evan berkaca-kaca.

“Tapi kamu justru bikin ketakutan aku itu jadi nyata bahkan ketika aku gak ngomong apa-apa,” katanya.

“Maksud kamu apa sih, Mas?”

“Aku sayang kamu,” ucap Evan setengah berbisik.

“Aku suka sama kamu, Gala.” tuturnya sebelum setetes air mata membasahi pipinya.

Gala nahan napas. Sementara kedua tangan di samping pahanya lantas ia kepalkan. Otaknya pun masih berusaha mencerna penuturan Evan barusan.

“Mas...”

“Kamu menghindar karena ucapan Mami kan?” tanya Evan, “Kamu takut kan, dek?”

“Kamu takut kalo selama ini aku perhatian karena aku sayang sama kamu bukan lagi sebagai adek. Makanya kamu memilih buat menghindar karena gak enakan,” sambung Evan.

Gala seketika gak bisa berkata-kata. Dia masih shock berat. Terlebih pas ngeliat Evan tiba-tiba terisak pelan di hadapannya.

“Aku tau kok, dek. Aku tau kalo perasaan kamu gak sama. Kamu cuma nganggap aku kakak kan? Tapi aku malah—”

“Enggak,” Gala memotong ucapan Evan.

“Aku juga sayang kamu.”

“Aku suka sama kamu, Mas.”

Kini giliran Evan yang bungkam—saking terkejutnya.

“Aku menghindar karena aku selalu aja pengen nangis pas ngeliat wajah kamu. Aku gak bisa natap mata kamu, Mas.”

Mata Gala berkaca-kaca, “Kamu tau kenapa?”

Evan diam.

“Karena ucapan kamu sama Mami hari minggu kemarin selalu aku ingat. Kamu gak suka pas Mami bahas soal hubungan kita,” lanjut Gala.

“Aku juga bales chat kamu seadanya karena aku gak pengen nerima perhatian kamu dulu untuk saat ini—aku gak mau perasaan aku ke kamu makin dalam, Mas.”

Gala ikut netesin air mata.

“Kamu tau gak sih gimana sedihnya aku pas kamu jawab iya waktu aku nanya—apa kamu cuma nganggap aku sebagai adek?” sambungnya.

“Sakit, Mas.” ucapnya lirih, “Selama di jalan pulang aku nangisin kamu mulu.”

Gala terisak sebelum Evan dengan sigap narik tubuhnya ke dalam dekapan hangat.

“Kenapa kamu gak bilang ke aku, dek?” tanya Evan sambil ngusap punggung Gala.

“Gimana caranya aku bilang ke kamu?” isakan Gala masih berlanjut.

“Kamu aja selalu manggil aku adek. Kamu bilang ke orang-orang kalo aku udah kayak adek kandung kamu sendiri.”

“Aku gak tau perasaan kamu gimana, Mas. Aku takut cuma aku aja yang baperan dan berharap lebih sama kamu,” katanya.

“Aku juga takut kamu bakal ngerasa aneh kalo tau aku udah menyalahartikan setiap perhatian kamu selama ini.”

“Jadi apa lagi coba yang bisa aku lakuin selain nge-iyain aja kalo aku juga nganggap kamu kayak kakak kandung?” timpal Gala.

“Maafin Mas ya,” gumam Evan sebelum ngecup puncak kepala Gala bersama air mata yang masih membanjiri pipinya.

“Aku bilang cuma nganggap kamu adek karena aku pengen kamu tetap nyaman dan nerima perhatian aku.”

“Aku takut kamu ngerasa gak enakan karena gak bisa ngebalas perasaan aku,” jelas Evan.

“Mas udah pernah ada di posisi itu, dek. Mas pernah menghindar dari perhatian Baim yang suka sama Mas—karena gak enakan dan canggung.”

“Jadi Mas takut kamu juga bakal kayak gitu. Mas gak mau hubungan kita berubah cuma karena perasaan kita gak sama.”

Gala yang menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Evan terkekeh pelan. Masih dengan air mata yang terus-terusan membuat pipinya sembab.

“Tapi perasaan aku ke kamu sama, Mas. Kamu pikir selama ini aku gak baper apa tiap kali diperhatiin?” gumamnya.

Evan ikutan terkekeh, “Mas ngeliat reaksi kamu selama ini biasa aja. Tiap kali Mas lowkey nanya, kamu jawabnya juga selalu sebagai adek.”

“Kamu ingat gak pas aku ngajak kamu movie date?” tanya Evan dan dibalas anggukan pelan oleh Gala.

“Di situ Mas milih film ‘friendzone’ juga lowkey buat nanya gimana pandangan kamu—kalo aja seseorang yang deket sama kamu tiba-tiba suka sama kamu.”

Evan kemudian ngecup pundak Gala sesaat, “Tapi kamu malah ketiduran sebelum film nya selesai. Mas frustasi banget waktu itu, La.”

“Maafin aku, Mas.” ucap Gala.

Evan ngangguk, “Mas juga minta maaf ya, dek?”

Gala ketawa ringan, dia kemudian mendorong tubuh Evan sampai pelukan mereka terlepas. Setelahnya, dia lantas nonjok bahu sang atasan sebelum bilang.

“Balikin air mata aku!”

Evan ketawa kecil sambil ngusap pipi sembab Gala. Mereka masih sama-sama menangis, namun dengan senyum haru di bibirnya.

“Tapi beneran kamu suka sama Mas?” tanya Evan lagi dan langsung dijawab Gala dengan anggukan cepat.

“Terus kenapa kamu balikan sama Bayu?”

Gala menjatuhkan pundak, “Ceritanya panjang, Mas.”

“Ceritain.”

Evan senyum tipis sebelum nuntun Gala ke arah sofa yang ada dalam ruangannya. Mereka pun duduk bersebelahan di sana dengan jemari yang saling bertautan.

“Jadi?”

“Pas pulang dari rumah Mas Evan aku ketemu Bayu,” kata Gala, “Dia memohon banget supaya aku mau ketemu. Katanya mau ngomongin sesuatu.”

Gala kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Evan.

“Terus dia bilang mau ngajak aku balikan. Jadi ya udah, aku tolak. Aku bilang perasaan aku ke dia udah gak sama.”

“Tapi Bayu tetep gak percaya. Dia mau buktiin sendiri terus minta kesempatan buat nunjukin kalo dia serius dan udah berubah.”

Evan ngangguk, “Terus?”

“Terus aku ngomong ke dia, gak bisa. Aku udah suka sama cowok lain. Meskipun cuma cinta sepihak tapi perasaan aku ke cowok itu udah jauh lebih besar dari dia,” Gala mendongak.

“Cowok itu kamu, Mas. Tapi aku gak bilang ke Bayu kalo orang itu kamu,” katanya.

Evan ngulum senyum, “Jadi pas kamu udah bilang gitu Bayu tetep ngotot?”

“Iya. Malah Bayu bilang gak apa-apa kalo aku balikan sementara sama dia buat ngalihin rasa sakit doang. Pokoknya dia rela ngelakuin apa pun sampai dia bisa ngerebut hati aku lagi.”

“Abis itu kamu iyain?”

“Mm,” Gala ngegumam, “Aku balikan sama dia buat ngalihin rasa sakit dari Mas Evan. Tapi tetep aja gak bisa.”

“Jujur aja semalem aku udah nyuruh dia buat berhenti. Soalnya tiap kali dia ngelakuin hal kecil kek ngirim foto random, aku justru keinget sama Mas Evan.”

“Jadi kalian udah putus?”

“Belum.”

“Kok belum?”

“Bayu masih gak mau nyerah, Mas. Katanya dia minta waktu dua hari lagi,” ucap Gala.

Evan beralih nangkup wajah Gala, “Jadi Mas harus nungguin kamu dua hari lagi nih?” katanya, “Mas gak mau loh jadi selingkuhan kamu.”

“Selingkuhan apanya sih?” Gala decakin lidah, “Abis ini aku bakal ngabarin Bayu lagi supaya berhenti, Mas.”

Gala senyum.

“Tapi tau gak sih, Mas? Dengan Bayu minta kesempatan kayak gini aku jadi bisa nunjukin ke dia kalo aku bener-bener udah bisa move on,” katanya.

“Ternyata emang bener ya, move on itu cara paling ampuh buat bikin mantan nyesel,” Gala terkekeh.

“Iya, tapi gak harus dengan balikan kan, dek?” Evan nyubit pipi kanan Gala.

“Kamu bisa kok nunjukin ke dia kalo kamu udah move on dengan menikmati hidup kamu dan bisa senyum bahagia lagi tanpa dia.”

“Ya kan aku juga gak mau balikan sama dia, Mas. Aku cuma ngasih kesempatan yang dia minta,” balas Gala.

