Kamar

Evan tersenyum lembut ketika ia menginjakkan kakinya di ruang tengah. Di sana Evan mendapati sang mertua yang tengah asik menonton televisi. Alhasil, Evan dengan sigap menghampiri. Ia duduk tepat di sisi kiri Bunda.

“Nda, kok belum tidur?”

“Bunda pengen liat ending series yang ini, Van. Nanggung,” sahut si wanita paruh baya. “Kamu udah makan malam belum?”

“Udah kok di kantor tadi, Nda.”

Bunda mengangguk kecil, sedang Evan lantas celingukan. Jelas jika Evan sedang mencari seseorang. Bunda yang paham akan hal itu pun seketika kembali bersuara.

“Gala baru aja masuk kamar.”

Evan kembali menatap Bunda lalu tersenyum tipis. Namun, helaan napas panjang yang ia hembuskan setelahnya cukup menarik perhatian si mertua.

“Kalian lagi berantem ya?”

“Gala gak cerita ke Bunda?”

“Gala gak cerita apa-apa,” kata Bunda. “Tapi dari tadi anaknya cemberut mulu, Van. Pas Bunda tanyain ada apa juga dia bilang gak apa-apa. Abis itu ke kamar.”

Pundak Evan jatuh. Sejenak ia menunduk, memandangi lantai yang kini seolah telah menjadi objek paling tepat untuk ditatap.

“Dalam rumah tangga, berantem itu wajar kok...” Si wanita paruh baya tiba-tiba menyeletuk, Evan pun lantas menoleh ke arahnya.

“Yang gak wajar itu kalau kalian cuma diam aja, nggak mau nyari solusinya gimana, nggak pengen cerita maunya apa.” jelas Bunda.

Evan mengangguk. “Semua ini sebenarnya salah Evan sih, Nda.”

“Evan make uang pribadi sampai seratus juta lebih buat beli kursi pijat baru tanpa bilang dulu ke Gala,” tuturnya. “Awalnya… Evan mikir, itu gak bakal jadi masalah.”

“Soalnya Evan pengen ngasih itu sebagai hadiah ulang tahun buat Gala,” Evan menghela napasnya.

“Evan juga sempet gak habis pikir kenapa Gala se-marah itu, ampe dia pulang kantor tadi gak bilang sama aku. Padahal dia lagi sakit.”

“Tapi setelah Evan nenangin diri dulu, terus jernihin pikiran, Gala pasti punya poinnya sendiri kok.”

“Dan bener kata Bunda, gimana ini bisa selesai kalau gak dicari terus diomongin solusinya apa.”

Bunda tersenyum. Satu tangan si paruh baya pun mengusap pelan pundak Evan sebelum berkata.

“Bunda yakin kamu bisa selesaiin masalah kamu sama Gala, Van...”

“Kamu jauh lebih dewasa dari apa yang Bunda tau selama ini.”

Evan membalas senyum lembut sang mertua, “Makasih ya, Nda.”

“Kalau gitu Evan pamit ke kamar dulu. Mau nyusulin Gala,” ucap Evan lalu menyodorkan salah satu paper bag yang sedari tadi ia tenteng kepada Bunda. “Nda, ini Evan hampir lupa ngasih nih.”

“Ini apa, Van?”

“Brownies kesukaan Bunda.”

Bunda terkekeh. “Makasih ya.”

“Iya, Nda.”

Evan kemudian berdiri dari sofa, “Jangan kemaleman tidurnya.”

“Iyaa. Udah, susulin Gala gih.”

Evan pun mengangguk paham sebelum berjalan ke arah tangga menuju kamarnya dengan Gala. Satu tangannya masih membawa satu paper bag lain. Tentu isinya untuk sang suami yang saat ini sudah lebih dulu ada di kamar.

Saat membuka pintu kamar, Evan mendapati Gala berbaring di atas ranjang. Evan sendiri tidak dapat memastikan apakah suaminya itu sudah terlelap atau belum. Sebab Gala berbaring membelakangi tempat Evan berdiri saat ini.

“Sayang…”

Evan berjalan menghampiri tempat tidur mereka. Sejenak Evan meletakkan paper bag yang dibawanya di atas nakas sebelum berakhir duduk tepat di belakang punggung Gala. Evan kemudian membungkuk, mendaratkan kecupan lembut di pipi Gala.

