Dikara yang baru keluar dari kamar mandi—hanya dengan celana piyama dan badannya yang gak ditutupi baju refleks menyunggingkan senyum. Sementara Aksa yang sedang duduk di depan meja rias pura-pura tidak menggubris.
Tapi pertahanan Aksa itu nyaris runtuh kala Dikara tiba-tiba menghampirinya, mengecup puncak kepalanya sebelum berbisik,
“Kamu udah cantik, Sa.”
Aksa pun mengulum bibir rapat-rapat untuk menyembunyikan senyumnya. Sementara Dikara beralih duduk di tepi ranjang, masih dengan matanya yang tertuju ke Aksa.
Diam-diam Aksa sedang mengumpulkan keberaniannya. Terlebih, dia sendiri lah yang merencanakan semua ini sedari awal. Meskipun nyatanya kejutan yang ia rencanakan harus gagal.
Aksa kemudian berdiri, menghampiri Dikara di tepi ranjang. Dan tanpa didikte, Aksa lantas duduk di atas paha suaminya. Sementara kedua lengannya memeluk tengkuk Dikara.
Dalam hitungan detik, kedua anak manusia itu pun berbagi ciuman mesra penuh gairah. Dikara lantas memeluk erat pinggang Aksa, jaga-jaga supaya pujaan hatinya itu tidak jatuh dari pangkuannya.
Cukup puas saling memagut bibir satu sama lain, ciuman Aksa pun beralih ke dada suaminya. Tidak lupa pula mengabsen kedua puting Dikara. Perlahan, Aksa turun dari pangkuan sang suami sembari sedikit membungkuk.
Ciumannya itu pun terus berlanjut hingga berakhir di perut bagian bawah suaminya. Aksa kemudian menuntun Dikara untuk mengangkat bokongnya agar lebih mudah baginya melepas celana piyama hingga dalaman suaminya.
Dikara yang kini telah telanjang bulat seketika mengulum bibir kala melihat Aksa berjongkok di hadapannya. Tambatan hatinya itu menggenggam kejantanannya dan perlahan memijatnya dengan tempo yang berangsur cepat.
Erangan pelan pun terbebas dari celah bibir Dikara saat batang kelaminnya dilahap habis hingga dihisap dengan kuat oleh Aksa. Jemarinya kemudian refleks menjambak helaian rambut Aksa hingga pujaan hatinya itu ikut mengerang di bawah sana.
Merasa puas dengan bagaimana Aksa memanjakannya, Dikara pun menuntun tambatan hatinya itu agar kembali menciumi bibirnya. Setelahnya, ia lantas menuntun Aksa agar duduk di atas ranjang.
Tanpa membuang waktu, Aksa seketika menurut. Ia menggigit bibir bawahnya pasrah saat Dikara berusaha melepas baju kaos kebesarannya.
Ketika pakaian yang menutupi tubuh Aksa itu terlepas, Dikara beralih melepas dalaman pujaan hatinya. Membuat keduanya kini sama-sama telah polos, tanpa sehelai benang menutupi tubuh mereka.
“Aku ambil kondom sama lubricant dulu ya,” bisik Dikara.
“Udah aku siapin,” balas Aksa, “Ada di samping bantal kamu.”
Dikara terkekeh, “Kamu bener-bener nyiapin ini buat hadiah utama aku ya?”
“Iya, tadinya aku pengen ngasih tau pake cara yang romantis. Tapi kamu malah pulang gak bilang-bilang. Jadi rencana aku gagal.”
Kecupan ringan dari Dikara seketika mendarat di bibir dan kedua pipi Aksa. Setelahnya, Dikara lantas meraih kondom, memasangkan pengaman itu pada kelaminnya lalu membuka lubricant.
Aksa yang telah paham bahwa sebentar lagi suaminya itu akan melakukan pemanasan pada analnya lantas melebarkan kaki. Kedua tangannya ia gunakan sebagai tumpuan di belakang tubuhnya agar ia tetap setengah terduduk.
“Ah—mmh!”
Bibir Aksa kembali dibungkam dengan ciuman saat Dikara memulai Aksinya. Bahkan kini suaminya itu beralih duduk di belakangnya guna membantu menahan tubuhnya. Membuat Aksa harus mendongak, bersandar pada dada Dikara sembari membalas lumatan penuh gairahnya. Sementara jemari Dikara tetap sibuk merenggangkan lubangnya di bawah sana.