“Tapi kemarin kamu bilang sama Mas kalo kalian balikan,” Evan ngehela napas, “Mas cemburu tau. Mas patah hati.”

Gala terkekeh sambil meluk pinggang Evan, “Aku juga mau nanya deh sama kamu, Mas.”

“Nanya apa, dek?”

“Kamu beneran suka gak sih sama aku?”

Evan senyum, “Iya, Gala. Mas beneran suka sama kamu.”

“Terus kenapa waktu itu kamu sama Nino saling tag foto di Twitter kek orang lagi pacaran?” cecar Gala.

“Foto di Twitter itu buat ngasih liat ke Naura kalau aku gak homophobic kayak yang dia bilang ke kamu,” jawab Evan.

“Apalagi kamu juga nyuruh Mas buat deketin Nino kan?” tanyanya, sementara Gala lantas ngalihin pandangan.

“Jadi Mas mikirnya kamu ngasih batas supaya Mas deketin Nino terus suka sama dia, bukan kamu.”

Gala ngegeleng, “Aku bilang ke Mas supaya deketin Nino buat nutupin perasaan aku.”

“Kayak yang aku bilang tadi, aku takut kamu ngerasa aneh kalo tau aku baper, Mas.”

Evan ngehela napas pelan. Dia sama Gala bener-bener punya ketakutan yang bikin mereka justru salah paham.

“Terus mawar yang Mas bawa buat Nino maksudnya apa?” tanya Gala lagi.

“Mawar itu sebenarnya bukan buat Nino,” kata Evan lalu nyubit pelan pipi Gala, “Tapi buat kamu.”

“Terus kenapa aku gak dikasih kemarin? Mas malah bilang itu buat Nino.”

“Mas gak mau ngasih bunga ke pacar orang,” jawab Evan, “Jadi Mas bilang aja itu buat Nino supaya kamu seneng.”

“Seneng apanya? Aku patah hati tau, Mas. Aku cemburu,” Gala natap wajah Evan datar selagi atasannya itu ketawa.

“Tau gak sih. Semalem aku khawatir banget pas ngeliat tweet-an kamu.”

“Tweet-an yang mana, dek?”

“Itu, yang pas kamu masih di luar padahal udah tengah malem. Kamu kek orang potek tau gak, Mas?”

“Aku sedih mikirin kamu. Tapi aku juga ragu buat ngechat. Aku takut denger fakta kalo kamu emang lagi patah hati gara-gara Nino,” jelas Gala.

“Loh, kok Nino?” tanya Evan.

“Aku mikirnya kamu mungkin ketemu sama Mas Baim yang udah nungguin Nino di kantor sejak pagi. Terus kamu patah hati gara-gara tau kalo Mas Baim juga suka sama Nino.”

“Soalnya aku abis chat-an sama Nino, terus dia bilang gak nerima mawar dari kamu. Ya aku mikirnya kamu gak jadi ngasih mawar karena patah hati dong?” kata Gala.

“Aku sampe ngatur janji sama Nino buat nanyain—dia sebenernya suka sama siapa. Aku gak mau dia ngasih kamu harapan supaya kamu gak sakit hati,” jelasnya.

Evan lantas geleng-geleng kepala sebelum noyor pelan kepala Gala, “Iya, semalem aku emang lagi patah hati.”

“Tapi patah hatinya karena kamu balikan sama Bayu, bukan karena Nino.”

Evan kembali ngusap pipi Gala, “Mas kan udah pernah bilang kalo Mas gak suka sama Nino, dek.”

Gala manyunin bibir sebelum nenggelamin wajahnya di dada Evan. Tapi sesaat setelahnya dia lantas melotot dan mendongak ke sang atasan karena teringat akan sesuatu.

“Ya ampun, Mas!”

“Kenapa, dek?”

“Nino udah nungguin aku di depan!”

Jarum jam nunjuk tepat ke angka 04.15 sore. Dimana udah waktunya untuk pulang kantor. Gala pun dengan sigap bergegas bangkit dari kursinya—hendak ngikutin karyawan lain yang keluar dari ruangan.

Sayangnya sebelum niat Gala itu tersampaikan, Evan yang sedari tadi udah ngawasin dan nungguin dia lebih dahulu menghadang langkahnya. Mau gak mau Gala lantas mendongak dan natap sang atasan sejenak.

“Aku mau ngobrol bentar.”

Gala ngehela napas. Dia kemudian ngelirik ke arah karyawan lain yang satu persatu udah ninggalin ruangan. Sampai saat yang tersisa di tempat itu cuma dia dan Evan, Gala pun bersuara.

“Mas, aku udah ditungguin di depan.”

“Bentar aja, dek. Gak sampe sepuluh menit,” pinta Evan dengan suara lirihnya.

Gala nelan ludahnya. Dia bisa nebak kalau Evan bakal nanyain lagi kenapa beberapa hari terakhir dia terkesan menghindar. Pasalnya, chat Evan pagi tadi tentang hal itu gak dia balas sama sekali. Bukan gak mau, tapi dia bingung alasan apa lagi yang harus dia ucapin.

Dan Gala gak mungkin ngasih tau Evan alasan sebenarnya.

“Mas kan bisa nelpon aku entar malem,” kata Gala, “Atau kalo emang harus ngomong secara langsung bisa besok aja kan, Mas?”

Evan terdiam. Sementara Gala natap wajahnya sejenak.

“Aku duluan,” pamit Gala.

Tapi sebelum kakinya melangkah ninggalin Evan, atasannya itu lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya.

“Mas, lepasin.”

Gumaman Gala gak berarti apa-apa di telinga Evan. Dia tetap mencengkeram pergelangan tangan Gala sambil menyeret bawahannya itu hingga masuk ke ruang kerjanya.

“Kamu apa-apaan sih, Mas?”

Deru napas Gala seketika gak beraturan pas Evan nutup dan ngunci pintu ruang kerjanya. Sang atasan kemudian berbalik ke arahnya sampai mereka akhirnya berdiri saling berhadapan.

“Kenapa, dek?” suara Evan semakin lirih, “Apa yang bikin kamu ngejauhin aku?”

“Aku gak ngejauhin kamu.”

“Tapi sikap kamu ke aku sejak hari Minggu kemarin beda banget dari sebelumnya, La.”

Gala bungkam. Sementara Evan yang ngeliat sang bawahan gak kunjung bersuara pun mencengkeram kedua pundak Gala sebelum angkat bicara.

“Aku udah berusaha nahan perasaan ini sendiri karena takut sikap kamu berubah,” mata Evan berkaca-kaca.

“Tapi kamu justru bikin ketakutan aku itu jadi nyata bahkan ketika aku gak ngomong apa-apa,” katanya.

“Maksud kamu apa sih, Mas?”

“Aku sayang kamu,” ucap Evan setengah berbisik.

“Aku suka sama kamu, Gala.” tuturnya sebelum setetes air mata membasahi pipinya.

Gala nahan napas. Sementara kedua tangan di samping pahanya lantas ia kepalkan.

“Mas...”

“Kamu menghindar karena ucapan Mami kan?” tanya Evan, “Kamu takut kan, dek?”

“Kamu takut kalo selama ini aku perhatian karena aku sayang sama kamu bukan lagi sebagai adek. Makanya kamu memilih buat menghindar karena gak enakan,” sambung Evan.

Gala seketika gak bisa berkata-kata. Dia masih shock berat. Terlebih pas ngeliat Evan tiba-tiba terisak pelan di hadapannya.

“Aku tau kok, dek. Aku tau perasaan kamu gak sama. Kamu cuma nganggap aku kakak kan?”

“Enggak,” jawab Gala.

“Aku juga sayang kamu.”

“Aku suka sama kamu, Mas.”

Kini giliran Evan yang terdiam—saking terkejutnya.

“Aku menghindar karena aku selalu aja pengen nangis pas ngeliat wajah kamu. Aku gak bisa natap mata kamu, Mas.”

“Aku juga bales chat kamu seadanya karena aku gak pengen nerima perhatian kamu dulu untuk saat ini—karena aku gak mau perasaan aku ke kamu makin dalam.”

Gala ikut netesin air mata.

“Kamu tau gak sih gimana sedihnya aku pas kamu jawab iya waktu aku nanya—apa kamu cuma nganggap aku sebagai adek?” sambungnya.

“Sakit, Mas.” ucapnya lirih, “Selama di jalan pulang aku nangisin kamu mulu.”

Gala terisak sebelum meluk erat tubuh Evan.

“Kenapa kamu gak bilang ke aku, dek?” tanya Evan sambil ngusap punggung Gala.

“Gimana caranya aku bilang ke kamu?” isakan Gala masih berlanjut.

“Kamu aja selalu manggil aku adek. Kamu bilang ke orang-orang kalo aku udah kayak adek kandung kamu sendiri.”

