“Istirahat dulu yuk, dek?”

Gala mengangguk. Menyetujui ajakan Evan ketika mereka sampai di taman resort. Sang atasan pun nuntun Gala untuk duduk pada bangku kayu panjang yang ada di sana.

Sejenak keduanya mengatur deru napas. Berjalan hampir tiga puluh menit cukup membuat mereka ngos-ngosan. Terutama bagi Gala yang mengerahkan seluruh tenaga dan semangatnya.

“Pegel gak?”

“Dikit,” Gala cengengesan.

Evan senyum tipis. Satu tangannya mengusap lembut surai hitam Gala sejenak sebelum yang satunya lagi menepuk pahanya sendiri.

“Taroh kaki kamu di sini. Biar Mas pijitin,” kata Evan.

“Haha! Gak usah, Mas.”

Gala kemudian bergelayut pada lengan Evan sebelum menyandarkan kepalanya di bahu yang lebih tua. Setelahnya dia mendongak, natap langit Bogor yang kembali cerah dan dipenuhi bintang meski sore tadi direcoki oleh hujan.

“Kapan ya terakhir kali aku liat bintang sebanyak ini,” gumam Gala.

“Mm, Mas juga lupa kapan terakhir kali liat bintang sebanyak ini. Langit Jakarta udah gak kayak dulu lagi.”

Evan menunduk. Mengecup puncak kepala Gala lalu berbisik, “Tiap hari Mas cuma bisa liat dua bintang.”

“Dua?”

Gala mendongak, “Liat di mana? Perasaan aku tiap malam ngeliat langit sebelum bobo. Kok aku gak liat?”

“Kalo kamu yang pengen liat harus pake cermin dulu, dek.”

“Kok cermin?”

“Soalnya dua bintang itu ada di mata kamu.”

Gombalan Evan sukses bikin Gala mukul pelan lengan atasannya itu. Keduanya pun sama-sama terkekeh sebelum kembali mencurahkan atensi ke langit yang berhamburan bintang di atas mereka.

Hening.

Hanya suara jangkrik yang mengisi kesunyian malam, sedangkan Evan dan Gala kini sibuk dengan pikiran mereka masing-masing tanpa keduanya sadari.

“Dek?”

“Iya, Mas?”

“Mas mau nanya boleh?”

“Boleh. Nanya apa emangnya?”

“Kamu pengen nikah pas umur berapa?”

Saat itu juga jantung dibalik dada Gala seakan ingin meloncat dari tempat semestinya. Pasalnya pertanyaan yang dilayangkan Evan tadi begitu mendadak. Ditambah lagi sorot mata sang atasan yang terlihat begitu tenang namun juga serius di waktu bersamaan.

Menelan ludahnya sejenak, Gala kemudian berdeham.

“Kalo aku sih nunggu kapan jodoh dateng aja, Mas.”

“Aku gak mau dibikin kecewa lagi sama ekspektasi yang terlalu tinggi soalnya,” katanya.

Gala melanjutkan, “Kali aja aku bilang—dan berharap pengen nikah pas umur 25, tapi ternyata jodoh aku gak dateng di umur segitu.”

Evan menipiskan bibir. Selagi jemari lentiknya perlahan menggenggam milik Gala.

“Kalo Mas ngelamar kamu tahun ini—kamu siap gak?”

Gala nahan napas. Di otaknya terlalu banyak kata yang ingin ia ucap, tapi bibirnya justru hanya bergumam,

“Ha?”

Evan menarik napas dalam-dalam. Menghirup udara malam hingga degupan jantungnya perlahan tenang.

“Mas mau jujur,” katanya.

“Sebenarnya Mas ngajak kamu, Bunda, Mami sama Papi ke sini karena Mas pengen bikin kejutan. Mas mau ngelamar kamu di depan mereka malam ini,” jelas Evan.