“Dek…” bisik Evan, “Mas bawain tempura nih. Makan dulu yuk?”

“Aku udah makan,” gumam Gala dengan matanya yang tertutup.

“Mas juga udah makan, tapi Mas pengen makan lagi sama kamu.” bujuk Evan. “Yuk? Dikit aja, Dek.”

Tidak ada jawaban dari Gala.

“Kalau gitu temenin Mas makan aja deh, sekalian ngobrol dikit.”

Gala berdecak, “Aku capek, Mas.”

“Mas juga lagi capek, Dek. Tapi Mas pengen kelarin masalah kita dulu. Pengen ngobrol baik-baik sama kamu,” sahut Evan. “Mas nggak mau diem-dieman sama kamu sampai besok. Mas juga udah cukup ngasih kamu waktu sendiri kan buat nenangin diri?”

Lagi, tak ada jawaban dari Gala.

“Kalau kamu gak mau nemenin Mas makan, kamu aja deh yang Mas makan. Mau?” timpal Evan.

“Aku lagi nggak mood bercanda, Mas. Aku beneran udah capek.”

Menghela napasnya pelan, Evan lantas mengubah posisi suami tercintanya hingga terlentang. Ia lalu beralih mengungkung Gala yang kini berada di bawahnya. Kedua tangan Evan mengunci pergelangan tangan Gala hingga tak ada celah untuknya bergerak.

“Aku juga gak bercanda, Gala.”

Mendengar Evan menyebut namanya membuat Gala refleks menelan ludah. Terlebih saat ia mendapati bagaimana sorot mata sang suami begitu tajam namun tetap tenang. Gala pun seketika paham bahwa Evan tak main-main dengan ucapannya.

Persekian sekon berselang, Evan menurunkan pandangannya ke bibir Gala. Bersamaan dengan itu, Evan lantas mengikis jarak antara wajah mereka. Gala pun dapat merasakan betapa hangat hembusan napas suaminya. Tapi sebelum Evan dapat menjangkau bibirnya, Gala lalu memalingkan muka. Evan menghela napasnya.

“Kamu enggak pengen bilang sesuatu sama aku?” tanya Evan.

“Seharusnya Mas yang bilang sesuatu sama aku,” balas Gala, masih enggan menatap Evan.

Menipiskan bibirnya, Evan lalu mengecup singkat pipi kiri Gala.

“Mas minta maaf,” ucapnya.

Gala akhirnya menoleh kepada Evan. “Aku udah kenyang kata maaf dari kamu, Mas. Aku cuma pengen dengerin kamu janji gak bakal ngulangin hal kek gini lagi.”

“Kamu kenapa se-marah ini sih, Dek?” balas Evan, “Padahal Mas udah jelasin loh, kalau Mas gak bilang ke kamu karena jadiin itu early birthday gift buat kamu.”

“Mas paham, kamu mungkin lagi ngerasa kalau Mas gak hargain kamu sebagai suami. Apalagi duit segitu bukan nominal yang dikit, dan selama ini kamu tuh selalu merhatiin keuangan Mas juga.”

“Perasaan kamu valid kok,” lanjut Evan pelan. “Tapi yang bikin Mas heran, kenapa masalahnya jadi ke mana-mana kayak gini, Sayang?”

Gala pun mendorong pelan dada Evan. Ia kemudian menuntun suaminya itu agar bangkit, pun dirinya yang juga telah duduk di hadapan Evan. Gala mendengus.

“Mas ngerti gak sih poin aku apa sampai aku marah gini ke kamu?”

“Mas gak ngerti. Makanya Mas tanya baik-baik ke kamu, Dek.”

Gala menautkan alisnya kesal sambil melipat lengannya di depan dada. Gala cemberut.

“Aku gak suka kalau Mas nggak bilang apa-apa ke aku sebelum ngelakuin sesuatu,” katanya.

“Mungkin hari ini Mas cuma gak bilang kalau Mas mau make duit sebanyak itu karena tameng mau nge-jadiin surprise, tapi besok-besok kalau Mas udah terbiasa gimana? Mas jadi gak nganggap aku penting buat dikasih tau.”