“Aku gak tau perasaan kamu, Mas. Aku takut cuma aku aja yang baperan dan berharap lebih sama kamu,” katanya.

“Aku juga takut kamu bakal ngerasa aneh kalo tau aku udah menyalahartikan setiap perhatian kamu selama ini.”

“Jadi apa lagi coba yang bisa aku lakuin selain nge-iyain aja kalo aku juga nganggap kamu kayak kakak kandung?” timpal Gala.

“Maafin Mas ya,” gumam Evan sebelum ngecup puncak kepala Gala sejenak.

“Aku bilang cuma nganggap kamu adek karena aku pengen kamu tetap nyaman dan nerima perhatian aku.”

“Aku gak mau kamu ngerasa gak enakan karena gak bisa ngebalas perasaan aku,” jelas Evan, “Mas udah pernah ada di posisi itu, dek. Mas pernah menghindar dari perhatian Baim yang suka sama Mas—karena gak enakan.”

“Jadi Mas takut kamu juga bakal kayak gitu. Mas gak mau hubungan kita berubah hanya karena perasaan kita gak sama.”

Gala yang menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Evan terkekeh pelan. Masih dengan air mata yang terus-terusan membanjiri pipinya.

“Tapi perasaan aku ke kamu sama, Mas. Kamu pikir selama ini aku gak baper apa tiap kali diperhatiin?” gumamnya.

Evan ikutan terkekeh, “Mas ngeliat reaksi kamu selama ini biasa aja. Tiap kali Mas lowkey nanya, kamu jawabnya juga selalu sebagai adek.”

“Kamu ingat gak pas aku ngajak kamu movie date?” tanya Evan dan dibalas anggukan pelan oleh Gala.

“Di situ Mas milih film ‘friendzone’ juga lowkey buat nanya gimana pandangan kamu—kalo aja seseorang yang deket sama kamu tiba-tiba suka sama kamu.”

Evan kemudian ngecup pundak Gala sesaat, “Tapi kamu malah ketiduran sebelum film nya selesai. Mas frustasi banget waktu itu, La.”

“Maafin aku, Mas.” ucap Gala.

Evan ngangguk, “Mas juga minta maaf ya, dek?”

Gala ketawa ringan, dia kemudian mendorong tubuh Evan sampai pelukan mereka terlepas. Setelahnya, dia lantas nonjok bahu sang atasan sebelum bilang.

“Balikin air mata aku!”

Evan ketawa kecil sambil ngusap pipi sembab Gala.

“Tapi beneran kamu suka sama Mas?” tanya Evan lagi dan langsung dijawab Gala dengan anggukan cepat.

“Terus kenapa kamu balikan sama Bayu?”

Gala menjatuhkan pundak, “Ceritanya panjang, Mas.”

“Ceritain.”

Evan senyum tipis sebelum nuntun Gala ke arah sofa yang ada dalam ruangannya. Mereka pun duduk bersebelahan di sana dengan jemari yang saling bertautan.

“Jadi?”

“Pas pulang dari rumah Mas Evan aku ketemu Bayu,” kata Gala, “Dia memohon banget supaya aku mau ketemu. Katanya mau ngomongin sesuatu.”

Gala kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Evan.

“Terus dia bilang mau ngajak aku balikan. Jadi ya udah, aku tolak. Aku bilang perasaan aku ke dia udah gak sama.”

“Tapi Bayu tetep gak percaya. Dia mau buktiin sendiri terus minta kesempatan buat nunjukin kalo dia serius dan udah berubah. Dia pengen perasaan aku ke dia balik lagi.”

Evan ngangguk, “Terus?”

“Terus aku ngomong ke dia, gak bisa. Aku udah suka sama cowok lain. Meskipun cuma cinta sepihak tapi perasaan aku ke cowok itu udah jauh lebih besar dari dia,” Gala mendongak.

“Cowok itu kamu, Mas. Tapi aku gak bilang ke Bayu kalo orang itu kamu,” katanya.

Evan ngulum senyum, “Jadi pas kamu udah bilang gitu Bayu tetep ngotot?”

“Iya. Malah Bayu bilang gak apa-apa kalo aku balikan sementara sama dia buat ngalihin rasa sakit doang. Pokoknya dia rela ngelakuin apa pun sampai dia bisa ngerebut hati aku lagi.”

“Abis itu kamu iyain?”

“Mm,” Gala ngegumam, “Aku balikan sama dia buat ngalihin rasa sakit dari Mas Evan. Tapi tetep aja gak bisa.”

“Jujur aja semalem aku udah nyuruh dia buat berhenti. Soalnya tiap kali dia ngelakuin hal kecil kek ngirim foto random, aku justru keinget sama Mas Evan.”

“Jadi kalian udah putus?”

“Belum.”

“Kok belum?”

“Bayu masih gak mau nyerah, Mas. Katanya dia minta waktu dua hari lagi,” ucap Gala.

Evan beralih nangkup wajah Gala, “Jadi Mas harus nungguin kamu dua hari lagi nih?” katanya, “Mas gak mau jadi selingkuhan kamu.”

“Selingkuhan apanya sih?” Gala decakin lidah, “Abis ini aku bakal ngabarin Bayu lagi supaya berhenti, Mas.”

Gala senyum.

“Tapi tau gak sih, Mas? Dengan Bayu minta kesempatan kayak gini aku jadi bisa nunjukin ke dia kalo aku bener-bener udah bisa move on,” katanya.

“Ternyata emang bener ya, move on tuh cara paling ampuh buat bikin mantan nyesel,” Gala terkekeh.

“Iya, tapi gak harus dengan balikan kan, dek?” Evan nyubit pipi kanan Gala.

“Kamu bisa kok nunjukin ke dia kalo kamu udah move on dengan menikmati hidup kamu dan bisa senyum bahagia lagi tanpa dia.”

“Ya kan aku juga gak mau balikan sama dia, Mas. Aku cuma ngasih kesempatan yang dia minta,” balas Gala.

“Tapi kemarin kamu bilang sama Mas kalo kalian balikan,” Evan ngehela napas, “Mas cemburu tau. Mas patah hati.”

Gala terkekeh sambil meluk pinggang Evan, “Aku juga mau nanya deh sama kamu, Mas.”

“Nanya apa, dek?”

“Kamu beneran suka gak sih sama aku, Mas?”

Evan senyum, “Kamu gak liat Mas sampe nangis tadi?”

“Terus kenapa waktu itu kamu sama Nino saling tag foto di Twitter?” cecar Gala.

“Foto di Twitter itu buat ngasih liat ke Naura kalau aku gak homophobic kayak yang dia bilang ke kamu,” jawab Evan.

“Apalagi kamu juga nyuruh Mas buat deketin Nino kan?” tanyanya, sementara Gala lantas berdeham.

“Jadi Mas mikirnya kamu ngasih batas supaya Mas deketin Nino terus suka sama dia, bukan kamu.”

Gala ngegeleng, “Aku bilang ke Mas supaya deketin Nino buat nutupin perasaan aku.”

“Kayak yang aku bilang tadi, aku takut kamu ngerasa aneh kalo aku justru baper, Mas.”

Evan ngehela napas pelan. Dia sama Gala bener-bener punya ketakutan yang bikin mereka justru salah paham.

“Terus mawar yang Mas bawa buat Nino maksudnya apa?” tanya Gala lagi.

“Mawar itu sebenarnya bukan buat Nino,” kata Evan lalu nyubit pelan pipi Gala, “Tapi buat kamu.”

“Terus kenapa aku gak dikasih kemarin? Mas malah bilang itu buat Nino.”

“Mas gak mau ngasih bunga ke pacar orang,” jawab Evan, “Jadi ya udah, Mas bilang aja itu buat Nino supaya kamu seneng.”

“Seneng apanya? Aku patah hati tau, Mas. Aku cemburu,” Gala natap wajah Evan datar selagi atasannya itu ketawa.

“Tau gak sih, Mas. Semalem aku khawatir banget pas ngeliat tweet-an kamu.”

“Tweet-an yang mana, dek?”

“Itu, yang pas kamu masih di luar padahal udah tengah malem. Kamu kek orang potek. Aku sedih,” jelas Gala.

“Jadi aku mikirnya kamu mungkin ketemu sama Mas Baim yang udah nungguin Nino di kantor sejak pagi. Terus kamu patah hati gara-gara tau kalo Mas Baim suka sama Nino.”

“Soalnya aku abis chat-an sama Nino, terus dia bilang gak nerima mawar dari kamu. Ya aku mikirnya kamu gak jadi ngasih mawar karena patah hati dong?” kata Gala.

“Aku sampe ngatur janji sama Nino buat nanyain—dia sebenernya suka sama siapa. Aku gak mau dia ngasih kamu harapan supaya kamu gak sakit hati,” jelasnya.

