Dua anak manusia yang tengah berbagi ciuman penuh gairah dan diselingi dengan permainan lidah lantas berbagi tatapan mesra di sela-sela pagutan nya. Aksa kemudian mencengkeram kuat lengan suaminya saat merasakan bahwa udara yang hendak ia hirup semakin menipis. Membuatnya kesulitan bernapas.
Dikara yang masih setia mengungkung tubuh Aksa pun segera menyadari hal itu. Alhasil ia beralih memberikan kecupan, gigitan hingga hisapan kecil pada ceruk leher tambatan hatinya.
“Ka... Hhh...”
Aksa bergumam lirih diikuti rintihan pasrah saat bibir Dikara menyentuh satu lagi titik sensitifnya. Suaminya itu meraup putingnya bergantian, memanjakannya dengan lidah sembari mengusap perut ratanya dengan satu tangan.
Saat bibir Dikara beralih menjamah perutnya, Aksa refleks mengulum bibir rapat-rapat. Ia mati-matian menahan erangan sensualnya agar tak terbebas begitu saja. Sebab suaminya itu mendaratkan kecupan bertubi-tubi di sana sebelum menyentuh dermis nya dengan lidah pada spot yang sama. Menimbulkan sensasi geli juga sengatan-sengatan kecil bagai aliran listrik yang baru kali ini dirasakannya.
Dikara kemudian mendongak. Menatap wajah Aksa sejenak seraya tersenyum tipis. Sesaat setelahnya ia pun kembali memerhatikan lekukan tubuh sang pujaan hati. Sementara tangannya perlahan menyibak bathrobe yang masih menutupi sebagian paha dan daerah intim Aksa.
Sayangnya, hanya berselang beberapa detik setelah Dikara akhirnya bisa menyaksikan bagaimana area kejantanan Aksa hanya ditutupi dengan celana dalam, ia justru nyaris tertawa. Pasalnya, tambatan hatinya itu buru-buru menutupinya dengan dua tangan.
“Matiin lampunya dulu,” kata Aksa.
“Lampu utama?”
“Semuanya.”
“Ih, kok semuanya?”
Dikara tertawa kecil lalu kembali menyejajarkan wajahnya dengan Aksa, “Entar aku gak bisa ngeliat kamu, Sa. Kalau aku salah masukin punya aku gimana?”
“Mana bisa salah masuk sih, anjing? Lubang aku cuma satu,” tutur Aksa diikuti tawa ringan.
“Iya, satu. Tapi kalo masukin nya gak bener terus sakit banget gimana?”
“Ka, jangan nakut-nakutin aku ih!”
“Kamu masih takut banget?”
“Gak juga, tapi...”
“Tapi?”
“Aku malu, bego.” gumam Aksa sebelum menghindari tatapan Dikara.
“Aku juga malu tau, Sa.”
Aksa refleks melirik Dikara, “Serius?”
“Mm,” Dikara terkekeh, “Apa orang lain gini juga ya pas malam pertama?”
“Kita doang kayaknya,” Aksa ikut terkekeh.
“Gak apa-apa. Sama-sama malu kayaknya lebih romantis.”
“Idih?”
Keduanya pun kembali tersenyum, bertukar tatapan mesra sebelum berbagi ciuman penuh afeksi dan gairah seperti sebelumnya. Suara kecipak saliva lantas menjadi pengiring atmosfer di dalam kamar yang perlahan memanas. Terlebih saat Aksa mengerang gelisah di tengah pagutannya. Sebab satu tangan Dikara—dengan tanpa permisi memijat batang kemaluannya yang masih terbungkus celana di bawah sana.
Tautan bibir pasangan suami itu kemudian terlepas saat Dikara perlahan menegakkan badannya. Ia melepas baju kaos yang melekat di tubuhnya sejenak sebelum kembali membungkuk, menciumi bibir Aksa yang semakin memerah dan basah.
“Mmh... Ka...”
Aksa lagi-lagi dibuat merintih sensual saat Dikara saling menggesekkan kejantanan mereka di bawah sana. Sementara suaminya itu beralih menjamah ceruk lehernya.
Tubuh Aksa pun bergerak kian gelisah akibat sensasi memabukkan yang dirasakannya. Membuat refleksnya menuntun jemarinya agar mencengkeram helaian rambut hitam Dikara.
“Ka! Sa! Kalian udah bobo?”
Baik itu Aksa mau pun Dikara lantas tersentak saat suara teriakan Mama terdengar dari arah luar kamar. Aksa kemudian nyaris tertawa lepas saat Dikara buru-buru menyejajarkan wajah mereka dengan bola mata yang nyaris keluar dari tempat semestinya.
“Mampus, Sa.” gumam Dikara, “Masa aku nyamperin Mama kek gini?”
Dikara lalu menurunkan pandangan ke arah celananya. Dimana kejantanannya di dalam sana telah menegang.
“Jawab aja. Buru.”
Mengangguk pelan, Dikara kemudian memekik, “Belum, Ma!”
“Kalian gak mau ikut makan dimsum?” balas Mama dari luar kamar.
“Gak apa-apa, Ma! Buat Mama aja. Dika sama Aksa udah kenyang!”
“Oke!”
Dikara refleks menghela napas panjang saat mendengar respon terakhir Mama. Ia kemudian menatap Aksa yang berusaha meredam tawa hingga tubuhnya bergetar.
“Kamu ya, bukannya ikutan panik malah ngetawain aku.”
“Abisnya, muka kamu lucu.”
Dikara menggeleng lalu menggigit pelan kedua pipi Aksa bergantian. Setelahnya, ia bangkit dan turun dari ranjang. Membuat saat pujaan hati mengangkat alisnya heran.
“Mau ke mana?”
“Ngambil lubricant sama kondom dulu, Sa.” jawab Dikara.
Aksa bergumam paham sembari memperhatikan suaminya berjalan ke meja rias. Pandangannya pun seketika terkunci. Entah magnet apa yang memikat Aksa hingga matanya tak henti-henti tertuju pada Dikara.
Padahal Aksa telah terbiasa melihat suaminya itu tak memakai baju; khususnya saat baru keluar dari kamar mandi. Tapi Dikara yang saat ini sedang mengambil lubricant juga kondom dengan raut wajah seriusnya justru terlihat lebih tampan dari sebelum-sebelumnya.
Aneh, pikir Aksa.
“Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?”
Aksa berdeham, “Enggak.”
Dikara tersenyum. Ia pun kembali mendekat ke arah tempat tidur dengan lubcricant dan satu bungkus kondom di tangan.
“Lampu utamanya mau dimatiin gak?” tanyanya, “Kalau iya, aku nyalain lampu tidur dulu.”
“Gak usah,” jawab Aksa.
Dikara micingin mata diikuti senyum usil, “Tuh kan. Kamu pasti masih penasaran sama Dikara kecil.”
“Gue tinggal tidur juga lu lama-lama, Ka.”
“Hahaha! Ampun, Sa.”
Atensi Dikara begitu pun dengan Aksa yang kini sedang berpadu dalam mesra lantas teralihkan. Pasalnya handphone Aksa tiba-tiba berdenting; hingga berkali-kali.
“Chat dari siapa?” tanya Dikara saat Aksa meraih dan menatap layar handphonenya.
“Olivia.”