Heal
Matahari kian meninggi, jarum jam pun kini telah menunjuk ke pukul dua siang hari. Jeva yang sedari tadi menunggu kabar dari Biru pun hanya bisa mengecek gawainya berulang kali dengan harap akan ada balasan pesan. Tapi, sampai saat ini pesannya masih dalam status terkirim.
Jeva kemudian memilih untuk menunggu kabar sang pujaan hati sambil merebahkan tubuh bongsornya di atas ranjang. Dia pun kembali diserang oleh rasa kantuk hingga matanya tertutup.
Menjalani stase berat—atau lebih tepatnya di stase Obgyn—cukup menguras tenaga dan pikirannya. Alhasil, tidak jarang Jeva hanya menghabiskan hari Minggunya dengan tidur di kamar seharian. Sebab, untuk jalan dan kencan berdua dengan Biru pun tidak mungkin. Biru sama capeknya.
Seperti sekarang, di tengah-tengah agenda Jeva menunggu kabar Biru, dia lantas ketiduran. Kantuknya tak lagi tertahankan.
Sampai tak lama berselang, Jeva pun tidak terbangun dari mimpi indahnya ketika Biru datang. Biru bahkan beberapa kali mengetuk pintu kamarnya, namun tak ada jawaban. Alhasil, Biru perlahan membuka daun pintu kamar si pujaan hati hingga mendapati bahwa pacarnya sedang terlelap.
Senyum tipis merekah di bibir Biru kala dia melihat Jeva tidur dengan posisi menyamping dan memeluk guling. Ada rasa tidak tega untuk membangunkannya, apalagi Biru tau betul bagaimana aktifnya Jeva saat jaga di ruangan bersalin selama dua Minggu ini.
Biru kemudian berjalan pelan ke arah ranjang Jeva lalu berakhir duduk di permukaan kasur. Biru mengusap lembut bahu pacarnya lalu mendekapnya dari belakang. Setelahnya, Biru menunduk dan mendaratkan sebuah kecupan sayang tepat di pipi kanan Jeva.
Jeva yang memang amat mudah untuk terbangun pun seketika membuka mata. Dia menoleh ke arah Biru dengan raut terkejut.
“Aku jadi bangunin kamu,” sesal Biru lalu kembali mengecup pipi Jeva, “Kamu tidur lagi aja dulu.”
“Kamu udah dari tadi di sini, Bi?”
Biru menggeleng, “Baru aja. Aku ketok-ketok pintu kamar kamu dari tadi, tapi kamu gak nyaut.”
“Eh, pas aku masuk, ternyata kamu lagi tidur.” timpal Biru sambil mengusap kepala Jeva. “Masih capek banget ya, Jev?”
“Gak kok, aku tiba-tiba ngantuk doang tadi pas nungguin kabar kamu. Mana WhatsApp kamu cuma centang satu lagi,” kata Jeva yang kini telah berbaring dengan posisi terlentang.
Biru pun mengambil kesempatan itu untuk ikut merebahkan tubuh di atas badan sang pacar sambil memeluk leher Jeva. Alhasil, kini dirinya menjadi guling bagi Jeva.
Jeva melingkarkan lengannya amat nyaman di pinggang Biru.
“Maaf ya, Sayang.” bujuk Biru lalu kembali mengecup Jeva, tapi kali ini pada bibir penuh pacarnya.
“Tadi handphone aku mati, terus pas udah konsultasi sama Ayah Kak Maudy, lupa aku nyalain.”
Jeva mengangguk paham diikuti senyum. “Terus gimana katanya, Sayang? Ada perkembangan?”
Biru tidak mengatakan apa-apa. Dia refleks mengulum bibirnya sebelum bangkit dari posisinya. Kini Biru telah duduk di atas ranjang seperti semula, pun Jeva yang buru-buru melakukan hal serupa. Mereka duduk saling berhadapan dengan Jeva yang menatap Biru dengan raut panik.
“Bi?” Jeva membelai pipi Biru. “Semuanya baik-baik aja kan?”
Menarik napasnya dalam-dalam, Biru kemudian meraih kedua tangan Jeva. Dia menggenggam jemari pacarnya itu lalu berkata.
“Ayahnya Kak Maudy bilang…”
Biru tersenyum tipis.
“Aku dinyatakan sembuh, Jev.”
Jeva kehilangan kata selama beberapa saat. Pemilik lesung pipi itu hanya menganga dengan raut bahagia sekaligus bingung karena tak tau harus mengatakan kalimat apa sebagai responnya. Biru yang melihat hal itu pun terkekeh lalu kembali bersuara.
“Kamu udah gak perlu nemenin aku konsultasi ke Psikiater lagi.”
Biru mengulum bibir sesaat, dia takut tangisnya akan terbebas.
“Kamu juga udah gak perlu lagi ngingetin aku buat minum obat.”
Biru mendongak sejenak, sebab matanya tiba-tiba memanas. Dia lalu kembali menatap wajah Jeva setelahnya diikuti senyum tipis.
