Bathtub

Arga berjalan masuk ke dalam rumah dengan senyum merekah di bibirnya. Pasalnya, si sulung kembali menyambutnya seperti biasa. Danu berlari ke arah Arga sambil membawa mainan roket pemberiannya dua Minggu lalu.

“Papiii!”

“Pelan-pelan dong, Sayang.” kata Arga lalu berjongkok di depan Danu. “Entar kalau Danu jatuh, gimana? Pasti luka lagi lututnya.”

Danu terkekeh ketika sang Papi mencium lembut pipi kanannya. Setelahnya, Arga lalu kembali menatap wajah Danu sembari mengusap puncak kepala Danu.

“Danu gak nemenin Papa?”

“Gak, Papi. Kata Oma sama Nenek, Papa harus istirahat.”

“Nenek?” Arga mengangkat alis kaget. “Nenek udah dateng ya?”

“Iya, Papi. Nenek bawain Danu kue banyaaak banget,” serunya.

“Terus nenek di mana sekarang?”

“Ada di sofa, Papi. Ayo ikut Danu.”

Arga mengangguk lalu menuruti titah anak sulungnya itu. Danu menarik tangan Arga sambil menuntunnya ke ruang tengah.

Sesampainya di sana, Arga pun refleks tersenyum tipis melihat sang Ibu mertua duduk di sofa. Ibu memangku Raka yang justru nampak anteng, sangat berbeda saat Arga yang ingin melakukan hal serupa. Raka akan menangis.

“Udah dari tadi, Bu?” tanya Arga sambil menyalami sang mertua.

“Baru dua puluh menitan keknya, Nak.” jawab Ibu diikuti senyum.

“Bapak gak ikut?”

“Bapak lagi ada urusan di luar, jadi tadi cuma mampir bentar abis itu pergi lagi.” sahut Ibu.

Arga mengangguk paham.

“Liat si Adek deh, Ga. Kalau sama Neneknya, malah jadi pendiem.” Bu Ririn terkekeh, “Tapi kenapa kalau sama kita jadi rewel ya?”

“Si Adek ngusilin kita, Ma.”

Arga pun hendak mencubit pipi anaknya itu gemas, tapi Bu Ririn lebih dahulu memperingatinya.

“Ga, si Adek jangan disentuh dulu ish! Kamu baru dateng dari luar,” katanya. “Kamu mandi dulu gih.”

“Kenapa Papi gak boleh nyentuh Adek, Oma?” Danu dengan rasa penasaran yang tinggi bertanya.

“Soalnya Papi baru dateng dari kantor, Sayang. Papi belum cuci tangan, belum mandi. Takutnya ada kuman yang ikut di tangan Papi.” jelas Bu Ririn. “Adek kan masih kecil, masih minum susu, belum bisa makan sayur kayak Danu, jadi Adek masih gampang sakit kalau aja ada kuman-kuman jahat yang nempel di tubuhnya.”

“Ooh, gitu ya, Oma?”

“Iya, Sayang.”

Arga, Ibu, juga Bu Ririn tidak bisa menyembunyikan rasa gemasnya ke Danu yang selalu ingin tahu.

“Kalau gitu Arga ke kamar dulu ya, Bu, Ma. Sekalian mau ngecek Deva,” pamit Arga lalu mengacak surai Danu. “Danu main di sini aja ya. Sama Adek, Nenek, Oma.”

“Iya, Papi.”

Mendapat anggukan dari Ibu dan Bu Ririn, Arga lalu melenggang ke arah tangga menuju kamarnya dan Deva. Sampai saat dia telah sampai di depan kamar mereka, Arga memutar kenop pintu itu amat pelan. Arga takut jika saja Deva sedang tidur di dalam sana, lalu harus terbangun karenanya.

Namun jauh dari perkiraan Arga, saat pintu telah terbuka, ia justru mendapati Deva sedang duduk di atas tempat tidur. Si Omega yang semula menyandarkan punggung di badan ranjang pun perlahan menegakkan badan saat melihat Arga datang, menghampirinya.

