Medicine

Usai memantau kembali pasien-pasien yang berada di bawah pengawasannya, Biru menoleh ke arah salah satu bed dimana Jeva kini masih melakukan follow up. Sampai tak lama berselang, Jeva kemudian telah selesai dengan tugasnya seperti Biru. Jeva lalu ikut menoleh ke arah pacarnya diikuti senyum tipis. Namun, dari senyuman itu Biru bisa membaca bahwa Jeva tidak baik-baik saja.

Tanpa membuang waktu, Biru pun menghampiri Jeva yang juga berjalan ke arahnya. Membuat mereka bertemu di pertengahan jejeran bed dalam ruang rawat.

“Udah selesai follow up-nya?”

“Udah kok, Bi.” jawab Jeva dengan raut wajahnya yang kini tiba-tiba menunjukkan ekspresi sesalnya.

“Maaf ya tadi aku tiba-tiba pergi, gak ngomong apa-apa ke kamu dulu.” kata Jeva, Biru tersenyum.

“Gak apa-apa. Aku ngerti kok,” sahut Biru. “Kalau gitu, kita ke ruang Koas bentar ya? Itu bibir kamu perlu diobatin.” ajaknya.

Jeva menyentuh sudut bibirnya yang tadi dipukuli oleh suami si pasien. Dia lalu terkekeh pelan.

“Ini gak apa-apa kok, Bi. Cuma ngilu doang dikit,” tutur Jeva.

“Bisa gak kamu nggak batu sekali aja kalau dibilangin?” decak Biru.

Jeva menahan senyumnya. “Iyaa, ayo kita ke ruang Koas sekarang.”

Biru pun ikut menahan senyum ketika Jeva memegangi kedua pundaknya lalu membalikkan tubuhnya. Pacarnya itu berjalan di belakangnya, menuntun Biru untuk keluar dari ruang rawat.

Sampai saat mereka telah berada di luar ruang rawat, Jeva lantas berjalan di samping Biru. Mereka melangkah bersisian dan sesekali saling mencuri pandang sebelum menyembunyikan senyumannya.

“Bi.”

“Mm?”

“Makasih ya udah nolongin aku tadi,” ucap Jeva. “Maaf juga gara-gara aku kamu sampai didorong terus jatuh sampai kesakitan.”

“Kamu kayak lagi ngomong sama orang lain aja deh.” decak Biru. “Aku kan pacar kamu, that’s a bare minimum. Jadi kamu gak perlu bilang makasih sama aku.”

Jeva terkekeh, “Tapi... Ngomong makasih, tolong sama maaf kan basic manner. Mau itu ke pacar, orang tua, atau orang lain, basic manner itu harus diterapin, Bi.”

“Berarti abis ini kamu mau minta maaf sama Papa kamu kan, Jev?”

Menghela napasnya pelan, Jeva kemudian mengulum bibirnya sejenak sebelum menatap Biru.

“Iya, aku mau minta maaf sama Papa karena udah nggak sopan nyautin ucapan dia tadi.” tutur Jeva, “Tapi jujur, aku tuh gak suka cara Papaku tadi. Aku sedih, Bi.”

Biru hendak merespon ucapan Jeva, namun sang pacar yang notabenenya memang mudah terdistraksi dan tak bisa diam pun seketika kembali bersuara.

“Eh bentar deh, Bi. Ini kenapa sih orang-orang kok pada ngeliatin kita berdua?” tanya Jeva heran.

Pasalnya, beberapa perawat, staff Rumah Sakit bahkan Koas hingga Residen yang berlalu-lalang di sekitar Jeva dan Biru justru sibuk memerhatikan mereka berdua.

Jeva lalu mengecek penampilan bahkan mengendus wangi sneli yang dipakainya. Tapi, Jeva tidak menemukan keanehan di sana.

“Kayaknya gara-gara orang RS udah pada tau kalau kamu anak Prof Harry deh, Jev.” jawab Biru.

Menghela napasnya pasrah, Jeva lalu menengadahkan tangannya ke arah Biru. Hal itu membuat yang diperlakukan demikian pun mengernyit heran lalu bertanya.

“Apa?”

“Pegang tangan aku,” titah Jeva.

Biru berdecak. “Ngapain? Entar kita makin diliatin sama orang.”

“Makanya pegang tangan aku, Bi.” Jeva memelas, “Supaya kita bisa lari bareng ke ruang Koas, terus gak diliatin lama-lama kek gini.”

