“Mama sama Papa udah masuk ke kamarnya?”

Aksa yang baru aja balik dari dapur setelah bersih-bersih dan nyuci piring bekas sahur langsung nyamperin suaminya yang lagi duduk di sofa ruang tengah.

“Iya. Pengen tidur bentar ceunah.”

“Terus kamu kenapa masih di sini, ga masuk ke kamar?”

“Kan nungguin kamu.”

Aksa ngerutin hidung sebelum ikut nyender di badan sofa. Dia pun natap ke arah televisi yang lagi menyala sambil nahan senyumnya.

“Udah ga ngambek lagi kan?”

“Dibilang enggak.”

Dikara ketawa kecil sebelum nuntun kepala Aksa supaya nyandar di bahunya.

Aksa pun nurut-nurut aja. Dia bahkan refleks nutup mata sejenak pas Dikara ngusap kepalanya sebelum ngecup spot yang sama.

“Kalau kamu marah sama aku, ngomel aja gapapa. Asal ga pas lagi puasa, entar batal.”

“Dih bego,” Aksa ngedongak, “Orang mah ngehindarin perselisihan, kamu malah minta diomelin. Biar apa?”

“Abis kamu lebih serem kalau tiba-tiba diem, Sa. Ga dulu, ga sekarang.”

Aksa cuma senyum tipis sebelum kembali musatin atensinya ke layar televisi.

“Ga mau masuk ke kamar?” tanya Dika.

“Mau.”

“Ya udah hayu.”

“Males jalan, pengen digendong.”

“Ngelonjak lo, Sa.”

“Hahaha!”

Dikara ikut ketawa bareng Aksa. Tapi gak lama berselang, dia kembali diam sambil natap wajah sahabat sekaligus pujaan hatinya lekat-lekat. Bikin Aksa yang nyadar akan hal itu nautin alisnya.

“Kamu kenapa natap aku kayak gitu?”

“Kamu makin cantik kalau lagi ketawa,” kata Dikara.

“Aku jadi makin ga pengen liat kamu sedih atau nangis kalau gini, Sa.”

“Cih, gombal! Pasti lo lagi ada maunya kan?”

“Ih, Aksanya Dika pinter banget.”

“Heh! Dikara!”

Aksa setengah berteriak. Suaminya itu tiba-tiba ngedorong pelan tubuhnya sampai kepalanya bersandar di lengan sofa. Sementara Dikara ngungkung tubuhnya.

“Kaaa, udah mau imsak.”

Aksa ngerengek sambil buang muka. Pasalnya Dikara udah siap-siap buat nyium dia.

“Beluuum. 30 menit lagi, Sa.”

“Tahan hawa nafsumu mulai dari sekarang wahai manusia! Ikuti saya, ucapkan, astaagfirullaahh.”

“Hahaha! Lo mau ngeruqyah gue apa gimana, Sa?”

“Lagian, udah jam segini lo minta yang aneh-aneh.”

“Sekali aja, Sa. Semalem lo ga nyium gue gara-gara ngambek.”

“Siapa suruh bikin gue ngambek.”

“Iya, aku salah. Maaf, sayang.”

Dikara senyum usil, “Jadi? Boleh?”

Aksa decakin lidah. Dia pun narik tengkuk suaminya sebelum ngalungin lengannya di sana. Sesaat setelahnya mereka saling berbagi kecupan ringan sebelum berakhir menjadi pagutan.

Ketika Dikara kemudian menyudahi ciuman mereka, Aksa justru bergumam, “Lagi.”

“Apanya?”

“Cium.”

“Dasar. Katanya udah mau imsak,” cibir Dikara sebelum ngecup permukaan bibir Aksa bertubi-tubi. Bikin suaminya itu ketawa geli.

“Masuk ke kamar yuk, Sa. Di sini dingin. Di luar juga udah mau hujan kayaknya, banyak gledek dari tadi.”

“Bantuin.”

Aksa rentangin lengannya ke depan. Dikara yang paham akan tingkah pujaan hatinya itu cuma bisa geleng-geleng kepala sambil narik lengan Aksa.

“Mau digendong ga?”

“Mau.”

Dikara senyum tipis sebelum jongkok di depan sofa, “Cepet naik.”

“Beneran?”

“Iyaaa, buruan.”

“Gue becandain lo doang padahal.”

“Berarti ga mau?”

“Mau!”

Aksa cekikikan sebelum naik ke atas punggung suaminya. Setelahnya Dikara langsung berdiri, tapi bukannya langsung jalan dia malah nyebut.

“Mashaallaaah, gue lagi ngegendong manusia apa dugong?” candanya.

“Gue ga seberat itu ya, anjing.”

“Jangan ngomong kasar, Sa. Udah mau imsak.”

“Ya udah buruan jalan.”

“Siap, yang mulia. Siap.”