Evan lantas geleng-geleng kepala sebelum noyor pelan kepala Gala, “Iya, semalem aku emang lagi patah hati.”

“Tapi patah hatinya karena kamu balikan sama Bayu, bukan karena Nino.”

Gala manyunin bibir sebelum nenggelamin wajahnya di dada Evan. Tapi sesaat setelahnya dia lantas melotot dan mendongak ke sang atasan karena teringat akan sesuatu.

“Ya ampun, Mas!”

“Kenapa, dek?”

“Nino udah nungguin aku di depan!”

Gala yang udah keluar dari gedung divisinya tiba-tiba menghentikan langkah tepat di depan gedung divisi HR. Pasalnya dia ngeliat Baim lagi berdiri di sana—dengan tampang yang keliatan nyaris putus asa.

“Mas Baim,” Gala nyamperin.

“Eh, La. Udah mau pulang?”

“Iya nih, Mas.”

Gala ngelirik sejenak ke arah gedung HR sebelum kembali natap Baim.

“Mas lagi nungguin siapa?”

“Nino, La.”

Suara Baim yang begitu lirih bikin Gala seketika ngerasa kasian. Terlebih pas dia mengingat kalau dia gak pernah ngabarin mantan atasannya itu tentang fakta bahwa Nino ngeliat mereka makan bahkan pegangan tangan di restoran kemarin.

Bisa jadi Nino juga udah ngomong ke Baim, pikirnya.

“Mas Baim udah nunggu dari tadi gak? Kali aja anaknya udah balik,” kata Gala.

“Aku udah nungguin Nino sejak pagi kok, La. Aku juga ngeliatin dari pos satpam. Dia belum keluar dari gedung ini.”

“Kamu mau ke parkiran, La?” tanya Baim.

“Enggak, Mas. Aku mau ke depan nunggu ojol.”

“Hm, ya udah. Kamu hati-hati ya pulangnya.”

Gala nelan ludah, “Mas mau aku anterin ke parkiran gak? Tunggu Nino di samping mobilnya aja.”

Baim ngangguk antusias, “Boleh, La.”

Gala kemudian nuntun Baim ke parkiran. Dan bener aja, mobil Nino masih ada di sana.

“Nino abis ngomong juga ya sama Mas Baim?” tanya Gala.

“Ngomong apa, La?”

Gala diam. Dia pun natap wajah Baim kebingungan.

“Nino ngejauhin Mas Baim gak?”

Baim ngangguk lemah, “Iya, La. Dia nyuruh aku berhenti buat deketin dia. Abis itu langsung ngeblock nomor sama akun Twitter aku.”

“Awalnya dia gak ngomong apa-apa. Tapi tadi dia unblock nomor aku terus bilang kalo alasannya dia gak suka cowok pembohong.”

Gala ngehela napas pelan. Berarti Nino gak ngomong ke Baim soal yang kemarin, pikirnya.

“Permisi.”

Atensi Baim dan Gala lantas beralih ke sumber suara. Keduanya pun noleh ke Nino yang udah ngebuka kunci mobilnya dan hendak ngebuka pintu lalu masuk gitu aja. Bahkan tatapan matanya pun benar-benar mengabaikan Baim dan Gala.

Beruntung Baim dengan sigap nahan lengannya. Bikin Nino refleks natap wajah pria yang lebih tinggi darinya itu dengan tatapan gak suka.

“Orang yang Mas Baim tunggu sejak pagi udah dateng tuh,” celetuk Gala dengan suara yang sengaja dia buat lantang.

“Tanyain aja kenapa dia sampe ngejauhin kamu, Mas. Soalnya kalo aku yang jelasin entar malah dikira ngurusin hidup dia,” ucap Gala sebelum berbalik. Ninggalin Baim dan Nino berdua di sana.

Nino yang ngeliat Gala pergi seketika mendengus kasar. Dia pun nyoba buat ngelepasin cengkeraman Baim tapi gak bisa.

“No, ada apa sih?” tanya Baim lirih, “Kenapa tadi Gala nanya ke aku katanya kamu abis ngomong ke aku juga?”

“Ngomong apa maksudnya? Kasih tau aku,” tuturnya lirih.

“Aku gak ada waktu buat ngejelasin hal gak penting.”

“Tapi ini penting buat aku. Kalo aku salah kasih tau aku, supaya aku gak ngulangin itu lagi ke kamu.”

“Aku udah bilang kan sama kamu, Mas? Aku gak suka cowok pembohong.”

“Kapan aku bohongin kamu?”

“Kemarin—pas kamu batalin janji makan siang kita terus bilang ada kepentingan...”

“Kamu ketemu Gala kan?”

Baim terdiam.

“Aku liat semuanya kok. Aku juga ada di sana. Aku ngeliat kamu bahkan pegangan tangan sama sahabat aku sendiri,” tutur Nino.

“Kalo kamu suka sama dia ya deketin dia aja. Jangan datang ke aku. Jadi kamu gak perlu bohong terus sembunyi-sembunyi kayak gitu.”

“Atau kamu emang gak pernah puas ya kalo cuma deketin satu orang, Mas?” tanyanya.

“No, tunggu. Gak gitu,” sela Baim.

“Aku emang gak bilang ke kamu kalo aku mau ketemu Gala. Tapi semua itu karena aku pengen nanyain tentang kamu ke Gala.”

“Kepentingan yang aku maksud itu kamu, No. Kamu.”

Baim natap wajah Nino lekat-lekat sembari ngatur napas.

“Apalagi selama ini kamu selalu bilang supaya aku gak terang-terangan deketin kamu—termasuk di depan Gala sahabat kamu sendiri,” sambungnya, “Aku bingung.”

“Hubungan kita gini-gini aja. Kamu masih dingin, cuek, ga pernah ngejawab tiap kali aku nanyain perasaan kamu, seolah usaha aku selama ini tuh gak berbuah apa-apa.”

“Aku pengen tau kenapa kamu kayak gitu, No. Jadi aku nanya ke Gala apa kamu punya pengalaman buruk soal percintaan atau gimana,” Baim menambahkan.

Nino membuang pandangan ke arah lain. Tapi Baim buru-buru nangkup wajahnya.

“Soal pegangan tangan... Aku megang tangan Gala tanpa konteks rasa suka. Di situ aku mohon supaya dia tetep di samping Evan. Aku bahagia liat Evan banyak senyum di samping dia,” jelas Baim.

“Cuma kamu yang aku suka, No. Gak ada orang lain,” ucap Baim setengah berbisik.

“Aku tau kamu punya pengalaman buruk sebelumnya. Aku juga paham betapa gak mudahnya buat percaya lagi sama orang lain.”

“Tapi gak semua orang kayak gitu, No. Apalagi aku yang udah pernah bikin sahabat aku sendiri menjauh karena hal semacam itu,” Baim jujur.

Nino pun masih diam. Dia merhatiin Baim yang perlahan menggenggam jemarinya erat-erat.

“Aku juga punya pengalaman buruk. Bahkan aku sendiri yang nyiptain keburukan itu.”

“Aku pernah main belakang sama pacar sahabat aku sendiri sampai sahabat aku itu sakit hati.”

“Sahabat aku itu Evan...”

Nino gak berekspektasi kalau Baim bakal terang-terangan dan mengakui keburukannya.

“Terus kamu tau setelahnya apa? Aku juga ngerasain sakit hati karena harus kehilangan sahabat terbaik sekaligus cinta pertama aku semenjak suka sama cowok.”

Nino kaget. Tapi dia berusaha buat mengontrol ekspresinya.

“Dari situ aku sadar dan belajar satu hal penting; kalo segala sesuatu berhubungan satu sama lain,” kata Baim.

“Kalo kamu nyakitin, bakal ada juga yang nyakitin kamu. Tapi begitu juga sebaliknya, kalau ada yang nyakitin kamu berarti bakal ada juga yang ngobatin sakit kamu.”

“Evan udah ketemu sama Gala yang jadi obat buat nyembuhin sakitnya.”

Nino masih menyimak.

“Dan aku juga pengen jadi orang yang ngobatin sakit kamu,” ucap Baim, “Aku gak sempurna, No. Aku juga pernah berbuat salah.”

“Tapi tolong kasih aku kesempatan. Tolong biarin aku nyoba sekali lagi.”

Nino ngehela napas panjang.

“Aku butuh waktu buat mikir,” katanya, “Aku mau pulang.”

“Biar aku yang nyetir buat kamu,” pinta Baim, “Ya?”

“Gak usah.”

“Hari ini aja, No.”

“Enggak.”

“Ya udah, aku duduk di belakang deh kalo kamu gak mau deket-deket sama aku.”

“Mas...”

“Nino, kali ini aja. Kalo gak, aku bakal teriak nih. Aku mau bilang kalo kamu pacar aku.”

