Musyawarah udah selesai. Semua panitia pun udah keluar dari ruang kelas dan yang tersisa cuma koordinator inti.
“Makan siang di kantin kampus yuk,” ajak Ravi.
“Gua mau balik ke kos-an sekarang,” kata Dikta.
“Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, kabarin gue aja ya.”
“Buru-buru amat, Ta.” celetuk Nada, “Bareng siapa lo di kosan?”
“Sendiri,” Dikta ngambil ponselnya di atas meja, “Gue cabut ya.”
Dipta yang ngeliat Dikta jalan ninggalin ruangan dengan muka dinginnya cuma bisa jatuhin pundak. Tapi pas dia gak sengaja ngelirik Bila, sahabat dari gebetannya itu justru ngasih dia kode pake alis sambil ngarahin pandangannya ke Dikta.
Alhasil, Dipta pun nelan ludah sebelum bilang, “Gue... Juga cabut ya. Mau nugas.”
“Nugas apa nyusulin Dikta?” Ravi senyum usil.
“Dih apaan sih, kaga.” Dipta nge-lambaiin tangan, “Dah!”
Setelah berhasil keluar dari ruang kelas, Dipta langsung lari kecil. Takut kalau Dikta udah semakin jauh. Dan benar aja, dia ga ngeliat gebetannya itu masih jalan di koridor kelas.
Tapi ketika Dipta hampir nyampe di depan lift, dia ngeliat Dikta lagi nunggu di sana. Buru-buru dia nyamperin, sampai akhirnya mereka masuk ke lift yang cuma diisi sama mereka.
“Ga usah lari, cing...”
Dikta senyum sambil ngacak-ngacak rambut Dipta yang berdiri di sampingnya, “Aku nungguin kamu kok.”
“Ish,” Dipta manyunin bibir.
“Kamu ga usah mikirin omongan si Mahesa itu ya,” Dipta ngusap bahu Dikta.
“Believe it or not, setiap ada kepanitiaan kayak gini pasti ada juga orang-orang rese di dalamnya.”
“Mm, bener.” Dikta nyubit pipi kenyal Dipta, “Makasih ya, kucingku.”
“Udah ih, sakit.”
Dipta ngusap pipinya, “Kamu mau ngapain di kosan, Ta? Kok buru-buru banget pulangnya?”
“Ngerjain tugas, Dip...”
“Tugas aku Minggu ini banyak banget sumpah. Kamu gitu juga ga?”
“Aku Minggu ini ga terlalu sih.”
“Bagus deh, biar kamu ga kecapean.”
Pintu lift terbuka di lantai dasar. Dikta sama Dipta pun jalan keluar beriringan.
“Kamu markir motor di mana?”
“Basemen, Ta. Kamu?”
“Sama.”
“Ng... Dikta?”
“Iyaa, Dip?”
“Itu...”
“Apaaa?”
“Aku... Mm... Aku boleh ga ikut ke kosan kamu?”
***
“Kamar kamu bersih banget.”
Dipta yang udah duduk melantai di atas karpet—sambil nyandar di sisi ranjang Dikta gak pernah berhenti muji kamar itu. Sementara si doi yang lagi ngambil minuman dingin buat dia dari kulkas cuma bisa senyum tipis sebelum ikut duduk di sampingnya.
“Kan kebersihan sebagian dari iman, Dip.”
“Widih, anak yang penuh keimanan ya kamu.”
“Hahaha, dasar. Nih, minum.”
Dipta ngeraih Tebs kaleng yang baru aja dibukain sama Dikta. Bikin dia nahan senyum sebelum basahin tenggorokannya dengan satu tenggak minuman bersoda itu.
Tapi gak lama berselang, Dipta nyaris dibuat batuk bahkan nyemburin minuman dari dalam mulutnya. Pasalnya, Dikta yang duduk di sampingnya tiba-tiba nyandarin kepala di bahunya.
“Katanya mau nugas,” gumam Dipta yang sebenernya lagi nahan diri supaya ga teriak.
“Entar aja.”
Dikta ngedongak, sampai pandangannya ketemu sama Dipta, “Kepala aku berat ya?”
“Ga kok. Masih lebih berat beban hidup aku sebagai mahasiswa semester lima daripada kepala kamu.”
Dikta senyum sebelum kembali nyamanin posisinya di bahu Dipta. Bahkan dia bersandar di sana sambil nutup mata sejenak dengan damai.
“Dip.”
“Iya?”
“Ada ga sih ekspektasi kamu tentang aku waktu kita belum sedeket sekarang yang justru berbeda dari kenyataannya?”
“Ng... Ga ada,”
Dipta muter-muterin jari telunjuknya di sisi atas kaleng Tebs yang udah dia taruh di samping pahanya.
“Soalnya aku emang ga pernah berekspektasi apa-apa tentang kamu, Ta.”
“Serius?”
Dikta ketawa kecil, “Katanya kamu suka sama aku sejak maba kan?”
“Terus waktu itu kita belum kenal, cuma tau sebatas nama doang. Masa ga ada ekspektasi apa-apa?”
“Emang aku harus berekspektasi kayak apa?”
“Ya... Misalnya aja kamu berekspektasi kalau aku cowok yang asik, dewasa, pekerja keras, gitu-gitu lah pokoknya.”
Dipta ngehela napas, “Aku ga perlu berekspektasi apa-apa untuk itu,”
“Lagian awal mula kenapa aku suka sama kamu juga karena apa adanya kamu yang aku liat dengan mata kepalaku sendiri waktu itu.”
“Bukan karena ngelirik kamu sepintas terus aku mikir—wah dia cakep nih, pasti asik, pinter dan sebagainya yang kamu sebut ekspektasi.”
“Dan yang paling penting, kenapa juga sih aku harus berekspektasi kalau pada kenyataannya aku udah tau kalau kamu emang cowok baik?”
“Dip.”
“Mm?”
“Jangan tinggalin aku ya.”