“Mana mungkin aku kayak gitu, Dek? Aku bakal ngomong kok.”

Who knows?” sela Gala, “Toh buktinya kamu gak ada inisiatif kan buat nyari alasan supaya bisa ngomong ke aku kalau kamu mau ngeluarin duit sebanyak itu?”

“Hari ini kamu gak ngomong soal uang, kalau aku biarin, siapa tau besok kamu juga udah gak mau ngomongin soal yang lain ke aku. Terus apa gunanya coba aku jadi suami kamu, Mas?” timpalnya.

“Kalau kamu apa-apa masih suka ngambil keputusan sendiri, gak ngobrol sama aku atau bahkan cuma sekedar minta pendapat, esensi dari kita nikah itu apa?”

“Kita nikah karena pengen nge-jalanin apapun sama-sama kan?”

“Kamu mikirin ini terlalu jauh, Dek. Selama ini aku udah selalu ngomongin hal kecil sampai hal besar ke kamu loh. Tapi gara-gara kesalahan yang tadi, kamu jadi mikir kalau Mas sukanya ngambil keputusan sendiri?”

“Justru aku mikirnya jauh supaya dari kejadian yang tadi kamu jadi gak kebiasaan, Mas.” kata Gala.

“Oke, aku udah minta maaf kan tadi? Aku juga janji gak bakalan ngulangin lagi.” Evan mencubit hidung bangir Gala, “Terus kenapa tadi kamu malah balas dendam? Bukannya langsung bilang kalau kamu tuh pengen Mas janji supaya gak ngulangin?”

“Kamu tau kan gimana khawatir dan takutnya Mas kalau kamu udah sakit, Dek?” desah Evan.

“Aku balas dendam biar Mas tau rasanya gak dianggap penting, terus pengen aku juga bilang ke Mas supaya gak ngulangin lagi.”

“Tapi Mas Evan malah ikut-ikut balas dendam, nggak ngomong kalau lagi lembur. Mas juga tau kan gimana khawatirnya aku kalau kamu pulang malem terus sendiri? Aku takut kamu kenapa-kenapa di jalan, Mas.” katanya.

“Mas gak balas dendam, Mas cuma pengen dicariin sama kamu.” Evan tersenyum tipis, “Maaf ya udah bikin khawatir?”

Gala mencebik. “Maaf doang?”

Evan terkekeh pelan. Kedua lengannya pun ia rentangkan.

“Sini, mau Mas peluk.”

Menahan senyumnya, Gala lalu menerima dekapan hangat Evan. Dapat Gala rasakan bagaimana Evan mengecup lembut puncak kepalanya sebelum bergumam.

“Kamu masih mual gak?”

“Gak kok,” jawab Gala.

“Kenapa bisa muntah tadi?”

Gala menggeleng tak yakin.

“Aku salah makan deh kayaknya, Mas. Apa kebanyakan minum kopi ya? Makanya asam lambung aku naik,” katanya. “Abis dikasih obat sama Bunda langsung ilang.”

“Obat asam lambung?”

“Mhm.”

“Pasti gara-gara Mas ngasih kopi kebanyakan nih kamu jadi gini.”

“Mas ngasihnya gak kebanyakan, tapi tadi aku minum kopi yang udah aku bikin juga pas kopi dari Mas Evan udah abis,” kata Gala.

Evan berdecak pelan. “Kamu nih, bener-bener ya. Katanya cuma pengen minum kopi dari aku.”

“Abisnya aku masih ngantuk tadi, Mas. Sayang juga kalau dibuang.”

“Tapi sekarang perut kamu udah nyaman kan? Apa masih perih?”

Gala mendongak, tersenyum ke arah Evan lalu mengecup ringan bibir suaminya. Evan tersenyum.

“Iya, Mas Sayang. Aku udah baik-baik aja kok.” Gala meyakinkan.

Persekian detik berikutnya, Evan pun melakukan hal serupa. Evan mendaratkan kecupan singkat di bibir Gala-nya sebelum bersuara.

“Kamu beneran gak mau makan lagi? Tempuranya udah dingin.”

Gala menggeleng pelan, satu jari telunjuknya kemudian bermain-main di dada bidang Evan yang masih ditutupi kemeja putih.