“Sinting,” gumam Nino.

Dia udah sakit kepala. Dia ngerasa gak bisa lagi berdebat sama Baim yang tiba-tiba maksa. Alhasil dia pun nyodorin kunci ke Baim sebelum masuk duluan ke dalam mobilnya.

Masih cukup pagi dan kondisi kantor masih sepi. Bikin Evan yang baru aja markirin mobil pun bergegas buat segera masuk ke gedung divisinya.

Di tangannya udah ada sebuah bucket bunga mawar yang dia beli di flower shop sebelum berangkat tadi. Evan berniat naroh bucket itu di meja Gala sebelum sang bawahan datang nanti.

Ketika Evan sampai di lobi gedung divisinya, atensinya lantas tertuju ke arah Gala yang lagi berbincang-bincang dengan seorang pria di sana.

Jujur aja Evan kaget. Tapi karena sang bawahan udah terlanjur ngelirik ke arahnya, mau gak mau dia lantas nyamperin Gala—masih dengan bucket mawar di tangannya.

“Pagi,” sapa Evan.

Pria yang tadinya lagi ngobrol bareng Gala pun berbalik. Bikin Evan lagi-lagi dibuat kaget. Pasalnya dia baru aja nyadar kalau sosok itu adalah Bayu, mantan pacar Gala.

“Pagi, Mas Evan.”

Evan senyum tipis pas Bayu tiba-tiba nyapa dia dengan raut ramah. Berbanding terbalik ketika mereka ketemu di kediaman Bunda.

“Titip Gala ya, Mas.”

Penuturan Bayu bikin Evan ngelirik Gala yang masih diam. Dia pun cuma ngangguk pelan setelahnya.

“La, kalo gitu aku ke kantor juga ya. Entar siang aku kabarin kamu lagi,” ucap Bayu.

“Mhm, hati-hati.”

Setelah Bayu ninggalin lobi, Evan pun dengan sigap berdiri tepat di hadapan Gala.

“Dia nganterin kamu ke kantor?” tanyanya.

“Iya, Mas.”

“Mobil kamu kenapa?”

“Gak kenapa-kenapa, aku cuma pengen dianterin aja.”

“Kok gak bilang sama aku?”

Ada nada kecewa dari suara Evan. Begitu juga dengan raut wajahnya.

“Aku gak mau bikin Mas Evan repot,” kata Gala, “Lagian apa kata Bayu kalo aku minta dianterin sama Mas padahal aku udah punya dia.”

Evan nahan napas.

“Maksudnya?” tanyanya lirih.

“Aku balikan sama Bayu, Mas.”

Tungkai Evan seketika melemas. Genggamannya pada bucket bunga mawar pun nyaris lepas sesaat setelah dia dengerin penuturan Gala. Tapi dia masih berusaha buat bersuara sekuat tenaga.

“Sejak kapan?”

“Kemarin.”

Keduanya berbagi pandangan dalam diam sejenak. Saling menyelami netra satu sama lain dengan tatapan penuh luka yang justru gak bisa tersampaikan dengan kata-kata.

“Kamu bahagia gak balikan sama dia?” tanya Evan lagi.

Gala nelan ludahnya. Dia pun ngangguk pelan sebelum maksain senyum.

“Iya, Mas.”

“Pantes chat aku sejak kemarin gak dibales,” Evan ketawa hambar, “Ternyata kamu lagi asik pacaran ya.”

“Maaf, Mas. Semalem pas nyampe di rumah aku udah ketiduran.”

“Gak apa-apa,” Evan ikut maksain senyumnya.

“Kalo kamu bahagia Mas juga ikut bahagia kok, dek.”

Gala meremas jemarinya di samping paha sebelum ngelirik bucket di tangan Evan dengan tatapan kosong.

“Mas bawa bunga buat apa?” tanyanya sebelum kembali natap wajah Evan lekat-lekat.

Evan berusaha nelan ludah meski tenggorokannya udah terasa seperti diganjal batu.

“Ini buat Nino.”

Lagi.

Evan kembali mengutarakan kebohongan lain yang sejatinya cuma nyakitin dirinya sendiri saat ini. Tapi selama itu bisa bikin Gala gak ngerasa canggung dan berpikir kalau dia udah ngelewatin batas dari seorang kakak—dia rela ngelakuin itu, pikirnya.

“Oh,” gumam Gala, “Jam segini biasanya dia udah dateng kok. Mas langsung aja ke ruangannya.”

Evan gak bisa lagi membalas ucapan Gala dengan kata-kata. Hanya anggukan dan senyuman hambar di bibir yang jadi respon darinya.

“Kalo gitu aku duluan ke ruangan, Mas.”

Gala berpamitan sebelum jalan ke arah lift. Sementara Evan yang masih berdiri di tempat semula seketika ngulum bibirnya sebelum balikin badan. Sebab matanya udah berkaca-kaca, dan dia gak pengen Gala ngeliat kerapuhannya.

Evan kemudian berjalan ke arah tempat sampah. Berniat untuk membuang bucket yang ada di tangannya. Tapi sebelum niatnya itu tersampaikan, Mas Dodit tiba-tiba datang; nyamperin dia.

“Loh, Pak Evan? Kok bunganya mau dibuang?”

Evan senyum miring, “Saya salah beli bunga, Mas.”

Lebih tepatnya membeli bunga di waktu yang salah.

“Pak Evan, mohon maaf. Tapi kalau bapak gak keberatan bunganya buat saya aja boleh?” kata Mas Dodit.

“Kebetulan istri saya hari ini lagi ulang tahun, Pak. Sayang aja kalo bunganya dibuang.”

Evan ngangguk paham. Dia kemudian nyodorin bucket bunga mawar itu ke Mas Dodit—salah satu Office Boy kantornya.

“Selamat ulang tahun ya buat istrinya, Mas.”

“Terima kasih, Pak Evan.”

Evan senyum tipis ngeliat raut bahagia di wajah Mas Dodit. Tapi gak lama berselang, atensinya lantas beralih ke arah seseorang yang tiba-tiba nyamperin dia dan sang OB.

Saat itu juga Evan lantas terdiam. Pasalnya sosok yang lagi berdiri di samping Mas Dodit adalah Baim.

Dia pun bisa ngeliat kalau Baim gak kalah kagetnya. Nampak kalau mantan rekan kerjanya itu juga gak berekspektasi bahwasanya ada dia yang berdiri di hadapan Mas Dodit.

“Van,” gumam Baim.

“Eh? Temennya Pak Evan ya?”

Mas Dodit senyum ke arah Baim sejenak sebelum kembali natap Evan, “Kalo gitu saya permisi ya, Pak. Sekali lagi terima kasih.”

“Sama-sama, Mas.”

Evan lantas ngebiarin Mas Dodit ninggalin dia sama Baim.

“Lu ngapain ke sini?”

Baim yang gak nyangka kalau Evan bakal nanya ke dia lantas tersentak. Dia kemudian berdeham pelan sebelum menjawab.

“Gue mau nyari Nino, Van.”

“Lu keberatan gak kalo gue nanya gedung divisi HR ada di mana?” tanya Baim.

Evan nunjuk gedung yang ada di sebelah kanannya dengan dagu, “Di sana.”

“Mm, oke. Makasih ya, Van.”

Evan gak ngucapin apa-apa lagi sebelum berbalik dan ninggalin Baim sendirian. Sementara Baim yang ngeliat gelagat sahabatnya itu seketika nautin alisnya heran.

Kayana yang lagi berdiri di depan kamar Evan sambil ngelipat lengan lantas menghela napas lega pas adiknya itu akhirnya ngebukain pintu.

Tapi sesaat setelahnya dia justru refleks micingin mata. Terlebih saat mendapati kalau kedua bola mata Evan memerah dan sembab.

“Masuk, Mba.”

Kayana pun cuma ngikutin Evan yang nuntun dia buat duduk di tepi ranjang.

“Nangisnya udah dari tadi?” tanya Kayana sambil natap wajah adik laki-lakinya.

“Aku gak nangis.”

“Mata kamu gak bisa boong.”

“Tadi cuma kena sabun pas cuci muka di kamar mandi.”

“Kamu gak mau cerita sama Mba?”

Evan nunduk. Dia paling gak bisa natap mata Kayana tiap kali kakaknya itu lagi serius.

“Aku bingung mau mulai cerita dari mana, Mba.”

“Kalo gitu biar aku yang nanya duluan,” kata Kayana.

“Orang yang di tweet kamu akhir-akhir ini tuh siapa?”

Ada keheningan selama beberapa saat sebelum Evan akhirnya menjawab.

“Gala, Mba.”

“Kamu suka kan sama Gala?”

Evan ngangguk lemah.

“Terus kenapa pas Mami becandain kamu sama Gala siang tadi responnya malah bilang gak suka?”

