Karena hari ini Dika gak ke kantor, mau gak mau Aksa harus pergi dan pulang sendiri. Sebenarnya dia tipikal orang yang paling males nyetir, tapi karena Dika nyuruh dia bawa mobil dengan alasan mau sekalian minta tolong buat ganti oli sama filternya, Aksa cuma bisa iya-in.
Sekarang Aksa udah hampir nyampe di depan rumah mertuanya. Tapi matanya tiba-tiba melotot karena di depan sana, dia bisa ngeliat Ibu Dika lagi berdiri sambil natap pagar rumah Mama Papa.
Ibu kandung suaminya itu langsung noleh pas Aksa markirin mobil di depan rumah mertuanya. Aksa yang udah keluar dari kendaraan roda empat itu pun refleks senyum, dan dibales sama Ibu Dika.
“Ibu kok berdiri di sini? Ayo masuk, Bu.”
“Gak apa-apa, nak. Ibu di sini aja.”
“Loh, Ibu gak pengen ketemu Dika?” Aksa nyipitin mata, “Apa mertua saya ngelarang Ibu ketemu sama Dika?”
“Enggak, kok. Ibu ke sini emang cuma karena pengen ketemu sama kamu, nak.”
“Saya?”
“Iya,” Ibu ngangguk pelan sambil senyum tipis
“Karena Dika gak mungkin mau ketemu lagi sama Ibu.”
“Saya bakal bujuk Dika supaya mau ketemu sama Ibu,” kata Aksa.
“Sekarang Dika juga lagi sakit, Bu. Pasti Dika seneng kalau Ibu jengukin dia.”
Ibu Dika ngegeleng pelan, “Ibu gak bisa lama-lama di sini, nak,”
“Abis ini Ibu udah harus balik ke Belitung.”
Aksa lagi-lagi ngerasa iba. Jelas banget kalau tatapan Ibu kandungnya Dika dipenuhi lara. Tapi wanita itu justru masih bisa senyum, seolah dia baik-baik aja.
“Bu...”
Aksa tiba-tiba gak bisa nerusin ucapannya pas Ibu kandung Dika ngusap bahunya.
“Aksa kan ya?”
“Iya, Bu.”
“Ibu boleh gak minta nomor handphone kamu?”
“Boleh kok, Bu.”
Aksa pun ngetik nomornya di layar handphone yang disodorin sama si Ibu. Nyimpan, sebelum balikin handphone itu ke Ibu Dika.
“Aksa, Ibu titip Dika.”
Aksa refleks meluk Ibu Dika karena sadar kalau matanya udah berkaca-kaca. Dia bener-bener gak bisa ngeliat wanita nangis, apalagi seorang Ibu.
“Tolong jaga Dika dan bikin dia tetap bahagia ya, nak...”
“Karena Ibu gak bisa.”