“Aku pikir kamu lagi tidur,” tutur Arga sesaat setelah ikut duduk di tepi ranjang; di samping Deva.

Persekian sekon berikutnya, atensi Arga beralih ke baju kaos yang Deva genggam. Arga lantas mengenali jika baju itu miliknya.

“Baju aku kenapa, Sayang?” tanya Arga, “Kok dipegang kayak gitu?”

Deva menunduk, “Aku pengen meluk kamu, tapi kamu belum dateng-dateng juga. Jadi aku meluk baju kamu yang ini, Mas.”

Menahan senyumnya, Arga lalu membingkai wajah Deva sebelum mendaratkan kecup demi kecup di sana. Namun, Deva justru tiba-tiba mendorong pelan dadanya. Sontak Arga terkejut dibuatnya.

“Mas, aku belum mandi…”

“Aku bau,” timpal Deva mencicit.

“Gak apa-apa,” Arga menciumi pipi kiri Deva, “Mau kamu bau kek, wangi kek, tetep aku suka.”

Deva terdiam, sementara Arga seketika memerhatikan sorot mata sang Omega yang nampak sedu. Saat itu pula Arga sadar kalau mata Deva sedikit sembab.

“Sayang…”

Arga membelai lembut pipi Deva. “Ada apa, hm? Cerita sama aku.”

“Kamu abis nangis kan?”

Lagi, Deva membisu. Namun, kali ini dia lantas memeluk erat Arga. Deva menenggelamkan wajahnya di pundak sang Alpha, sementara Arga lantas mengusap punggung Omeganya. Saat itu pula tangis Deva tumpah. Ia tersedu-sedu, hingga Arga yang mendengarnya seketika merasakan sensasi di mana dadanya terasa amat ngilu.

“Maafin aku, Mas.”

Deva sesenggukan. Arga yang paham bahwa Deva tak mampu lagi berbicara banyak pun lantas mengusap belakang kepala Deva.

Tanpa sadar, air mata Arga pun ikut menetes. Namun, ia tidak ingin membebaskan isakannya. Arga tak ingin menjadi lemah saat ini, ia harus kuat demi Deva. Alhasil, buru-buru Arga menyeka air matanya sebelum mendongak ‘tuk menahan laju liquid asin itu.

“Gak apa-apa, Sayang. Gak apa-apa,” lirih Arga lalu mengecup pundak Deva. “Aku di sini, Dev.”

Menit demi menit berlalu, tangis Deva yang semula sangat lah pilu perlahan mereda. Menyadari hal itu, si Alpha kemudian bersuara.

“Sayang, kita mandi bareng yuk?” ajak Arga, “Udah lama kita nggak berduaan, mesra-mesraan, kan?”

“Mumpung si Adek juga lagi anteng sama Ibu,” timpalnya.

Mengangguk paham, Deva lalu menarik dirinya dari Arga. Sang Alpha yang telah menatap wajah sembab Deva pun dengan sigap menyeka jejak air mata di sana.

“Ayo, Mas. Aku bantu kamu buka baju dulu.” suara Deva semakin lembut, membuat Arga seolah kembali melihat Deva yang tak sedang mengalami baby blues.

Ada sedikit rasa lega di benak Arga melihat Deva mulai tenang. Dia pun tersenyum tipis sebelum buru-buru mengikuti titah sang Omega. Arga takut setelah ini Deva akan kembali marah kalau ucapannya tidak segera diamini.


Arga dan Deva kini telah sama-sama duduk se-arah di dalam bathtub dengan kondisi tubuh yang tidak lagi ditutupi sehelai benang. Posisi Arga berada di belakang Deva, kaki mereka diluruskan dengan kaki Arga yang menghimpit milik Deva.

Air keran yang mengalir di sisi kanan bathub sendiri pun tidak tertampung. Gunanya agar tak menimbulkan genangan tinggi. Pasalnya, Deva belum dibolehkan untuk berendam karena bekas luka operasi caesarnya yang juga disebut belum sepenuhnya pulih.

