Kiss

Terbangun pada pukul tiga pagi bikin Wira gak bisa tidur lagi. Dia lantas mutusin buat keluar dari kamar dan duduk di tepi kolam renang villa itu. Wira nikmatin hembusan angin yang menerpa wajahnya sampai dia nutup mata.

“Katanya mau bobo.”

Wira dibuat kaget pas dia denger suara Desta. Laki-laki yang lebih tua darinya itu bahkan ngacak-acak pelan rambut Wira sebelum akhirnya ikut duduk di sisinya.

“Aku kebangun, Mas.” sahut Wira. “Mas sendiri kenapa gak tidur?”

“Aku juga kebangun denger pintu kamar kamu kebuka tadi, jadi aku nyariin. Takutnya kamu lagi sakit atau apa kan,” jelas Desta. “Kamu baik-baik aja? Apa kamu laper?”

Ocehan Desta bikin Wira senyum lalu geleng-geleng kepala. “Gak kok, Mas. Aku emang sering gini. Kalau udah kebangun, kadang gak bisa tidur lagi sampai pagi.”

“Kalau kek gitu, biasanya karena pengaruh stress setau aku, Ra.”

“Kamu stress mikirin apa?” tanya Desta. “Kerjaan ya? Apa mantan?”

“Apaan sih, Mas?” kekeh Wira. “Kenapa jadi mantan aku coba?”

“Ya, siapa tau kan?”

“Kayaknya karena kerjaan deh, Mas. Akhir-akhir ini kerjaan aku di kantor banyak soalnya.” curhat Nala. “Mas balik lagi aja ke kamar gih. Aku enggak apa-apa sendiri.”

“Kamu pengen sendiri?”

“Nggak gitu, tapi siapa tau Mas Desta ngantuk. Mau bobo lagi.”

“Aku mau di sini. Sama kamu.”

“Ya udah,” kata Wira sebelum kembali natap kolam renang.

“Ra?”

Wira noleh, “Mm?”

“Tipe cowok yang kamu suka itu kayak gimana sih?” tanya Desta.

“Yang bukan orang kaya.” jawab Wira sambil nahan tawa. Sebab, raut wajah memelas Desta lucu.

“Aku serius, Ra.”

“Aku juga serius, Mas.”

“Ya udah deh. Aku enggak usah nanya lagi,” cebik Desta yang bikin Wira lantas ketawa lantang.

“Aku ngerasa belum cukup punya value yang bisa dibanggain buat disandingkan sama orang kaya.” Wira ngehela napas pelan. “Aku gak mau berakhir kayak Ibu aku, Mas. Ibu dibuang gitu aja karena dianggap gak punya value sama keluarga Ayah, direndahin mulu.”

“Ayah aku persis kayak kamu, dia selalu bilang ke Ibu kalau dia gak peduli sama status sosial.” lanjut Wira. “Tapi pada akhirnya Ayah ninggalin Ibu karena ditentang keluarganya, terus pisah deh.”

“Ayah kamu masih ada, Ra?”

“Masih,” Wira maksain senyum. “Aku juga masih sering liat Ayah kalau dia dateng ke kantor aku.”

“Oh? Ayah kamu orang kantor kamu?” tanya Desta penasaran.

“Bukan, stakeholder doang. Mas tau pemilik RUBY Corp gak? Itu perusahaan milik Papanya Ayah terus sekarang Ayah yang punya saham paling banyak di sana.”

Mata Desta melotot, “Serius?”

“Selama ini aku ngira dia perjaka tua loh, ternyata udah duda tua.”

Wira nyemburin tawanya sambil mukul pelan bahu Desta. “Kamu kenapa jadi julid gini sih, Mas?”

“Aku gak julid, aku beneran gak tau.” kekeh Desta lalu mengusap punggung Wira diikuti senyum.

“Maaf ya aku harus denger cerita pahit itu dari kamu,” ucap Desta.

“Gak apa-apa, Mas. Aku baik-baik aja kok. Aku udah hidup bahagia sama Ibu sekarang.”

“Terus Ayah kamu tau gak kalau kamu kerja di kantor kamu, Ra?”

