Hari yang telah lama dinantikan Evan juga Gala akhirnya tiba. Keduanya melangsungkan akad tepat pada sore hari dan dihadiri oleh sanak saudara. Rasa bahagia hingga haru yang juga diselingi cucuran air mata lantas tidak bisa bersembunyi dari mereka.
Taman belakang kediaman keluarga Wicaksana—yang telah disulap menjadi garden party pun menjadi saksi bagaimana dua insan itu mengikrarkan janji. Persis seperti yang direncanakan Evan juga Gala selama ini.
Setelah rangkaian acara akad usai, Evan dan Gala kemudian diarahkan untuk beristirahat sejenak. Sebab malam nanti mereka akan kembali ke tempat yang sama guna melangsungkan acara resepsi; dimana para tamu undangan akan datang.
“Van, kamu sama Gala berdiri di sini dulu dong. Mba mau fotoin kalian,” kata Kayana.
Evan dan Gala lantas menurut. Keduanya mengambil pose tepat di depan Kayana juga Alisha yang tak mau ketinggalan.
“Nice,” puji Kayana, “Ya udah, ayo. Mba anterin ke kamar.”
Evan, Gala, Kayana dan Alisha pun kembali melanjutkan langkah mereka yang sempat tertunda; untuk mengambil foto. Hingga akhirnya mereka memasuki rumah dan sampai tepat di depan kamar Evan yang juga menjadi kamar bagi mempelai untuk beristirahat sebelum berganti baju lagi.
“Kalo kalian butuh sesuatu, telpon aku atau Alisha ya.”
Evan senyum tipis.
“Mba Yana sama Alisha udah bantu banyak dari tadi. Istirahat juga gih,” katanya.
“Iya. Gak usah mikirin aku sama Mas Evan, Mba.” timpal Gala, “Kita bisa ngurus diri sendiri kok. Mba Yana sama Alisha juga istirahat ya.”
“Ga boleh gitu. Hari ini Mas Evan sama Mas Gala musti jadi raja,” ucap Alisha.
“Bener. Hari ini milik kalian berdua pokoknya,” lanjut Kayana, “Udah, kalian masuk gih. Entar Mba ke sini lagi ya kalo kalian udah waktunya ganti baju terus siap-siap.”
Evan dan Gala pun serentak mengangguk. Selepas Alisha dan Kayana pergi, keduanya kemudian masuk ke kamar lalu duduk di atas ranjang.
“Dek, Mas bantuin buka jas kamu ya?” Evan meminta persetujuan, seperti biasa.
Gala hanya bergumam pelan sembari menahan senyum. Membiarkan Evan melepas jas yang dipakainya sebelum suaminya itu bangkit lalu menanggalkan jas mereka.
Selagi sang suami berjalan kembali ke arahnya, Gala lantas membuka dua kancing teratas kemeja putihnya.
Evan pun natap dia lalu bertanya, “Suhu AC nya mau diturunin dikit, dek?”
“Gak usah. Gini aja.”
“Kamu keringetan banget,” kata Evan lalu ngusap peluh di kening dan pelipis Gala.
“Mm,” Gala lalu mendesis sembari menyisir rambut dengan jarinya, “Kok rambut aku jadi rada kaku gini ya?”
“Padahal kata Mbanya tadi, hair color spray nya gak bikin kering sama kaku,” tuturnya.
Evan geleng-geleng kepala.
“Lagian. Segala pake hair color spray gitu. Udah bagus warna rambut asli kamu, dek.”
“Mas gak suka rambut aku kek gini?”
“Dek... Mau rambut kamu diwarnain kek, enggak kek, bahkan kalo kamu botak sekalipun Mas tetep suka.”
Gala berdecih lalu menonjok pelan bahu Evan. Sementara yang lebih tua tertawa ringan sebelum kembali bersuara.
“Mas cuma gak pengen kamu tersiksa, sayang.”
“Dari tadi Mas perhatiin loh. Kamu dikit-dikit megang rambut. Keliatan banget kalo gak nyaman,” lanjut Evan.
“Padahal aku ngecat rambut jadi abu-abu gini buat Mas Evan tau,” Gala menjatuhkan pundak. Sementara Evan mengangkat alisnya heran.
“Dulu Mas Evan pernah bilang, cowok yang ngecat rambutnya pake warna abu-abu gelap keliatan keren.”
“Jadi ya udah, aku minta Mba hair stylish tadi buat—”
Belum sempat Gala menuntaskan ucapannya, Evan sudah lebih dahulu membingkai wajahnya. Mencium pipi kiri dan kanannya bergantian bahkan sampai mengulumnya gemas.