“Aku takut.”

Evan akhirnya memberanikan diri buat natap wajah Kayana.

“Aku takut sikap Gala ke aku berubah jadi canggung. Aku gak mau dia tiba-tiba menghindar kalau tau selama ini aku nyimpan rasa ke dia.”

“Perasaan Gala ke aku gak sama, Mba. Dia sayang sama aku gak lebih dari seorang adek ke kakaknya,” jelas Evan.

Kayana ngehela napas.

“Emang kamu udah pernah nanya ke Gala gimana perasaan dia ke kamu?”

“Enggak. Aku gak berani nanya secara gamblang. Karena aku takut Gala jadi gak enakan atau bahkan nolak perhatian aku ke depannya.”

“Tapi selama ini aku selalu mengamati respon dia kok. Aku juga kadang lowkey ngasih Gala kode, tapi jawaban dia tetap sebagai adik.”

Evan senyum kecut, “Bahkan Gala nyuruh aku buat deketin sahabatnya sendiri di kantor.”

“Dari situ aja keliatan kan kalo Gala pengen ngasih batasan buat aku, Mba?”

Kayana ngegeleng pelan.

“Gak bisa, Van. Kamu gak boleh dong ngambil kesimpulan sendiri kayak gitu,” ucap Kayana.

“Karena terkadang apa yang kasatmata justru berbeda dari apa yang sebenernya ada di isi kepala orang lain. Dan kamu gak bisa ngebaca itu.”

“Terus gimana kalau emang dugaan aku selama ini ternyata bener dan aku juga udah terlanjur nanya ke Gala, Mba?” sela Evan.

“Aku gak nanya karena aku gak siap buat nerima konsekuensinya. Apalagi aku udah ngerasain sendiri gimana jadi pihak yang disukai—tapi perasaan aku ke orang itu gak sama,” jelasnya.

“Itu tuh gak enak banget. Ada rasa bersalah yang bikin kita canggung dan jatohnya malah pengen menghindar dari setiap perhatian orang itu.”

“Aku gak mau Gala kayak gitu, Mba. Aku pengen hubungan aku sama Gala tetep gini.”

Kayana diam sambil natap kedua bola mata Evan. Seolah ngebiarin adiknya itu mengeluarkan segala isi hatinya terlebih dahulu.

“Lagian udah makin jelas kok kalau Gala cuma nganggap aku kakak,” sambung Evan.

“Sebelum pulang tadi dia sempet nanya ke aku—apa aku cuma nganggap dia adek.”

Evan ngulum bibirnya sejenak, “Padahal aku udah jawab iya, tapi kayaknya dia emang udah ngerasa aneh abis dengerin candaan Mami.”

“Buktinya chat aku sejak siang tadi sampe yang baru aku kirim beberapa menit lalu gak dibaca sama sekali.”

Kayana ngangguk paham. Dia kemudian ngusap lembut punggung Evan sebelum angkat bicara.

“Van, Mba ngerti kok ketakutan kamu. Mba juga paham dan ngeliat sendiri gimana bahagianya kamu kalo lagi bareng Gala.”

“Wajar kalo kamu gak pengen kehilangan semua itu,” jelas Kayana.

“Tapi menurut Mba gini, segala perhatian kamu ke Gala udah termasuk usaha.”

Kayana ngangkat pundak, “Iya, Mba tau kamu tulus ngelakuin itu. Kamu perhatian karena sayang sama dia. Tapi tetep aja ada harap kan di benak kamu?”

Evan ngangguk pelan.

“Nah, itu yang namanya usaha.” kata Kayana, “Dan segala usaha itu pada akhirnya bakal berujung sama kepastian, Van.”

“Kalo kamu mendam perasaan kamu kayak gini dan masih menerawang perasaan Gala, artinya semua ini belum pasti. Kamu belum tau arahnya bakal ke mana.”

“Kuncinya tuh cuma satu... Jujur,” Kayana menegaskan.

“Kejujuran emang terkadang menyakitkan, tapi kejujuran itu gak pernah menyakiti. Justru kamu sendiri yang bakal nyakitin diri kamu sendiri kalau gak bisa jujur.”

Kayana beralih ngusap pelan belakang kepala Evan.

“Van, emang banyak kok hal yang gak pengen rasanya kita lepasin atau tinggalin, tapi semua itu pasti ada akhirnya.”

“Dan manusia gak bisa ngatur itu. Kalo Tuhan udah bilang waktunya selesai, ya selesai.”

“Termasuk kedekatan kamu sama Gala,” kata Kayana.

Evan membungkuk. Dia nopang kepalanya sendiri dengan kedua tangan sebelum bergumam lirih.

“Aku gak siap buat itu, Mba.”

“Van, pernah gak sih kamu nyoba buat berpikir sebaliknya?” tanya Kayana.

“Pernah gak kamu mikir gimana kalau selama ini Gala juga diam-diam suka kamu tapi dia sama takutnya kalo aja kamu cuma nganggap dia sebagai adek?” jelasnya.

“Kamu juga harus ngeliat dari dua sisi, dek. Jangan cuma mikirin kemungkinan terburuknya,” ucap Kayana.

“Sama aja yang kamu mikir kalo Gala bakal ngerasa canggung setelah kamu jujur tentang perasaan kamu.”

“Coba deh berpikir sebaliknya, emang semua orang bakal ngerasain hal yang sama kayak kamu?” tanya Kayana. Sementara Evan terdiam.

“Bisa aja kan Gala lebih mampu nyikapin itu buat jaga perasaan kamu. Apalagi selama ini aku liatnya Gala masih kayak waktu dia kecil dulu. Clingy nya ke kamu, pokoknya apa-apa ya kamu.”

Kayana narik napas dalam-dalam sambil ngeraih jemari Evan pas adiknya itu kembali bangkit dan natap wajahnya.

“Van, percaya ini deh. Gak ada kejujuran yang ngebawa manusia ke keburukan. Pasti akhirnya ke kebaikan. Pasti.”

“Jadi kamu harus berani. Jangan boongin diri kamu sendiri, apalagi boongin Gala. Ya?”

Evan gak bisa berkata-kata lagi. Dia cuma ngulum bibirnya yang udah bergetar—karena nahan tangis sebelum meluk erat tubuh kakaknya.

“Gak apa-apa... Gak apa-apa... Nangis aja,” gumam Kayana.

Evan benar-benar terisak dalam dekapan Kayana. Bahkan pundak kakaknya itu udah basah karena air mata.

“Mba, aku sayang Gala.”

Gala berangkat ke rumah Evan tepat setelah Bunda juga pamit pergi buat menghadiri arisan. Sesampainya di rumah sang atasan pun Gala lantas bercengkerama sejenak dengan Papi, Mami, Mba Kayana juga Alisha.

Hingga saat jarum jam udah hampir nunjuk ke angka dua belas siang, Evan kemudian ngajak Gala ke dapur. Bukan tak lain buat bikin nasi goreng—yang sekaligus bakal jadi menu makan siang mereka.

“Nih, La. Kamu perhatiin semua bahan-bahan ini,” ucap Evan setelah naroh semua bahan-bahan untuk bikin nasi goreng di atas pantri.

“Sekarang kamu panasin minyak dulu. Dikit aja.”

Gala nunjuk dirinya sendiri, “Aku?”

“Iya, kamu. Kan tugas aku cuma ngajarin.”

Gala decakin lidah ngeliat senyum usil Evan. Tapi pada akhirnya dia tetep nurut aja.

“Kalo minyaknya udah panas kamu masukin udang sama bakso,” perintah Evan.

“Mas, ini apinya gak kegedean?”

“Kalo pengen bikin nasi goreng yang wangi, apinya makin gede makin bagus kok.”

Gala ngangguk paham.

“Kalo udang sama baksonya udah mateng gini, kamu tirisin dulu. Abis itu panasin minyak lagi.”

Lagi-lagi Gala cuma nurut.

“Sekarang kamu orak-arik telur. Kalo udah rada kering, kamu masukin bawang merah sama bawang putih yang udah dialusin.”

“Oke,” gumam Gala.

“Kalo bumbunya udah wangi kayak gini, masukin kecap ikan abis itu masukin udang sama bakso yang udah ditumis duluan tadi.”

“Kenapa udang sama baksonya ditumis duluan, Mas? Kenapa gak dimasukin bareng aja sama bumbu?”

Evan senyum denger pertanyaan cerdas Gala.

“Udang biasanya kalo ditumis ngeluarin air. Jadi gak bagus, bisa bikin nasi gorengnya nanti basah terus wanginya hilang gitu.”

“Oh, paham. Sekarang kalo udah gini apa lagi, Mas?”

“Kalo udah, masukin daun bawang terus masukin nasinya.”

“Ini aku aduk gak, Mas?”

