Tiga bulan sudah usia pernikahan Evan dan Gala. Masih seumur jagung memang, namun keduanya telah banyak belajar dan memahami arti tentang perbedaan satu sama lain. Pun mengenai tanggung jawab mereka sebagai sepasang suami.

Seperti yang telah mereka diskusikan jauh sebelum melangsungkan acara pernikahan, Evan akhirnya pindah dan ikut tinggal di rumah Bunda. Sebab Gala tidak bisa meninggalkannya hanya bersama si Mbak.

Dan semuanya pun lantas berjalan dengan semestinya.

Kecuali satu hal...

“Mas, aku kan udah bilang kalo abis pake handuk tuh jangan lupa digantung.”

Masih pagi, tapi Gala udah ngomel-ngomel. Sementara Evan yang emang suka ngeliat wajah kesel Gala lantas gak bisa menahan tawanya.

“Kalo dikasih tau dengerin,” kata Gala, “Aku lagi marah, Mas. Kamu ngerti gak sih?”

Evan yang udah selesai dengan agendanya—ngancingin kemeja di depan lemari pakaian pun nyamperin Gala. Dia kemudian meluk pujaan hatinya itu sebelum ngecup pipi kiri dan kanan yang lebih muda bergantian.

“Iya, abis ini Mas gantung handuknya.”

Gala mendengus pelan. Tanpa mengatakan apa-apa, dia lantas berbalik. Meninggalkan suaminya di kamar sendiri.

Evan pun hanya terkekeh maklum. Kepribadian Gala yang amat menyukai segala sesuatu yang tertata rapih membuatnya harus beradaptasi. Tapi Evan juga selalu menikmati ketika pujaan hatinya itu kesal sendiri. Baginya Gala sangat lucu dan menggemaskan.

Setelah selesai menggantung handuknya, Evan lalu turun ke lantai dasar rumah. Melenggang ke ruang makan hingga mendapati Bunda telah duduk di salah satu kursi.

“Pagi, Bunda.”

“Pagi, nak. Nyenyak semalem tidurnya?” tanya Bunda

“Nyenyak kok, Nda. Bunda gimana?” balas Evan.

“Semalem kaki Bunda pegel-pegel. Jadi tidurnya rada gak enak gitu loh, Van.”

“Loh, terus kenapa Bunda gak bilang sama aku atau Gala?”

Bunda tertawa ringan, “Kalian berdua juga capek. Seminggu terakhir lembur mulu.”

“Lagian Bunda juga udah biasa pegel-pegel gini. Faktor usia kali ya?” katanya.

Evan geleng-geleng kepala.

“Lain kali kalo Bunda ngerasa gak enak badan atau pegel kek semalem, bilang ya?”

“Iya, Van.” Bunda senyum tipis, “Duduk gih, temenin Bunda sarapan.”

“Gala mana, Nda?”

“Masih di dapur, kayaknya nyiapin bekel buat kalian.”

“Kalo gitu Evan samperin Gala bentar ya, Nda? Sekalian manggil dia sarapan juga.”

“Sip.”

Evan pun melenggang ke arah dapur. Hingga akhirnya dia mendapati Gala lagi berdiri di depan pantri. Alhasil, Evan lantas memeluk pinggangnya dari belakang. Gak lupa juga mengecupi pundak Gala.

“Menu hari ini apa, sayang?”

“Tadi aku bikin chicken katsu sama salad kesukaan Mas Evan,” jawab Gala, “Kenapa gak sarapan? Bunda udah ada di meja makan kan?”

“Mhm.”

Evan kemudian melepaskan dekapannya, sebab Gala ingin berbalik hingga kini mereka berdiri saling berhadapan.

“Mas nungguin kamu,” Evan melanjutkan, “Udah beres bekelnya?”

“Udah kok. Ayo.”

Gala hendak beranjak dari dapur, tapi Evan tiba-tiba menahan lengannya.

“Apa?” tanyanya heran.

“Kamu belum nyium Mas pagi ini,” Evan menutup matanya.

Gala senyum simpul. Dia kemudian mengalungkan lengan di tengkuk Evan sebelum menciumi bibirnya.

Setelahnya, Gala kembali natap wajah suaminya. Sementara Evan memeluk erat pinggangnya.

“Dek, besok kan weekend ya?”

“Mm. Kenapa, Mas?”

“Mas boleh gak request menu spesial buat sarapan besok?”

“Boleh, apa emangnya?”

Evan mengulum bibir bawahnya sejenak.

“Mas pengen es krim.”

Gala seketika natap suaminya dengan tampang datar, “Mas pengen batuk?”

“Enggak,” Evan terkekeh.

“Mas pengen es krim yang lain,” katanya lalu menurunkan pandangan ke arah pusat ereksi Gala.

Paham dengan tatapan suaminya, Gala lantas menahan senyum. Ia kemudian menepuk pelan dada Evan lalu berkata.

“Masih pagi, Mas.”

“Mas kangen kamu,” bisik Evan di samping telinga Gala.

Lelaki yang lebih muda pun ikut mendekatkan bibirnya di samping telinga sang suami.

“Aku juga kangen kamu, Mas.”

Bisikan Gala membuat Evan seketika memeluk erat tubuh pujaan hatinya. Seolah ingin melampiaskan rasa rindunya, sebab beberapa terakhir mereka bahkan tidak pernah saling mencumbu akibat kelelahan karena pekerjaan.

“Ya udah, kita sarapan dulu. Kasian Bunda nunggu,” kata Evan lalu mengecup puncak kepala yang lebih muda.

Keduanya kemudian kembali ke meja makan. Menghampiri Bunda, sebelum akhirnya memulai sarapan bersama seperti biasa dengan damai.