“Kalau Mas gimana?” Gala lalu menghindari tatapan Evan sambil menahan senyumnya.

“Mas beneran mau makan aku kalau gak ditemenin makan?”

Evan ikut menahan senyumnya.

“Ditemenin atau gak ditemenin makan, Mas bakal tetep makan kamu kalau kamu pengen, Dek.”

“Kok jadi aku?” Gala berdecih. Ia menarik dirinya dari pelukan si pujaan hati lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang seperti semula. “Aku capek, mau bobo.”

“Mas Evan mandi gih,” titahnya.

“Yakin?” goda Evan.

Gala tidak memberi jawaban. Ia hanya mengulum bibir sebelum menutupi ujung kaki hingga kepalanya dengan selimut tebal. Evan yang melihatnya terkekeh.

“Kalau kamu berubah pikiran, bilang sama Mas ya?” kata Evan.

“Dibilang aku capek, Mas.” sahut Gala dibalik selimut tebalnya.

“Kamu mikirin apa, hm?” Evan terkekeh lalu mencolek kaki Gala yang masih dibungkus selimut.

“Maksud aku kalau kamu pengen makan sama aku, bilang ya. Biar tempuranya gak usah aku bawa ke dapur kalau abis mandi nanti.”

“Bawa ke dapur aja,” kata Gala.

“Ya udah, Mas mandi dulu.”

“Mhm.”

Usai mendengar respon Gala, Evan seketika bergegas ke kamar mandi. Sementara itu, Gala yang sama sekali belum tertidur pun bisa mendengar bagaimana air di dalam sana perlahan memercik, tanda bahwa suaminya itu telah membersihkan tubuh kekarnya.

Sampai tak lama berselang, suara air yang memercik dari shower menghilang. Bersamaan dengan Gala yang telah membebaskan kepalanya dari balutan selimut.

Alhasil, Gala lantas melihat Evan keluar dari kamar mandi hanya dengan selimut yang menutupi pinggang hingga lututnya. Gala diam-diam menelan ludah saat matanya tertuju pada perut six pack Evan yang setengah basah.

“Kirain udah bobo,” kata Evan saat melihat Gala menatapnya.

Gala tak merespon dengan frasa. Ia hanya terus memerhatikan pergerakan sang suami yang kini tengah berjalan ke arah kursi pijat yang baru dibeli siang tadi.

“Ini belum kamu cobain?”

“Belum,” sahut Gala.

“Gak mau nyoba, Dek?” Evan lalu menunjuk kursi itu dengan dagu, “Katanya kamu lagi capek. Kursi ini claim-nya ada pijat refleksi loh supaya tidur kita nyenyak.”

“Mas aja yang nyoba duluan.”

Evan mengangguk. Ia kemudian menyalakan kursi pijat itu sesaat setelah menyamakan posisinya di sana dengan punggung yang telah disandarkan di badan kursi.

“Gimana, Mas?” tanya Gala saat melihat Evan memejamkan mata usai mendapatkan pijatan dari kursi itu. Mata Evan kemudian kembali terbuka, ia tersenyum.

“Enak,” katanya. “Lengan sama kaki Mas berasa lagi dipijat di spa. Punggung Mas juga gak encok lagi. Aroma therapy-nya nenangin. Kurangnya cuma satu.”

“Apa?” Gala mengangkat alisnya.

“Paha atas Mas gak dapet efek pijatannya,” Evan menyeringai tipis sambil kembali menutup kedua matanya. “Kayaknya kalau ada yang duduk di pangkuan aku, abis ini aku bakal langsung bobo.”

Evan diam-diam menunggu respon Gala. Ekspektasinya jelas menebak bahwa suami cantiknya itu akan merengek karena malu atas godaannya. Namun di luar dugaannya, Evan justru dibuat kaget saat ia tiba-tiba merasakan bahwa seseorang duduk di atas pangkuannya. Saat itu pula Evan membuka mata dan mendapati Gala telah berada di hadapannya.

Gala kemudian bertanya, “Mas yakin bakalan langsung bobo?”

“Mas tarik ucapan Mas tadi,” kata Evan sambil membelai sensual pinggang Gala, “Kayaknya Mas gak bakalan bobo sampai pagi.”