“Tapi setelah Mas pikir-pikir lagi sore tadi, rasanya Mas terlalu egois kalo gak nanya ke kamu dulu—apa udah siap atau enggak buat nikah.”

Evan ngusap lembut punggung tangan Gala dengan ibu jarinya. Sementara yang lebih muda masih terdiam. Menunggu Evan melanjutkan ucapannya.

“Jahat rasanya kalo Mas gak tau kesiapan mental kamu. Padahal nikah itu bukan cuma perkara—status kita jadi sah terus akhirnya bisa serumah,” katanya.

“Tapi bakal ada tanggung jawab besar yang kita emban sebagai pasangan. Belum lagi kalo nanti kita memutuskan buat jadi orang tua.”

“Apalagi umur kamu masih cukup muda. Mungkin masih banyak hal yang pengen kamu lakukan dan raih sebelum ngelepas status lajang,” sambung Evan.

“Mas pengen nikahin kamu secepatnya, La. Tapi kalo kamu belum siap, Mas bakal nunggu kok. Gak masalah kalo kita tunangan aja dulu.”

Evan kemudian natap jemarinya dan milik Gala yang saling menggenggam di atas pahanya. Dia ngusap lembut jari manis sang bawahan seolah ada cincin di sana.

“Jadi gimana, dek?”

Gala mengulum bibirnya sesaat. Rasa terkejut, bahagia dan haru berpadu menjadi satu di dalam dadanya.

“Kalo dibilang siap... Aku sebenernya udah siap, Mas. Selama ini aku juga selalu berharap bisa nikah muda.”

“Justru aku deh yang harusnya nanya, Mas yakin dan siap mau nikah sama aku?”

“Yakin. Lagian Kenapa Mas harus gak yakin? Mas kan sayang kamu,” jawab Evan.

“Tapi Mas gak pernah pacaran sama aku. Mas gak tau gimana aku bersikap dalam suatu hubungan.”

“Bisa aja ada kebiasaan atau sifat aku sejak dewasa yang belum Mas Evan tau—terus Mas gak suka,” tuturnya.

“Kalo kita nikah nanti, aku loh Mas yang bakal nemenin kamu sampe tua...”

“Bayangin aja gimana stress nya kalo Mas Evan harus hidup sama orang yang kebiasaannya gak Mas suka. Aku gak mau nyiksa kamu, Mas.”

Evan senyum.

“La, bagi aku... Memilih untuk menikahi kamu itu berarti Mas juga memilih buat menerima segala kekurangan dan kelebihan kamu.”

“Kamu pernah denger kalimat ini gak? Kita—manusia terlahir gak sempurna, tapi akan ada seseorang yang datang dan menyempurnakan kita.”

“Kekurangan kamu akan jadi kelebihannya. Dan kekurangan dia akan jadi kelebihan kamu,” lanjut Evan.

“Jadi yang terpenting itu bukan tentang mencari pasangan yang sempurna. Tapi tentang mencari pasangan yang bisa menerima kita secara sempurna,” jelasnya.

Kedua biner legam Gala seketika berkaca-kaca. Dia gak bisa lagi mengekspresikan perasaannya. Terlebih saat melihat ketulusan dan kesungguhan di wajah Evan.

“Kenapa nangis? Mas bikin kamu sedih ya?” tanya Evan seraya menyeka air mata yang tiba-tiba membasahi pipi kanan Gala.

Gala pun menggeleng. Dia kemudian beralih mendekap erat tubuh yang lebih tua. Menghirup aroma maskulin namun menenangkan dari parfum sosok terkasihnya itu sebelum bergumam pelan.

“Aku mau nikah sama Mas Evan.”

Sama halnya dengan Gala, Evan pun ikut menghirup aroma lembut nan manis di pundak pujaan hatinya. Dia juga mengecup spot yang sama sebelum melepas dekapan mereka dan beralih membingkai wajah Gala.

“Mas sayang kamu.”