Setelah semua sesi foreplay sepasang suami itu usai, Aksa lantas mengambil alih. Ia memposisikan diri di atas selangkangan Dikara sembari menggenggam kejantanan suaminya. Memasukkannya secara perlahan ke analnya sebelum duduk di pangkuan Dikara—dengan posisi dimana tubuh mereka saling berhadap-hadapan.
Sejenak Aksa membiarkan analnya terbiasa dengan batang kelamin Dikara yang baru saja memasukinya. Hingga tak lama berselang, ia pun menggerakkan bokong ke atas dan ke bawah. Sementara kedua lengannya memeluk tengkuk Dikara. Sesekali kedua anak manusia itu berbagi ciuman di sela-sela rintihan sensualnya.
Tidak cukup puas dengan posisi yang sama, Dikara kemudian menuntun Aksa agar berbaring. Kedua kaki tambatan hatinya itu telah beralih melingkari pinggangnya, sementara pinggul Dikara tak henti bergerak—guna menggempur lubang Aksa yang menjepit batang kelaminnya.
“Ah... Dika...”
Aksa meracau saat merasakan ujung kejantanan Dikara menyentuh titik terdalam dirinya. Ditambah lagi dengan gerakan pinggul suaminya yang kian cepat.
“Enak?” bisik Dikara.
Aksa mengangguk pelan, “Mhm. Enak banget.”
Senyum bangga tercetak jelas di bibir Dikara setelah mendengar penuturan Aksa. Namun bukannya melanjutkan aksinya, ia justru mengeluarkan kejantanannya dari lubang Aksa.
Aksa pun hanya menurut saat Dikara menepuk keras pahanya, menarik kakinya hingga ia berada di tepi ranjang dengan posisi dimana tubuhnya masih mendarat di permukaan tempat tidur sementara kedua kakinya telah menyentuh lantai.
Dikara lalu menuntunnya agar berbaring tengkurap. Hingga tak lama berselang, suaminya itu kembali membuat lubangnya terasa penuh dengan kejantanannya.
Aksa kembali berdesah saat Dikara menggempur analnya dengan cepat dari belakang. Kenikmatan yang ia rasakan pun membuat hasrat berahi nya nyaris berada di puncak.
Namun seolah tak membiarkan Aksa sampai pada pelepasannya terlebih dahulu, Dikara lantas menuntun suaminya itu agar bangkit. Ia dan Aksa sama-sama telah berdiri di depan meja rias dengan napas memburu. Bahkan kedua tangan Aksa telah bertumpu pada meja di depannya itu.
Dikara yang berdiri di belakang Aksa kemudian kembali menggempur lubang tambatan hatinya. Satu tangannya menahan pinggang Aksa, sedangkan yang satunya lagi menggenggam kejantanan sang suami.
Rintihan demi rintihan penuh gairah pun mengalun indah dari celah bibir Aksa. Meski sebenarnya ia sedikit malu saat menatap cermin dan mendapati Dikara tengah tersenyum puas melihat kepasrahannya, namun ia pun tidak bisa berbohong jika sensasi yang dirasakannya saat ini jauh lebih nikmat.
“Ka... Lepasin...”
“Apanya, sayang?”
“Tangan kamu. Aku mau—ah!”
Dikara sialan, batin Aksa. Sebab baru saja ia ingin memijat batang kemaluannya sendiri—yang sedari tadi ditutup lubang pipisnya oleh Dikara, namun kini suaminya itu menarik kedua tangannya ke belakang tanpa menghentikan gerakannya.
Pelepasan Aksa benar-benar segera datang dan ia justru diusili oleh suaminya sendiri.
“Gak mau dibantu sama tangan aku?” bisik Dikara.
Aksa mendesis, “Anjing.”
“Hhh, gemes.”
Dikara yang melihat wajah Aksa telah memerah lantas melepaskan satu tangan tambatan hatinya itu. Ia pun beralih memeluk pinggang Aksa dan menuntun punggung Aksa agar bersandar pada dadanya. Bersamaan dengan pergerakannya yang ia hentikan sejenak guna membiarkan Aksa menikmati pelepasannya.
“Kaki kamu gemeteran, Sa.” gumam Dikara, “Kamu capek?”