Menahan senyumnya, Biru lantas meraih tangan Jeva. Alhasil, kini jemari mereka saling bertautan.

“Kamu udah siap?” tanya Jeva, Biru lalu mengangguk pelan.

“Aku hitung sampai tiga terus kita lari bareng ya,” tutur Jeva.

“Satu…”

“Dua…”

“Tiga…”

Tepat setelah hitungan ke tiga, Biru dan Jeva berlari di tengah lorong rumah sakit yang sedang lengang menuju ke ruang Koas. Dengan tangannya yang saling berpegangan, tubuh keduanya sesekali bertubrukan. Namun, hal itu justru membuat dua Koas tahun pertama itu tertawa kecil.

Kebahagiaan mereka sangat lah sederhana. Bahkan untuk hal-hal kecil pun, mereka bisa tertawa asalkan melakukannya bersama.

Tidak lama setelahnya, Jeva dan Biru pun sampai di ruang Koas. Nampak ada tiga orang Koas pria yang juga berada di sana. Namun saat Jeva dan Biru masuk, ketiga Koas itu pun tiba-tiba keluar dari ruang Koas. Jeva juga Biru heran.

“Kok mereka keluar sih pas kita masuk?” tanya Jeva kepada Biru sesaat setelah mereka duduk di kursi. Mereka saling berhadapan.

“Ya karena emang udah pengen keluar kali pas kita mau masuk.”

“Tapi aku ngerasa mereka aneh deh,” kata Jeva. “Padahal belum juga aku sapa, udah pergi aja.”

Biru menggeleng, “Kamu tuh yaa, apa-apa selalu aja pake perasaan. Gak baik tau, entar jadi ngebatin.”

“Kamu tuh yaa,” Jeva menirukan nada suara Biru barusan. “Apa-apa selalu aja pakai logika. Gak baik tau, entar jadi nggak peka.”

Biru lantas berkacak pinggang di kursinya, “Kamu ngeledek aku?”

“Gak kok,” Jeva terkekeh.

Biru pun hanya memberi death glare-nya lalu mengeluarkan salep luka lebam dari saku sneli yang dipakainya. Sementara itu, Jeva yang melihat ekspresi lucu Biru yang sedang kesal seketika mencubit pelan dagu sang pacar.

“Kamu kenapa gemesin banget sih kalau lagi kesel?” kata Jeva. “Kasian jantung aku harus kerja keras mulu kalau liat kamu udah gemesin kayak sekarang tau, Bi.”

Biru menahan senyumnya sambil menoyor pelan kepala Jeva. “Gak usah banyak tingkah deh. Mana sini bibir kamu yang lebam tadi.”

Jeva menyeringai tipis sebelum mendekatkan wajahnya hingga berada tepat di depan wajah si pujaan hati. Bahkan jaraknya saja hanya ada beberapa senti. Hal itu sontak membuat Biru menghela napas panjang. Raut wajah Biru menunjukkan ekspresi datarnya.

“Terlalu deket,” ucap Biru malas. “Aku mana bisa sih ngobatin bibir kamu kalau kamunya kayak gini.”

“Bisa, Bi.”

Jeva lalu memanyunkan bibirnya, sedang Biru yang paham maksud Jeva—yang jelas-jelas meminta ciuman—pun kembali menoyor pelan kepala pacarnya itu. Jeva sendiri pun terkekeh dibuatnya.

“Waktu kita gak banyak, Jev.” kata Biru. “Entar lebam di bibir kamu belum aku obatin, tau-tau udah ada panggilan lagi dari Residen.”

“Oke, sekarang aku bakalan jadi anak baik.” tutur Jeva sembari memperbaiki posisi duduknya.

Biru tersenyum tipis melihat Jeva duduk sambil merapatkan lutut di hadapannya. Kedua tangan si pacar pun dilipat di depan dada.

Tak ingin membuang waktu lagi, Biru pun perlahan mengusapkan salep lebam ke sudut bibir Jeva. Sesekali Biru mencuri pandang ke arah mata Jeva hingga tatapan mereka pun selalu saja berjumpa.

“Aduh!”

Jeva tiba-tiba mengaduh, namun hal itu justru membuat Biru lagi-lagi memberi tatapan datarnya.

“Kamu nggak usah lebay ya. Aku ngusapnya gak pake tenaga, Jev.” decak Biru, “Gak mungkin sakit.”