Gala senyum tipis. Sesaat setelahnya dia lantas nutup mata. Bersamaan dengan kecupan lembut yang mendarat di bibirnya.

Selepas mendaratkan satu kecupan ringan di bibir yang lebih muda, Evan pun kembali natap wajah Gala dengan senyum menghiasi wajah. Namun tanpa dia duga, Gala justru tiba-tiba menarik tengkuknya. Kembali mempertemukan bibir mereka hingga berakhir saling melumat mesra.

Langit malam berhamburan bintang pun pada akhirnya menjadi saksi bisu bagaimana dua insan yang dibalut kasih itu sedang bercumbu.

***

Setelah tadi mengelilingi hampir ke seluruh penjuru resort, Evan dan Gala kemudian ikut bergabung di area BBQ. Canda dan tawa pun menjadi penambah kehangatan meski malam telah semakin larut.

“Pi, kayaknya ini udah cukup deh. Di meja juga udah banyak,” ucap Kayana yang sedari tadi membantu Papi juga Evan di depan panggangan.

“Ya udah kamu angkat yang ini ke meja lagi gih, Yan. Entar Papi sama Evan nyusul.”

Kayana pun mengangguk paham sebelum meninggalkan Papi dan adik lelakinya. Gak lama berselang, kedua pria beda generasi itu pun ikut menghampiri meja mereka yang udah dipenuhi makanan.

Evan kemudian duduk tepat di samping Gala. Gak lupa menyunggingkan senyum tipisnya sebelum bergumam.

“Mas bau asap gak?”

“Mm,” Gala terkekeh.

“Kalo gitu Mas pindah ke samping Papi ya? Biar Mami yang duduk di sini,” bisiknya.

“Kamu di sini aja, Mas. Kasian Mami udah duduk nyaman di tempatnya juga,” balas Gala.

“Aku perhatiin Evan sama Gala bisik-bisik mulu deh dari tadi,” celetuk Kayana.

“Iya. Kita jadi ikut penasaran nih mereka ngomongin apa. Kan, Mba?” timpal Alisha dan dibalas anggukan oleh Kayana.

“Udah, udah. Makan dulu. Entar keburu dingin,” ucap Mami.

Makan malam yang hikmat diselingi obrolan santai pun membuat Gala seketika mengucap syukur dalam hati. Dadanya terasa ringan hanya dengan melihat bagaimana Papi beserta anak dan istrinya begitu tulus menyayangi ia dan Bunda layaknya saudara sedarah.

Namun ketika Evan tiba-tiba menggenggam jemarinya di bawah meja, Gala lantas menahan napas. Terlebih saat yang lebih tua menatap lurus ke dalam manik legamnya lalu menganggukkan kepala pelan.

“Mi, Pi, Nda. Evan... Mau ngomong sesuatu. Boleh?”

Gala mengulum bibir mendengar penuturan sang atasan. Bersamaan dengan telapak tangannya yang seolah menjadi bekuan es.

“Ngomong apa, Van?” tanya Papi.

Evan narik napasnya sejenak sebelum ngelirik Bunda.

“Evan mau minta restu, Pi.” katanya lalu beralih noleh ke Gala sesaat, “Aku mau bawa hubungan aku sama Gala ke jenjang yang lebih serius.”

Evan kembali memusatkan atensi ke arah wanita paruh baya di seberang Gala.

“Bunda...”

“Apa Bunda ngasih Evan restu untuk mempersunting Gala?”

“Van, Bunda akan selalu merestui apapun yang bikin Gala bahagia. Dan kamu itu salah satu alasan dari senyum Gala selama ini, nak.”

Bunda senyum, “Bunda bersyukur dan seneng banget denger niat baik kamu, Van.”

“Tapi Bunda setuju gak kalau Gala nikah muda sama Evan?”

“Balik lagi ke kalian berdua,” jawab si wanita paruh baya.

“Kalo kalian udah ngerasa mantap, Bunda pasti bakal dukung keputusan kalian.”

