Jam pelajaran olahraga mengharuskan para siswa untuk keluar kelas. Berkumpul di lapangan, guna melakukan praktik atas teori permainan bola basket yang telah diterima pada pertemuan sebelumnya.

Kini kubu siswa dan siswi masing-masing sudah dibagi menjadi dua tim yang nantinya akan saling berhadapan. Sang guru olahraga pun sudah memberi aba-aba supaya kedua tim dari siswa mengatur posisi di tengah lapangan setelah melakukan pemanasan.

“Dey, keknya tim kita bakal menang deh.”

Radeya yang mendengar ucapan Gibran lantas menoleh, “Pede aja dulu.”

“Serius gua,” Gibran ketawa kecil, “Noh liat. Si Sean sama Daffa udah se-tim tapi masih aja diem-dieman. Pengen gue lempar bola aja rasanya pala mereka berdua.”

“Kali aja udah gak diem-dieman pas main nanti, Gib.”

“Semoga.”

Peluit panjang kemudian berbunyi. Menandakan kalau permainan antar tim laki-laki akhirnya dimulai. Daffa yang berhasil mengambil bola pun langsung melakukan dribble dan mengoper ke rekannya yang lain. Sementara Sean berlari ke sudut kotak tidak jauh dari ring.

Sampai saat bola akhirnya tiba di tangan Sean, dia lantas melakukan dribble sembari menghindari lawan. Setelahnya dia langsung melompat lalu melempar bola guna mencetak poin.

Sayangnya, meski bola yang Sean lempar ke ring berakhir membuat timnya unggul dua poin, namun persekian detik berikutnya dia lantas menjerit kesakitan. Bersamaan dengan pemain lain yang seketika berlari ke arahnya.

Setelah melompat tadi, kaki Sean mendarat dengan tidak sempurna. Membuat pergelangannya terkilir sampai dia jatuh tersungkur di lapangan.

“Cepet lurusin kakinya!” Gibran berteriak panik.

Daffa kemudian berjongkok di depan kaki Sean yang udah diluruskan. Dia membuka sepatu sahabatnya itu lalu menyentuh pergelangannya.

Sean mengerang, “Sakit, Daf.”

“Sakit banget?”

Sean mengangguk sambil meringis pelan.

“Daf, bawa Sean ke UKS dulu.” kata sang guru olahraga.

Daffa kemudian mengangguk lalu menuntun lengan Sean agar bertengger di bahunya. Berusaha membantu supaya sahabatnya itu bangkit. Tapi Sean bener-bener udah gak bisa menopang tubuhnya sendiri. Alhasil, dia lagi-lagi menjerit.

“Gak bisa berdiri?”

“Gak bisa,” jawab Sean lirih.

Daffa pun mendongak. Menatap sang guru di depannya.

“Pak, kayaknya kaki Sean keseleo parah. Saya izin bawa Sean ke klinik aja boleh?”

“Boleh. Silakan. Kamu doang yang nemenin, Daf? Atau bareng siapa lagi?”

“Saya sendiri aja, Pak.”

Daffa lalu noleh ke Radeya, “Dey, tolong pesenin gocar.”

“Oke.”

***

Sepulang dari klinik, Daffa langsung membawa Sean pulang ke rumah. Dalam keadaan kaki yang udah diperban, Sean cuma bisa pasrah pas Daffa lagi-lagi menggendong dia hingga akhirnya sampai di kamar.

“Lu ganti baju dulu,” kata Daffa setelah membuat Sean terduduk di atas ranjang.

Dia lalu membuka lemari Sean. Mengambil baju kaos juga celana pendek yang sekiranya nyaman.

“Nih,” katanya sembari meletakkan pakaian itu di samping Sean, “Apa mau dibantu ganti baju juga?”

“Enggak lah,” gumam Sean.

Daffa kemudian berbalik. Dia jalan ke arah meja belajar sebelum duduk di sana—membelakangi Sean. Bikin si empu kamar bersuara.

“Daf, lu keluar dulu dong.”

Tanpa menoleh atau pun berbalik, Daffa pun berkata.

“Kenapa sih? Lu takut gue ngintip?” tanyanya, “Punya kita sama, Yan. Gue bisa liat punya gue sendiri kalo mau.”

“Stress,” gumam Sean.

Daffa yang masih bisa mendengar gumaman Sean pun senyum tipis sebelum kembali musatin atensinya ke layar handphone. Tapi persekian detik berikutnya, rintihan Sean bikin dia kaget.

“Sean?”

“Jangan noleh, anjing!”

“Gue gak noleh, astagaaa!”

“Tapi lu hampir balikin badan lu barusan, Daffa!”

Sean histeris sendiri. Daffa pun bingung harus ngerasa panik atau justru ketawa karena sahabatnya itu.

“Abisnya lu kek lagi kesakitan tadi,” katanya.

“Tadi gue ganti celana, terus nyangkut di kaki yang sakit.” jelas Sean, “Lu jangan balik badan dulu pokoknya sebelum gue bilang udah.”

Daffa cuma geleng-geleng, masih dengan posisinya yang membelakangi ranjang Sean. Sampai gak lama berselang, Sean akhirnya bersuara.

“Udah.”

Daffa pun berbalik sebelum berdiri. Kembali nyamperin Sean yang udah ganti baju.

“Lu sarapan gak tadi?”

“Mm,” jawab Sean.

“Ya udah lu minum obat dulu,” kata Daffa sambil ngeluarin obat pereda nyeri Sean juga air mineral yang dibelinya tadi dari tas.

Sean lantas nurut aja. Tapi setelah minum obat, dia dan Daffa justru tiba-tiba terjebak dalam keheningan.

Sampai saat Sean menguap karena rasa kantuk yang menyerang, Daffa pun bilang.

“Bobo aja dulu.”

Sean mengangguk. Matanya juga udah setengah terbuka. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya sebelum rebahan sementara Daffa masih duduk di tepi ranjang.

“Daf.”

“Mm?”

“Jangan pergi ya?”

Daffa sedikit terkejut mendengar penuturan Sean. Pasalnya dalam perjalanan pulang dari klinik ke rumah tadi, sahabatnya itu terus aja bilang supaya dia buru-buru balik lagi ke sekolah. Apalagi motornya masih ada di sana.

Tapi sekarang, yang Daffa dengar justru suara lirih Sean yang ngelarang dia pergi.