Aksa yang masih mengatur deru napasnya menggeleng. Sedangkan Dikara yang melihat hal itu seketika tersenyum simpul sebelum menggendong Aksa naik hingga berbaring terlentang di atas ranjang.
“Kamu bobo aja dulu. Entar aku bangunin kamu lagi buat mandi.”
Aksa menautkan alis, “Apa-apaan sih? Kamu belum—”
“Gak apa-apa. Aku gak mau kamu kecapean,” Dikara memotong ucapan Aksa.
“Tadi aku mainnya kasar banget kayaknya,” kata Dikara lalu mengecup bibir Aksa sekilas, “Maaf ya, sayang.”
Menghela napas pelan, Aksa kemudian menarik tengkuk suaminya. Ia menciumi bibir Dikara dan mengambil kesempatan itu untuk mendorong tubuh Dikara, membuat suaminya ikut berbaring terlentang di sampingnya.
Dalam sekejap mata Aksa lantas telah bangkit dan duduk di atas perut suaminya. Perlahan ia menggenggam kejantanan Dikara dan bersiap-siap memasukannya ke analnya.
“Sa—”
“Aku gak capek.”
Aksa akhirnya menenggelamkan seluruh batang kelamin Dikara ke dalam lubangnya.
“Jangan berhenti, Ka.”
Dikara hanya bisa pasrah saat Aksa mulai bergerak di atasnya. Sesekali membungkuk dan menciumi bibirnya sebelum kembali merintih hingga mengerang sensual.
Saat merasa bahwa pelepasannya pun segera tiba, Dikara lantas menahan pinggang Aksa. Ia mengambil alih, menggerakkan pinggulnya di bawah sana dengan cepat hingga tak lama berselang ia pun sampai pada puncak tertinggi kenikmatannya.
“Sayang.”
Dikara berbisik di samping telinga Aksa yang telah terkulai di atas tubuhnya.
“Mm?” balas Aksa.
“Makasih ya,” Dikara mengecup puncak kepala suaminya.
Aksa mengangguk kecil sebelum menggulingkan tubuhnya ke samping. Membuat tautan di titik penyatuannya bersama Dikara tadi terlepas.
“Peluk,” gumamnya.
Dikara terkekeh sebelum menuruti permintaan pujaan hatinya. Ia menarik selimut sebatas pinggang mereka lalu memeluk erat tubuh Aksa.
“Ka.”
“Iya, sayang?”
“Aku pengen deh jalan-jalan ke taman besok pagi.”
“Emang kamu bisa jalan?”
Aksa mencebik, “Ish!”
Dikara tertawa kecil, “Hari Minggu aja gimana? Besok di rumah dulu, istirahat.”
“Kaki kamu aja masih gemeteran nih. Enak banget ya tadi? Sampe lemes gini.”
“Mm, enak banget sampe aku pengen nampol kamu.”
“Hahaha.”
Keduanya pun saling berbagi tatapan mesra. Sementara jemari Dikara beralih membelai lembut pipi Aksa.
“Aneh banget deh. Kok aku bisa jatuh cinta lagi?”
“Maksud kamu?” Aksa micingin mata.
“Maksudnya kok aku bisa ya jatuh cinta lagi sama orang yang sama tiap harinya?”
“Kamu tuh selalu punya cara yang bikin aku jatuh cinta lagi sama kamu tau gak?”
“Mulai,” Aksa mengulum senyum.
“Aku ngomong serius loh.”
“Iya, iya. Aku percaya,” Aksa terkekeh, “Makasih ya, Ka.”
“Makasih karena udah cinta sama aku sampai detik ini.”
Dikara senyum, “Detik ini dan seterusnya.”
“Bahkan kalo aku bisa milih buat terlahir kembali, aku pengen jatuh cinta lagi sama orang yang sama. Cuma kamu,” tuturnya.
“Aku juga cuma mau sama kamu.”
Aksa mengusap pipi suaminya, “Kayaknya gak bakal ada deh pria se-sabar kamu yang sanggup ngadepin aku.”
“Tetep di samping aku sampai kita menua bareng ya, Ka?”
“Kamu juga ya, Sa. Tetep jadi Aksanya Dikara sampai maut yang misahin kita berdua.”
“Bentar, kok jadi mellow gini ih? Air mata aku hampir netes,” Dikara terkekeh sebelum ngecup puncak kepala Aksa.
“Aku sayang kamu, Aksa.”
“Aku juga sayang kamu, Dikara.”