Mata Gala kembali berkaca-kaca. Dari suara Bunda saja, dia bisa ngerasain betapa bahagia sosok wanita yang dia sayangi itu sekarang.

Tapi di satu sisi, Gala juga bisa ngeliat gimana raut wajah Bunda masih terlihat gak percaya kalau anak dia satu-satunya akan segera dipersunting oleh Evan.

Sementara itu Evan lantas menghela napas lega diikuti senyum harunya. Ia kemudian menoleh ke arah Papinya yang ikut bersuara.

“Kalo Papi sih gak usah ditanya,” katanya. “Sejak kalian masih kecil kan Papi sama Ayah Gala emang udah mau jodohin kalian berdua.”

“Mami juga,” celetuk si wanita paruh Baya di samping Papi.

“Mami tau, cuma Gala yang terbaik buat Evan. Kalian udah deket dan saling sayang sejak kecil. Kalian juga udah saling melengkapi.”

“Justru Mami bakal sedih kalo Gala gak jadi mantu di keluarga kita. Iya kan, Pi?”

“Iya,” jawab Papi, “Apalagi Ayah sama Bunda Gala udah Papi anggap saudara sendiri.”

“Bukannya makin bagus kalo hubungan kita makin erat dengan bener-bener jadi saudara jalur besan?” candanya, “Iya gak, Na?”

Bunda Gala terkekeh lalu mengangguk setuju.

“Iya, Mas. Aku yakin Ayah nya Gala juga bakal seneng banget.”

Evan dan Gala lantas kembali bertukar pandangan. Keduanya sama-sama mengulas senyum lega. Meski sebelumnya dihantui rasa gugup, tapi pada akhirnya orang tua mereka pun memberi dukungan penuh.

Gak lama berselang, Evan kemudian noleh ke Kayana.

“Mba Yana, kalo Evan duluan gak apa-apa kan?”

“Kalo aku bilang gak boleh, emang kamu bakal nurut?” Yana ngelipat lengannya sambil nahan senyum.

“Aku bakal nyariin Mba Yana calon suami supaya aku juga bisa cepet-cepet nikah,” kata Evan diikuti tawa pelan.

Kayana tersenyum lembut.

“Kamu duluan aja, Van. Nikah bukan prioritas aku sekarang. Aku masih betah single.”

Evan ngangguk pelan. Dia udah cukup paham gimana pemikiran kakaknya itu.

“Jadi kalian nikahnya kapan? Bulan depan?” cerocos Papi.

“Astaga, Pi...” gumam Kayana lalu geleng-geleng kepala.

“Dikira nyiapin acara nikahan sama kek nyiapin acara BBQ-an apa?” cibirnya.

Evan ketawa ringan.

“Aku sama Gala belum nentuin kapan tepatnya, Pi. Tapi kalo bisa dan gak ada halangan, maunya tahun ini.”

“Nanti kita omongin bareng-bareng lagi soal tanggal jadinya,” sambung Evan.

“Kalian mau acara nikahannya di sini aja apa di luar negeri, Van?” tanya Kayana.

Evan ngelirik Gala sejenak, “Entar aku omongin segala sesuatunya sama Gala dulu, Mba. Sebenarnya yang terpenting aku udah dapat restu dari kalian semua.”

“Tapi Mas Evan gak minta restu dari aku,” celetuk Alisha lalu memanyunkan bibirnya.

“Eh, ya ampun iya. Kamu kelupaan, dek.”

“Udah lah. Aku emang anak pungut kek yang Mba Kayana selalu bilang keknya.”

Gelak tawa lantas memenuhi meja mereka. Melihat si bungsu merajuk lalu dibujuk dengan lemah lembut oleh Evan membuat Gala terpaku.

Evan adalah orangnya.

Evan lah sosok yang ia inginkan dan dambakan.

Evan...

Hanya Evan yang ingin ia jadikan pelabuhan terakhir hatinya hingga tutup usia.