Alhasil, Arga lantas membantu Deva dengan mengusapkan air dari keran yang ia tadah dengan tangan ke seluruh tubuh Deva. Arga begitu hati-hati untuk membasuh setiap inci tubuh Deva, terutama di bagian perut.

“Dev,” panggil Arga yang saat ini sedang mengusap sabun di bahu si Omega. “Sebenarnya apa yang lagi kamu pikirin atau rasain sih akhir-akhir ini? Cerita, Sayang.”

“Aku nggak tau, Mas.” jawab Deva lirih. “Aku gak bisa ngejelasin apa yang aku rasain. Aku cuma tiba-tiba gak ada semangat gitu buat ngapa-ngapain lagi, bahkan buat sekedar buka sosmed sekalipun.”

Mood aku beneran berantakan banget, sampai-sampai aku gak bisa nahan emosi aku.” timpalnya lalu menyandarkan punggung di dada Arga yang duduk tepat di belakangnya. “Rasanya jauh lebih parah daripada pas aku lagi heat.”

Deva kemudian mendongak. Ia menatap suaminya sedu, “Maaf ya, Mas. Aku jadi nyusahin kamu.”

Arga menggeleng pelan sebelum sedikit menunduk hingga ia bisa menjangkau bibir Omeganya itu. Arga mengecup lembut celah ranum Deva sesaat lalu berkata.

“Dev, aku gak masalah kalau aku dibuat susah sama kamu. Aku ini suami kamu, i’ll do anything for you. Udah tugas dan tanggung jawab aku kok,” balas sang Alpha.

“Cuman, perubahan sikap kamu akhir-akhir ini bikin aku khawatir banget, Sayang.” jelasnya. “Kata Mama, kamu mungkin ngalamin yang namanya baby blues. Kamu depresi ringan setelah lahiran.”

“Dan kalau dalam dua Minggu belum reda, kondisi kamu ini bisa bahayain diri kamu sama Adek.” lirih Arga, “Aku takut.”

“Aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku gak bisa bayangin kalo kamu ninggalin aku sama anak-anak.”

“Jadi kalau kamu ngerasa kondisi kamu sekarang udah ngeganggu kamu banget, bilang ya? Kita ke Dokter buat konsultasi,” katanya.

Kini giliran Deva yang mengecup ringan bibir penuh Alphanya itu. Setelahnya, ia kembali menatap lamat Arga dengan raut harunya.

“Aku udah agak mendingan kok sekarang, Mas.” ujar Deva. “Aku juga yakin, aku bakal baik-baik aja. Soalnya… Aku punya suami yang hebat banget kayak kamu.”

Arga tersenyum tipis. Dipeluknya tubuh Deva sesaat sebelum Arga melumat lembut celah ranum si Omega. Keduanya sama-sama memejamkan mata, menikmati romansa yang sudah beberapa hari terakhir tak pernah tercipta.

Cukup puas saling berbagi kecup dan cium mesra, Arga dan Deva lantas kembali saling bertatapan. Satu tangan si Alpha kemudian menggenggam kejantanan Deva.

“Ish! Mas Argaaa,” rengek Deva.

“Kenapa? Ini kan aku bersihin,” sela Arga dengan raut usilnya.

“Iya, tapi jangan diremes-remes gini.” decak si Omega. “Kalau aku kepengen gimana? Kan kita baru boleh ngewe dua bulan setelah aku lahiran, Mas. Masih lama.”

Arga terkekeh, “Iya, iya, maaf.”

“Tapi kalau nanti kita udah boleh ngewe lagi, kira-kira enaknya di mana ya?” bisik Arga seduktif.

“Katanya Mas mau ngajak aku camping,” Deva menggenggam jemari Arga di depan perutnya. “Kan bisa sekalian di sana, Mas.”

“Mhm,” Arga menahan senyum. “Aku udah bisa bayangin gimana kamu teriak-teriak di bawah—”

“Mas Arga, ish! Udah ngomong joroknya,” tegur Deva. “Kamu juga mandi sekarang. Aku udah mulai kedinginan nih di sini.”

Arga terkekeh, “Oke, Sayang.”