“Masukin saos tiram, kecap asin sama kecap manis dulu, abis itu baru diaduk.”

Gala kembali ngangguk.

“Tambahin merica dikit.”

“Garem enggak, Mas?”

Evan senyum, “Gak, tadi kan udah pake kecap asin.”

Gala melongo sejenak sambil ngaduk nasi goreng di hadapannya. Pantes aja nasi goreng buatannya kemarin asin banget, pikirnya.

“Terakhir nih,” kata Evan yang bikin Gala semangat.

“Apa, Mas?”

“Kamu tau gak bumbu dapur apa yang rasanya manis?”

Gala terkekeh. Kenapa jadi main tebak-tebakan, batinnya.

“Gula.”

“Salah.”

“Terus apa?”

Evan ngeraih sesuatu dari laci nakas, “Mi cinta you.”

Gala ngulum senyumnya sambil geleng-geleng kepala. Dia kemudian ngeraih micin yang disodorin Evan sebelum nuangin sedikit ke nasi gorengnya yang hampir jadi.

“Jadi udah nih, Mas?”

“Iya, matiin kompornya terus tuangin ke piring. Mas mau nyoba,” ucap Evan.

“Siap, bos besar.”

Evan senyum puas ngeliat Gala benar-benar nurutin semua arahannya. Sampai saat bawahannya itu udah nyodorin sepiring nasi goreng di hadapannya, dia lantas nyobain dengan raut bahagia.

“Gala.”

“Iya, Mas?”

“Aku beruntung ya, bisa jadi orang pertama yang nyobain nasi goreng buatan kamu.”

Evan mendesis, “Nasi goreng yang kemarin itu enak banget, tapi yang ini ternyata lebih enak lagi loh.”

“Apa karena ada aku yang nemenin ya?” tanyanya.

Senyum manis pun seketika merekah di bibir Gala. Evan emang selalu punya cara buat bikin dia ngerasa dihargai.

“Mau nyobain juga gak?”

Gala ngangguk, “Mau.”

“Pelan-pelan. Masih panas,” ucap Evan setengah berbisik pas dia nyuapin Gala.

“Mas Ev—cieeeee! Suap-suapaaan. Uhuy!”

Gala hampir aja keselek pas Alisha masuk ke dapur dan ngeledekin mereka berdua.

“Aduh, maaf nih jadi ganggu.”

“Kenapa? Mau apa, hm?” Evan nyubit pipi adiknya.

“Mas isiin e-wallet aku dong.”

“Kenapa gak minta ke Mba Yana, dek? Dia abis gajian tau.”

“Gak mau. Mba Yana serem.”

Evan senyum sambil ngeluarin handphone dari saku celananya, “Emang pengen beli apa kamu?”

“Beli makan.”

“Loh aku sama Mas Gala kan lagi masak. Masa kamu mau beli makan?”

“Enggak sekarang, Mas. Tapi buat besok,” kata Alisha.

“Udah aku isiin.”

“Makasih, Mas Evan!” Alisha cengengesan, “Ya udah, lanjut lagi pacarannya.”

Evan cuma geleng-geleng kepala sebelum noleh ke Gala yang sedari tadi diam aja.

***

“Ini Gala yang masak nih?” tanya papi setelah melahap nasi goreng di hadapannya.

“Gak, Pi. Tadi aku bantu-bantu Mas Evan doang.”

“Gala juga masak kok, Pi. Tapi cuma buat aku,” kata Evan sambil nunjuk piringnya.

Mami yang duduk berseberangan dengan Evan juga Gala pun lantas senyum.

“Emang beda ya kalo orang udah pacaran tuh,” katanya.

Gala yang mendengar itu lantas nunduk sambil nahan senyum. Sementara Evan yang ngelirik Gala sekilas seketika kembali ngerasa takut. Alhasil, dia pun natap ke Mami sebelum bilang,

“Siapa yang pacaran sih, Mih? Orang Gala cuma masak buat kakak tersayangnya kok.”

“Iya kan, dek?”

Gala noleh ke Evan, ngangguk sebelum maksain senyumnya.

“Kok belum pacaran sih?” Mami decakin lidah, “Apa Gala mau langsung kamu nikahin aja, Van?”

Kayana sama Alisha ikut musatin atensi ke Gala sama Evan yang cuma diam aja.

“La, tau gak? Evan tuh tiap pagi pasti sibuk sendiri di dapur buat nyiapin bekel kamu.”

Gala nelan ludah sebelum ngelirik Evan yang juga lagi diam-diam natap wajahnya.

Mami ketawa ringan, “Waktu Evan masih pacaran sama mantannya dulu dia mana pernah kayak gitu.”

Harapan yang semalam Gala gantungkan pas Evan nyium keningnya lantas makin tinggi. Tapi ngeliat Evan natap Mami dengan raut datar bikin dia bingung sendiri.

“Kamu kalau dilamar sama Evan tahun ini siap gak, La?” tanya Mami yang bikin Evan seketika angkat bicara.

“Mi, udah deh. Aku gak suka kalau Mami ngomong gitu tentang aku sama Gala.”

Mami, Papi, tak terkecuali Alisha dan Kayana seketika kaget ngeliat respon Evan. Sementara Gala yang mendengar penuturan Evan pun tiba-tiba ngerasa seolah dadanya ditimpa oleh sesuatu yang berat sampai dia sesak.

“Van,” panggil Kayana, “Mami kan cuma bercanda, dek.”

“Candaan kayak gitu udah gak lucu. Gala udah gede gak kayak dulu lagi,” ucap Evan sebelum kembali natap Gala, “Lanjutin makan kamu, dek.”

Gala cuma ngangguk pelan sebelum kembali natap piringnya dengan sorot mata yang kosong. Nafsu makannya udah hilang. Satu hal yang ada di pikirannya saat ini cuma satu, dia pengen pulang.

Gala paham, sedari awal Evan emang selalu bilang udah nganggap dia kayak adek kandung. Tapi dia justru berharap semuanya itu bakal berubah seiring berjalannya waktu. Ditambah lagi dengan sikap manis Evan buat dia.

Sayangnya apa yang Gala dengar tadi seolah jadi tamparan sekaligus batasan. Evan seolah pengen menegaskan kalau gak akan ada yang lebih dari mereka.

Dan hal itu sukses bikin hati Gala hancur.

“Udah, udah. Ayo lanjutin lagi makannya,” Papi menengahi.

Semua orang yang ada di meja makan pun ngelanjutin makan siangnya. Tapi Evan gak henti-henti ngelirik ke arah Gala di sampingnya. Dan dia bisa ngeliat kalau Gala udah gak berselera.

Seusai makan siang yang didominasi keheningan, kini Evan pun nuntun Gala keluar dari ruang makan. Gak ada percakapan di antara mereka selama beberapa saat. Sebab Gala nyibukin diri dengan natap layar ponselnya.

“Mas, aku pamit pulang ya.”

“Loh, kok buru-buru banget?”

Gala nelan ludah, “Aku ada janji sama temen abis ini.”

“Ya udah.”

Evan pun ngikutin langkah Gala menuju pintu utama. Tapi saat sampai di area garasi rumah, bawahannya itu tiba-tiba bersuara.

“Mas Evan gak usah nganterin aku pulang.”

Evan yang ngeliat tingkah Gala lantas mencengkeram pergelangan tangan bawahannya itu.

“La, kamu kepikiran sama ucapan Mami tadi?”

Gala natap lurus ke mata Evan sambil maksain senyum.

“Gak kok, Mas.”

Suara klakson mobil dari arah depan rumah Evan pun menggema.

“Itu kayaknya taxi online yang mau jemput aku,” katanya, “Aku pulang dulu.”

Gala hendak ngelepasin cengkeraman Evan di pergelangan tangannya, tapi sang atasan justru gak ngebiarin dia pergi gitu aja.

“Mas, lepasin. Abangnya udah nunggu di depan.”

“La, kamu marah sama aku?”

“Gak lah, Mas. Ngapain juga aku marah sama kamu?”

Gala akhirnya berhasil ngelepasin cengkeraman Evan. Dia ngehela napas pelan sambil mati-matian nahan diri supaya gak nangis.

“Makasih buat hari ini, Mas.”

Gala kemudian berbalik dan jalan ke arah pagar. Tapi Evan dengan setia ngikutin dia dari belakang. Sampai saat Gala udah buka pintu mobil dan siap-siap masuk ke taxi online itu, dia kemudian berbalik sejenak ke Evan.

“Mas.”

“Iya, dek.”

Gala natap wajah Evan lekat-lekat.

“Kamu cuma nganggap aku adek kan, Mas?”

Gala tau, pertanyaan itu cuma menciptakan luka buat dirinya sendiri. Tapi dia justru ingin memastikan lagi supaya harapannya benar-benar runtuh. Lebih tepatnya supaya dia makin tau diri.

