“Ini yang abis ditusuk siapa sih sebenernya?”
Dikara tersenyum. Ia kemudian meraih jemari Aksa lalu mengecup punggung tangan pujaan hatinya selama beberapa detik.
“Aku seneng banget sampe netesin air mata,” katanya diikuti kekehan, “Kebahagian aku udah makin lengkap, Sa.”
Entah kenapa ucapan Dikara membuat Aksa ikut terharu hingga bola matanya memanas. Ia pun tersenyum tipis sebelum menyandarkan kepalanya pada bahu sang suami. Sementara Dikara refleks memeluk pinggangnya dari samping.
“Gue gak pernah ngebayangin bakal making love sama sahabat gue sendiri,” kata Aksa diikuti tawa ringan.
Ia kembali berbicara santai dengan suaminya. Sebagaimana ia berbicara dengan sahabatnya, Dikara.
“Apalagi gue, Sa. Ini tuh masih kayak... Mimpi,” balas Dikara lalu mengecup puncak kepala Aksa.
“Makasih ya, Sa.”
Aksa mendongak. Tersenyum manis lalu mengangguk pelan.
“Lu indah banget malam ini tau gak?” puji Dikara.
“Cih! Karena gue gak pake baju gitu? Makanya indah?”
Dikara terkekeh, “Pake baju atau enggak, lu tetep indah di mata gue.”
“Tapi yang tadi tuh...”
Dikara mendesis lalu menggigit bibir bawahnya. Ia kemudian menghirup aroma manis dari sampo Aksa sejenak sebelum bergumam.
“Pokoknya cuma gue yang boleh ngeliat lu kayak gitu.”
“Lu ngomong apaan sih?”
Aksa berdecak lalu mengulum senyumnya. Dikara lagi-lagi membuat kedua pipinya memanas hingga bersemu.
“Sa.”
“Apa?”
“Lu puas gak tadi?”
Aksa refleks melebarkan mata. Ia kemudian kembali mendongak dan memandangi wajah Dikara lekat-lekat.
“Lu mau nambah, anjing?”
“Hahaha! Kagak, nyet.”
“Terus?”
“Ya gue nanya, Sa. Takutnya cuma gue yang nikmatin, terus ternyata lu enggak.”
Aksa mendengus lalu menghindari tatapan Dikara.
“Lu kenapa seneng banget bikin gue malu sih, Ka?”
“Lu lucu kalau lagi malu, Sa.”
“Udah ah! Gue mau bobo.”
“Jangan bobo dulu.”
Dikara membelai pipi Aksa, “Tunggu di sini. Aku mau nyiapin air anget, buat mandi.”
Saat Dikara kembali menggunakan “Aku–kamu” Aksa lantas tersenyum.
Padahal maknanya sama saja. Namun telinganya seolah bisa membedakan bagaimana manisnya suara bariton Dikara ketika menggunakan sapaan santai dan serius.
“Kamu mau mandi duluan?”
Dikara menggeleng, “Kenapa harus duluan kalau bisa barengan?”
“Ih, gak mau. Aku mau mandi sendiri,” kata Aksa.
“Emang bisa jalan sendiri ke kamar mandi?”
“Bisa lah.”
“Coba aku liat.”
Aksa memicingkan mata kesal sebelum bangkit dari posisinya. Ia kemudian menatap perut bagian bawahnya sejenak. Sedikit malu saat melihat mani yang membuat dermis nya lengket perlahan telah mengering di sana.
Berdeham pelan, Aksa lantas mencoba turun dari ranjang. Ia menurunkan kakinya hingga menyentuh permukaan lantai kamar.
Sayangnya ketika ia hendak berdiri, sensasi ngilu dan perih seketika mendera bokongnya. Membuat Aksa refleks mendesis lalu menoleh ke arah Dikara.
Suaminya itu tersenyum usil seraya menaik turunkan alis. Sementara Aksa yang sudah berada di ujung kepasrahannya hanya mampu memelas.
“Gimana? Masih mau mandi sendiri?”
“Gendong aku ke kamar mandi, abis itu aku mandi sendiri.”
“Gak mauuu,” Dikara menjulurkan lidahnya.
“Dikara tai.”
“Hahaha!”
Dikara tertawa sembari menghampiri sosok terkasihnya. Ia kemudian membungkuk di hadapan Aksa sebelum menggendongnya brydal.
“Ka, aku mau pake bathrobe dulu.”
Aksa menggigit bibir bawah dan sesekali melirik ke arah tubuh polosnya.
“Entar aja, pas kita udah beres mandi.”
“Dika ih,” rengek Aksa, “Kamu juga ambil handuk dulu kek. Masuk angin tau rasa.”
“Bilang aja kalau kamu malu ngeliat Dikara kecil sama Aksa kecil—aduh!”
Dikara mendesis saat Aksa menarik daun telinganya.
“Buruan jalan ke kamar mandi. Aku udah kedinginan di sini.”
Dikara memicingkan mata, “Katanya gak mau mandi bareng...”
“Dikara!”
“Hahaha! Iya, iyaaa. Ampun.”
Aksa pun hanya mampu mengulum senyum saat Dikara akhirnya berjalan ke arah kamar mandi seraya menggendongnya. Namun saat mereka hendak melewati meja rias, lagi-lagi Aksa dibuat berdecak kesal.
Pasalnya Dikara dengan sengaja menghentikan langkah lalu memerhatikan tubuh telanjang mereka berdua di depan cermin.
“Sa, liat deh—”
“Ka, sekali lagi lu ngomong...”
Dikara kembali dibuat tertawa, “Ngomel mulu nih si cantik. Cium nih.”
“Mending lu nyium gue deh, daripada bacot mulu.”
“Oke,” kata Dikara, “Kalau gitu kita ciuman di kamar mandi sampe sahur.”
“Ish! Dika!”
“Hahaha!”