Wira menggeleng, “Gak. Bahkan tau muka aku aja kayaknya gak.”

“Aku gak pernah ketemu Ayah sebagai anak dan orang tua lagi sejak aku umur sembilan tahun.”

“Ayah juga kayaknya udah nggak peduli. Gak pernah nyari kabar aku sama Ibu atau datengin Ibu.”

Desta ngangguk. Ngeliat sorot mata sedu Wira bikin dia gak berniat banyak tanya lagi soal Ayahnya. Desta lalu kembali ngusap puncak kepala Wira sambil senyum manis. Lesung pipinya pun seketika nampak.

“Ibu kamu hebat banget ya, gak heran kalau anaknya juga hebat.”

“Iya lah,” kekeh Wira.

Keduanya pun saling berbagi tatapan lamat dalam hening beberapa saat. Sampai Wira akhirnya kembali bersuara.

“Makasih ya, Mas.”

“Untuk apa, Ra?”

“Makasih udah dengerin aku.”

Desta ngangguk. “Kalau kamu lagi pengen didengerin, cari aku aja. Aku bisa kok dengerin kamu ngoceh sampai berjam-jam, Ra.”

Wira cuma mendengus sebelum buang pandangannya ke kolam.

“Ra?”

“Mm?”

“Kalau kamu ngerasa udah punya cukup value, bilang sama aku ya? Aku siap maju paling depan buat bersanding sama kamu...” Desta senyum. “Aku nggak tau standar kamu tentang value itu gimana, tapi kalau kamu nanya sama aku, bagi aku, kamu udah punya value tinggi. Kamu baik, pekerja keras, berpendidikan, berani confront, dan penyayang. Itu juga yang bikin aku suka sama kamu, Ra.”

“Tinggal kamu aja yang pengen mencintai dan menghargai high value kamu itu kapan,” katanya.

“Baru kali ini ada yang muji dan bilang aku punya high value loh,” kekeh Wira. “Mas modus ya?”

“Modus apa lagi sih? Aku serius.”

“Bukan karena pengen minta bobo bareng ya?” ledek Wira.

Desta ketawa kecil. “Masih aja.”

Wira senyum tipis sambil natap wajah Desta. Ngeliat Desta lagi ketawa entah kenapa bikin Wira ngerasain sesuatu yang aneh di balik dadanya. Wira juga gak mau menampik kalau Desta beneran ganteng. Apalagi dengan rambut hitamnya yang sesekali dia sisir ke belakang karena ngeganggu matanya. Wira bahkan tiba-tiba ngerasa nyaman di sisi Desta.

Sama seperti Wira yang sibuk natap lamat lelaki yang lebih tua, Desta pun sama. Dia ikut larut ke dalam permainan adu pandang yang bikin jantungnya menggila.

Seolah bisa saling memahami hanya dengan bertukar tatap, baik itu Desta maupun Wira lantas mengikis jarak antara wajah mereka. Sampai pada akhirnya, kedua celah ranum mereka pun bertemu. Desta mengecup lembut bibir manis Wira sebelum berganti menjadi lumatan pelan. Pun Wira yang melakukan hal serupa sembari memejamkan kedua matanya.

Usai cukup puas saling berbagi pagutan mesra, Wira yang lebih dulu menghentikan pergerakan pun berdeham lalu membuang muka ke arah kolam renang. Dia salah tingkah. Desta pun sama. Dia gak bisa lagi natap mata Wira setelah ciuman di antara mereka.

“Udah hampir subuh, Ra.” tutur Desta. “Balik ke kamar kamu gih. Di sini dingin. Entar kamu sakit.”

“Mas juga,” cicit Wira sebelum berdiri. “Aku duluan ya, Mas.”

“Mm,” balas Desta tanpa menoleh ke Wira yang seketika langsung lari terbirit dan masuk ke dalam vila. Desta yang bisa mendengar langkah kaki Wira pun terkekeh pelan sebelum ikut berdiri. Tapi bukannya langsung masuk ke dalam vila seperti Wira, Desta justru loncat-loncat kegirangan sambil berusaha nahan teriakan.