Sementara itu, tangan Evan seketika bergetar hebat setelah mendengar pertanyaan Gala. Padahal dia udah menduga sebelumnya. Dia paham kalau perubahan sikap Gala yang tiba-tiba ini pasti berkaitan sama ucapan Mami. Tapi tetap aja, dia ngerasa belum siap buat menghadapi kenyataan.

Rasa takut yang sedari tadi menghantui Evan pun semakin menjadi-jadi.

Dia gak mau Gala pergi.

Dia gak mau sikap Gala berubah setelah ini.

Dia gak mau Gala ngerasa canggung atas perhatiannya ke depan nanti.

Sebab Evan udah begitu paham gimana rasanya disukai oleh seseorang yang dianggap sangat dekat, sementara perasaan mereka tidak lah sama. Canggung, gak enakan, asing. Persis seperti apa yang dia rasakan dulu terhadap Baim.

Bedanya, saat ini Evan lah yang harus ngerasain posisi Baim. Pasalnya udah makin jelas kalau perasaan Gala untuknya gak lebih dari seorang adik ke kakak.

Alhasil, satu-satunya cara supaya kemungkinan itu gak terjadi adalah dengan membohongi dirinya sendiri.

“Iya, dek.” jawab Evan.

Gala ngangguk paham. Dia kemudian ikut maksain senyum sebelum masuk ke dalam mobil. Sementara Evan yang nganterin dia langsung nutup pintu setelah ngasih tau sang supir buat hati-hati.

“Jalan, Pak.” ucap Gala.

Sesaat setelah mobil yang dia tumpangi ninggalin area rumah Evan, air matanya pun seketika bercucuran. Gala nangis dalam diam sambil natap ke luar jendela.

Gak jauh berbeda dengan Gala, Evan yang masih menatap nanar taxi online di depan sana lantas meneteskan air mata sambil memijat pangkal hidungnya.

Gala yang udah ada di ruangan Evan lantas ngelahap sushi di atas meja. Sama seperti biasa, lagi-lagi dia duduk di samping atasannya.

“Lagi liat apa sih?” tanya Evan pas ngeliat Gala sibuk natap layar handphone nya.

“Lagi liat seblak di gofood.”

Persekian detik berikutnya Evan langsung ngerebut handphone Gala. Bikin bawahannya itu nautin alis heran sejenak sebelum bilang.

“Mas ngapain? Balikin handphone aku.”

“Emang lagi kepengen seblak banget ya, dek?”

“Iya. Udah sejak kemarin tapi masih gak dibolehin Bunda.”

“Ya udah kalo masih ga dibolehin jangan ngeyel,” Evan noyor kepala Gala.

“Dikit doang, Mas.”

“Ya udah, tapi aku yang mesenin. Kamu diem di situ,” kata Evan sambil natap layar handphone Gala, “Sebutin, kamu pengen topping apa.”

“Kerupuk, ceker, bakso sama siomay. Kuahnya level empat.”

Sejenak Evan ngelirik Gala dengan tatapan datarnya.

“Kamu gak boleh makan pedes dulu,” kata Evan.

“Mas...” Gala merengek.

“Gak makan pedes, apa gak makan seblak?”

“Level tiga.”

“Enggak.”

“Ya udah, level dua.”

“Kamu pengen mas cium?”

Ucapan Evan bikin Gala kaget sampai nahan napas. Evan pun gak jauh berbeda. Dia yang keceplosan ngomong kayak gitu seketika berdeham sebelum bilang,

“Jangan bikin Mas marah, La.”

Evan kemudian menghindari tatapan Gala, “Udah aku pesenin. Kamu lanjut makan sushi dulu.”

Gala cuma ngangguk kaku sebelum nunduk—natap sushi di depannya. Sementara Evan yang sesekali ngelirik ke arah Gala masih juga ngerasa panik bahkan takut.

“Permisi, Mas Evan.”

Atensi Gala dan Evan lantas beralih ke arah pintu ruangan yang dibuka dari luar. Saat itu pula Gala ngehela napas pelan. Pasalnya Nino lah yang baru aja masuk dan nyamperin meja sang atasan.

“Aku ganggu ya, Mas?”

“Enggak kok. Aku lagi makan siang sama Gala,” kata Evan, “Kamu ikut makan sini.”

“Makasih, Mas. Tapi aku mampir buat ngasih ini,” Nino nyodorin map ke arah Evan.

“Oh buat yang entar malem ya, No?”

“Iya, Mas.”

“Oke, entar aku cek ya.”

“Baik, Mas. Kalo gitu aku permisi dulu.”

“Kamu gak istirahat, No?”

“Abis ini aku langsung ke cafe kantor kok,” Nino cengar-cengir.

“Oh, sip. Sampai ketemu entar malem ya.”

“Oke, Mas Evan.”

Gala cuma diam sambil menyimak percakapan Evan sama Nino sedari tadi. Dia jarang banget diem-dieman kayak gini sama sahabatnya.

Tapi sekarang mereka justru diem-dieman karena salah paham. Ditambah lagi Gala ngerasa kalau dia mulai gak terbiasa ngeliat Evan senyum manis ke sahabatnya itu.

“Awas kesambet,” gumam Evan sambil nyubit pipi Gala.

“Entar malem Mas mau ke mana sama Nino?”

“Aku ada meeting sama orang HR tapi mereka ngasih usul sambil makan malam aja. Kamu ikut ya?”

“Gak deh, Mas.”

“Kenapa?”

“Lagi males aja keluar rumah.”

“Mm, ya udah. Kalo gitu entar aku ajak Destya sama Faiz aja.”

“Mas.”

“Mhm?”

“Entar malem Mba Naura ikut meeting gak?”

“Iya. Nino aja ikut apalagi atasan dia. Iya kan?”

Gala natap wajah Evan lekat-lekat, “Mas, kamu jangan deket-deket lagi sama dia ya?”

Evan mencengkeram kuat sumpit di tangannya setelah mendengar pertanyaan Gala.

“Kenapa emangnya, dek?”

Ada harap terselip di sana.

“Aku gak suka cara dia nyari perhatian supaya bisa deket sama Mas Evan lagi.”

“Dia yang kemarin ngasih tau aku soal Mas Evan yang gak suka cowok. Aku kesel, Mas.”

“Tapi aku gak bisa ngelawan, karena dia bilang kalo dia tau banyak soal Mas Evan.”

Gala ngehela napasnya kasar. Dia udah gak peduli lagi soal Naura. Dia cuma pengen Evan tau kalau mantannya itu bener-bener nyebelin.

“Naura bilang apa lagi sama kamu, La?”

“Itu doang sih. Sama yang dia cerita soal Mas Baim pernah confess ke Mas Evan.”

Evan seketika diam selagi Gala tiba-tiba menggenggam tangan dia di atas meja.

“Mas janji sama aku ya, jangan balikan sama dia. Aku gak bakalan ngasih restu. Serius.”

Evan senyum tipis.

“Emang siapa yang mau balikan sama dia sih?”

“Ya kali aja.”

Gala kemudian ngelirik ke arah lain, “Mending Mas Evan pacaran sama Nino atau siapa kek, yang penting bukan dia.”

Senyum Evan seketika pudar. Tapi Evan buru-buru menipiskan bibir pas Gala kembali natap wajahnya.

“Kalo sampe Mas balikan sama dia aku bakal mecat kamu jadi kakak aku, Mas.”

“Iya, Gala. Mas janji kok.”

“Udah, lanjut makan. Nih,” kaga Gala sebelum nyuapin Evan.

“Minggu besok kamu ke rumah ya? Ajakin Bunda juga.”

“Dalam rangka?”

“Ya kumpul keluarga. Makan-makan, main, ngobrol.”

“Bunda keknya gak bisa deh, Mas. Ada arisan dia.”

“Kalo gitu kamu aja. Sekalian mau aku ajarin bikin nasi goreng,” ucap Evan.

“Oke,” Gala setuju.

“Gala.”

“Apa, Mas?”

“Mas boleh tau gak, kamu sama Nino kenapa?”

Gala berdeham, “Kita berdua gak kenapa-kenapa.”

“Naik turun dalam pertemanan itu wajar kok,” ucap Evan.

“Kalo kalian udah sehati, sejalan, dan emang belum waktunya dipisahkan ya entar juga bakal balik lagi.”

“Nino cerita sesuatu sama Mas Evan kemarin ya?”

“Enggak. Tapi aku bisa nebak kalo kalian berdua lagi diem-dieman,” kata Evan.

“Ya udah lah. Gak usah dibahas, Mas.”

“Mhm. Tapi kalo kamu pengen cerita inget ada Mas yang siap dengerin ya?”

Gala ngangguk, “Makasih, Mas.”