“Mas... Udah... Geli...”
Gala bergumam lalu terkekeh sambil mencengkeram pundak suaminya.
“Mas suka semua tentang kamu,” kata Evan, “Jadi mau gimana pun penampilan kamu, mata Mas bakal tetap tertuju ke kamu doang, dek.”
“Jadi jangan pernah nyiksa diri kamu sendiri cuma buat nyenengin Mas. Ya?” jelasnya.
“Do what makes you happy,” timpal Evan, “Karena bahagia kamu itu bahagia Mas juga.”
Senyum di bibir tipis Gala tidak bisa lagi bersembunyi. Sesaat setelahnya, dia pun mencondongkan badan lalu mengecup pipi kiri Evan.
Gala lalu menggenggam jemari Evan, “Mas tau gak? Sebelum ketemu Mas Evan, aku selalu ngerasa sedih tiap kali mikirin mendiang Ayah.”
“Bukan berarti aku gak menghargai kehadiran Bunda, tapi terkadang aku pun butuh sandaran, pelukan juga support dari pria yang bisa menjaga dan mengayomi aku.”
Gala menunduk.
“Gak sekali dua kali aku ngerasa iri tiap liat orang lain bisa jalan sama Ayah mereka, makan bareng, cerita-cerita tentang hal yang mereka alami seharian. Aku juga pengen ngerasain itu.”
“Sampai akhirnya kamu datang di hidup aku, Mas. Kamu ngasih aku semua itu. Kamu bikin aku ngerasa punya sosok yang menjaga dan menyayangi aku gak cuma seperti seorang kakak, tapi juga Ayah.”
Gala kembali natap Evan, “Bahagia aku itu kamu, Mas.”
Evan senyum. Dia kemudian melepas genggaman jemari Gala dan beralih mendekap erat tubuh pujaan hatinya itu.
“Sedih itu manusiawi, dek. Kamu berhak sedih. Kamu boleh banget kok bersedih.”
“Tapi jangan sampe kamu larut dalam kesedihan yang mendalam terus bikin kamu lupa kalo selama ini ada Bunda yang berusaha jadi sosok Ibu sekaligus Ayah ya?”
“Bunda udah mendidik kamu sampai tumbuh jadi Gala yang aku kenal sekarang. Gala yang pinter, baik, lucu, penyayang.”
“Jadi kamu gak perlu lagi iri sama orang lain. Kamu punya Bunda yang hebat—belum tentu orang lain juga punya.”
“Sekarang kamu juga udah punya Mas,” sambungnya.
Evan melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Gala.
“Mas ada di sini buat jadi sandaran dan tempat ternyaman kamu untuk pulang.”
Gala mengangguk paham, “Makasih ya, Mas Evan.”
“Iya, sayang.”
Evan mengacak pelan rambut abu gelap Gala, “Terus ini rambut kamu gimana, dek?”
“Entar aku keramas, Mas. Warnanya cepet ilang kok.”
“Pake air dingin apa anget?”
“Pake air anget, Mas.”
“Mau Mas siapin sekarang?”
“Gak usah, Mas. Biar aku aja entar. Sekarang aku mau istirahatin kaki dulu nih.”
Evan senyum tipis sambil nyubit pipi yang lebih muda.
“Capek ya?”
“Mm, dikit. Kek... Capek aku sejak ngurus persiapan nikahan kemarin-kemarin tuh baru kerasa sekarang, Mas.”
“Mas juga gitu,” Evan terkekeh, “Gimana entar malem pas resepsi udah beres ya, dek? Pasti capeknya lebih berasa lagi.”
“Bener,” Gala menyetujui.
“Pokoknya abis resepsi nanti kita puas-puasin tidur,” tutur Evan, “Udah lega juga, gak ada yang bikin deg-degan lagi tiap malem.”
“Udah gak overthinking lagi acaranya bakal lancar apa enggak ya, Mas?”
“Iya, dek. Hhh.”
Evan terkekeh sebelum meraih keranjang kecil dari atas nakas. Berbagai macam camilan hingga cokelat ada di sana sebagai isinya.
“Nih, kamu ngemil dulu. Ada choco pie kesukaan kamu.”
“Aku bisa ngambil sendiri padahal,” Gala senyum.
“Kan kata Alisha—hari ini kita berdua musti jadi raja.” Evan ikut senyum, “Jadi kamu juga raja bagi aku sekarang, dek.”
“Hhh, ada-ada aja.”