“Kamu tau gak Ayahnya Kak Maudy bilang apa sama aku tadi?” lanjut Biru, “Katanya, penderita berulang kayak aku biasanya butuh waktu dua tahun buat pengobatan sekaligus sama penyembuhan. Tapi, aku cuma butuh satu tahun lebih loh, Jev.”
“Mhm,” gumam Jeva sambil mengulum bibirnya yang entah sejak kapan telah bergetar. “Kamu hebat, Bi. Hebat banget.”
“I’m so proud of you,” katanya.
Biru menggeleng, “Kamu yang lebih hebat. Kamu yang udah nemenin aku ke titik ini, Jev.”
“We did it,” lirih Biru, sedang Jeva telah berkaca-kaca dibuatnya.
“Makasih banyak karena udah nemenin aku sampai sembuh.”
“Makasih karena nggak pernah capek buat jalan bareng orang sakit kayak aku,” timpal Biru.
“Meski pun memang aku nggak akan bisa sembuh secara utuh, tapi mulai sekarang aku udah bisa kok menghadapi trauma masa lalu itu dengan tenang.”
“Aku udah tau gimana caranya bersikap kalau ketakutan aku akan trauma itu bakal datang.”
“Aku juga udah tau dan aware banget kalau hidup aku berarti dan se-berharga itu,” katanya.
“Aku bahkan udah tau loh harus bilang apa ke Papa kandung aku kalau aja suatu saat nanti aku ketemu sama dia,” kata Biru.
“Aku bakal bilang kalau aku sama kok kayak Papa. Aku juga suka laki-laki,” timpalnya. “Tapi aku gak akan ngulangin kesalahan yang pernah Papa lakuin dulu.”
“Aku mau nunjukin orang yang aku cintai ke seisi dunia, bukan malah bersembunyi terus bikin orang lain tersakiti kayak Mama.”
Biru menghela napas panjang.
“Sekarang, dada aku rasanya ringaaan banget.” Biru tertawa kecil meski matanya telah ikut berkaca-kaca, sebab Jeva tiba-tiba menunduk dengan bahunya yang bergetar. Jelas jika Jeva sedang menahan isak tangisnya.
“Pas Ayahnya Kak Maudy bilang kalau aku udah sembuh, makin banyak impian yang pengen aku raih. Dan kamu tau nggak nama yang ada di antara impian itu?”
Biru menarik napasnya, “Nama kamu. Aku selalu mikirin kamu.”
“Aku pengen ngeraih impian aku bareng kamu, Jev.” timpal Biru.
Pada detik itu juga tangis Jeva lantas pecah. Dengan sigap Jeva menarik Biru ke dalam pelukan hangatnya. Dia mendekap Biru sambil memejamkan matanya yang telah dibanjiri air mata.
Biru pun melakukan hal serupa. Dia membalas pelukan Jeva tak kalah erat. Meski sebelumnya Biru bertekad untuk tidak ikut menangis, namun pertahanan Biru runtuh. Isakan pilu Jeva sukses membuatnya ikut terisak.
“Makasih ya, Bi.”
“Makasih udah ngizinin aku ada di sisi kamu sampai kamu udah sembuh kayak sekarang,” ucap Jeva. “Aku bahagia banget, Bi.”
Biru terkekeh pelan, “Kalau kamu bahagia, udah dong nangisnya…”
“Aku jadi ikutan nangis nih,” kata Biru lalu mendorong pelan tubuh Jeva. Dia lalu beralih membingkai wajah Jeva sambil mengusap jejak air mata di pipi pacarnya itu.
“Cengeng,” ledek Biru.
“Aku nangis bahagia, Bi.”
Biru tersenyum, “Iya, aku tau.”
Kedua tangan Biru yang semula bertengger di pipi Jeva kemudian berpindah ke tengkuk pacarnya itu. Dia mengalungkan lengan di sana, sedang tangan Jeva sendiri mencengkeram pinggang Biru.
Dua pasang mata yang masih memerah itu pun saling beradu pandang dalam diam beberapa saat. Seolah frasa tak lagi ada gunanya, Jeva dan Biru hanya saling bertukar tatapan lamat.
Sampai ketika Jeva perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Biru, pujaan hatinya itu refleks memejamkan mata. Namun, Biru yang semula berpikir bahwa Jeva akan memagut celah ranumnya lantas dibuat tersenyum. Sebab, Jeva justru mengecup keningnya.
“Kenapa gak di bibir?” tanya Biru kala Jeva kembali menatapnya.
“Cium bibirnya aku kasih kalau kamu udah ngasih tau maksud kata ‘Marry’ yang kamu bilang semalem,” Jeva mencubit dagu Biru dengan tampang tengil.
Biru mendengus sambil menahan senyum. “Kamu tau maksud aku.”
“Tapi aku pengen denger dari kamu,” sela Jeva. “Maksudnya kamu mau nikah sama aku?”
Menahan senyumnya, Biru lantas mencuri kecupan di bibir penuh Jeva sebelum buru-buru turun dari ranjang. Biru kemudian lari keluar dari kamar Jeva sambil berkata, “Aku tunggu di bawah!”
Jeva sendiri refleks menjatuhkan tubuhnya di atas kasur sebelum menggulingkan tubuhnya seperti cacing yang meliuk-liuk girang.