“Emang gak sakit,” kata Jeva.

“Terus?”

Jeva cengar-cengir, “Jantung aku gak normal lagi gara-gara diliatin sama mata cantik kamu. Jadinya aku langsung ngerasa kek—ahh!”

Kali ini Jeva telah benar-benar memekik kesakitan. Pasalnya, Biru refleks menepuk pipinya; yang tidak jauh dari lebamnya.

“Bi, yang ini sakit loh.”

“Kamu sih.”

Biru terkekeh. Satu tangannya kemudian membelai lembut pipi Jeva yang tadi ditepuk olehnya.

“Maaf ya,” ucap Biru.

Jeva tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya tersenyum sebelum meraih kedua tangan pacarnya. Jeva menggenggam jemari Biru lalu mengecup punggung tangan si pujaan hati bergantian sesaat. Setelahnya, Jeva lantas beralih menatap lamat bola mata Biru.

“Bi, kamu kecewa sama aku gak?”

“Kecewa kenapa coba?”

“Gara-gara pacar kamu nggak sopan ke orang tua,” kata Jeva.

“Apalagi kamu selalu pengen ngeliat hubungan aku sama Mama Papaku semakin baik…”

“Tapi tadi aku malah kayak gitu.”

Biru menipiskan bibirnya. Kini dirinya yang mengecup lembut kedua punggung tangan Jeva bergantian sebelum bersuara.

“Aku gak kecewa,” kata Biru. “Aku cuma kaget aja tadi sama respon kamu yang gitu ke Papa kamu.”

“Ada apa sih, Jev?” tanya Biru dengan suara lembutnya. Sama sekali tak ada nada menghakimi.

“Kenapa kamu nggak suka sama cara Papa kamu yang berusaha buat ngelindungin kamu tadi?”

“Ngelindungin buat apa coba, Bi? Padahal kalau emang aku salah, aku bakalan nerima konsekuensi dari perbuatan aku kok.” katanya.

“Kenapa aku harus dilindungin? Apalagi Papa sampai bawa-bawa jabatannya,” sambung Jeva lirih.

“Aku gak suka cara Papa kek tadi yang kesannya malah nunjukin kalau aku ini bisa survive karena statusku sebagai anak Direktur.”

“Padahal Papa sama Mama udah bilang kalau mereka tuh ngeliat usaha aku. Mereka gak pengen orang-orang berpikir kalau aku bisa sampai di sini karena status dan privilege aku. Tapi ini apa?”

“Kalau gini kan aku jadi ngerasa Papa sama Mama nggak benar-benar mau ngeliat usaha aku dan bangga sama aku. Mereka tetep pengen nama aku bersih supaya bisa kayak Kakak-kakak aku yang hampir nggak pernah ada salah.”

“Pada akhirnya aku tetap ngerasa dibanding-bandingin lagi, Biru.”

Biru yang sedari tadi diam guna mendengarkan keluh kesah Jeva Jeva lantas kembali mengecup punggung tangan pacarnya. Dia lalu tersenyum sebelum berkata.

“Aku ngerti perasaan kamu,” kata Biru. “Sama kayak aku yang gak bisa langsung sembuh dari luka dan trauma aku, kamu pun gitu.”

“Kamu masih berpikir kalau Papa kamu tuh ngakuin kamu sebagai anaknya tadi supaya kamu nggak disalahin terus bikin jalan kamu abis ini mulus,” Biru menimpali.

“Tapi Papa kamu gak gitu, Jev. Papa kamu cerita kok tadi sama aku, kalau dia cuma gak pengen kamu terganggu sama omongan orang.” jelasnya. “Kamu tau gak sih, kabar soal kamu dipukulin sama suami pasien itu kesebar.”

“Orang-orang pada ngomongin kamu. Apalagi orang yang tadi mukulin kamu itu juga bukan orang sembarangan. Dia orang Pemerintahan,” Biru menghela napas. “Bisa aja insiden ini makin meluas sampai ke luar RS meski kamu udah ngejelasin faktanya.”

“Makanya Papa kamu langsung turun tangan,” kata Biru. “Di satu sisi, dia itu Direktur yang pengen citra Rumah Sakitnya tetap baik.”

“Tapi di sisi lain, dia juga pengen menjadi orang tua yang baik buat anaknya. Makanya dia ngenalin diri sebagai Direktur sekaligus orang tua kamu tadi.” final Biru.

Mata Jeva berkaca-kaca. Dia lalu menunduk dengan raut sesalnya.

“Aku bukan anak baik ya, Bi.”

“Kamu ngomong apa sih?” tanya Biru sebelum beralih menangkup wajah Jeva. “Kamu anak baik, Jev.”

“Aku ngerti posisi kamu,” katanya diikuti senyum tipis. “Kamu tuh lagi capek banget, abis itu malah dimarah-marahin sampe dipukul sama suami pasien. Pikiran kamu pasti berantakan banget sih tadi.”

“Wajar kalau kamu sensitif terus nggak bisa mikir jernih soal Papa kamu...” lanjut Biru. “Aku malah amazed tau, karena kamu tetap tenang dan berpikir buat minta maaf abis nyautin Papa kamu.”

Satu tangan Biru lalu mengusap lembut puncak kepala Jeva.

I’m so proud of you,” katanya. “Tapi abis ini kamu ngomong sama Papa kamu ya? Kasian, Papa kamu jadi kepikiran tau.”

Jeva mengangguk. “Makasih, Bi.”

“Iya, Sayang.”

Biru kemudian merentangkan kedua lengannya lebar-lebar.

Give me a little hug then.”

Terkekeh, Jeva lantas mengamini ingin Biru. Jeva mendekap erat pacarnya itu, sesekali memberi kecupan di puncak kepala Biru.

Dari pelukan hangat itu pula mereka saling mengisi energi satu sama lain. Penat dan pikiran tentang tugas Koas mereka yang bersarang di kepala pun sedikit menerima angin segar dari sana.

Mereka saling mengisi di antara kekosongan yang mereka punya.

Mereka pun saling melengkapi di antara ketidaksempurnaannya.

“Kayaknya kita udah pelukan setengah jam deh,” canda Biru.

Menahan senyumnya, Jeva lalu menarik diri dari pelukan Biru. Dia beralih menatap lamat Biru.

“Kamu bosen ya setengah jam pelukan doang?” seringai Jeva.

“Pengen ganti pelukan jadi yang lain aja gak, Sayang?” timpalnya.

“Maksud kamu?” Biru memicing.

Jeva menahan senyumnya sambil menepuk-nepuk bibir dengan jari telunjuknya. Biru pun tersipu karena paham maksud Jeva itu.

Tak ingin salah tingkah di depan pacarnya, Biru hanya menepuk pelan bibir Jeva sebelum berdiri dari kursinya. Biru lalu berkata.

“Udah ah, aku mau balik ke nurse station. Mau nyatat-nyatat lagi.”

Biru hendak melangkah, berniat kabur dari pacarnya. Tapi, Jeva sudah lebih dulu menarik lengan Biru. Membuat Biru yang terkejut tidak bisa lagi menahan beban tubuhnya sendiri. Alhasil, kini Biru berakhir di pangkuan Jeva.

“Jeva!” Biru terkekeh saat kedua lengan Jeva melingkar erat di pinggang rampingnya. “Lepasin.”

“Gak mau,” suara Jeva meledek.

Menghela napasnya pasrah, Biru kemudian menoleh ke Jeva. Satu tangannya Biru dia kalungkan di tengkuk Jeva sebelum kepalanya perlahan bergerak. Biru mengikis jarak wajahnya dengan milik Jeva.

Jeva yang sudah siap menerima kecupan Biru pun memejamkan mata sambil menahan senyum. Namun, yang terjadi selanjutnya Biru justru menciumi pipinya.

“Cium di bibirnya aku kasih kalau kamu lulus stase,” bisik Biru tepat di samping telinga Jeva. Sedang Jeva yang mendengar hal itu pun refleks membuka mata hingga mendapati Biru tersenyum usil.

“Kalau tiap lulus stase aku bakal dikasih cium di bibir, pas lulus Koas aku boleh dikasih yang lain gak?” tanya Jeva, Biru memicing.

“Dikasih apa?” Biru curiga.

“Dikasih jawaban iya,” katanya.

“Tapi ‘iya’ buat apa? Yang jelas dong,” Biru mendengus pelan, namun Jeva justru terkekeh.

“Aku pengen kamu bilang ‘iya’ buat jadi orang yang nemenin aku di sisa umur aku,” kata Jeva.

Biru menahan senyum sebelum kembali mengecup pipi Jeva. Kini di sisi yang berlawanan dari yang sebelumnya. Biru lalu bersuara.

“Iya.”