Argument (2)
Tepat setelah melihat pesan dari Jeva, Biru seketika menyeka air matanya sebelum buru-buru membuka pintu dari bilik toilet. Saat itu pula Biru mendapati Jeva kini telah berdiri di hadapannya.
“Kan aku udah bilang, tungguin aku di ruang Koas aja.” lirih Biru. “Kamu kenapa sih batu mulu?”
Jeva tidak mengatakan apa-apa, tapi dia lantas meraih jemari Biru lalu menggenggamnya. Jeva pun menarik Biru keluar dari toilet menuju pintu ke tangga darurat.
Pasalnya, hanya di sana tempat yang cukup sepi untuk mereka. Sedangkan untuk pergi ke ruang Koas, Jeva rasa hal itu bukan lah pilihan tepat. Sebab itu artinya, dirinya dan Biru harus kembali melewati nurse station dimana tadi Biru mendengar obrolan yang menurut Jeva membuat si pacar merasakan respon trauma.
Sesampainya di dalam sana, Jeva kemudian menuntun Biru untuk duduk di anak tangga. Keduanya duduk bersisian tanpa sedikit pun jarak yang memisahkan.
“Kamu boleh nangis di bahu aku sampai kamu tenang,” tutur Jeva.
Jeva memegang pipi Biru, hendak menuntun pacarnya itu untuk bersandar di bahunya. Namun, Biru meraih tangan pacarnya itu lalu menggenggamnya erat-erat.
“Jev.”
“Apa, Sayang? Hm?” balas Jeva lalu mengecup lembut tangan Biru sejenak. “Aku dengerin, Bi.”
“Padahal, dulu aku bilang pengen sembuh bareng kamu ya?” Biru tersenyum getir. “Kamu… Juga selalu bilang kalau sembuh itu butuh proses. Kamu bahkan siap buat nerima respon trauma aku.”
“Tapi, setelah apa yang terjadi hari ini, aku malah kembali mikir kalau aku masih belum pantes buat kamu dengan kondisi yang belum sembuh kayak gini, Jev.”
“Bahkan di saat aku seharusnya maju buat nyautin orang-orang itu karena ngomongin yang gak bener soal kamu tadi, aku justru cuma diam dan ketakutan terus lari buat menyendiri.” lanjutnya.
“Hey, kamu kok kepikiran kayak gini sih, Sayang?” tanya Jeva lalu kembali mengecup punggung tangan Biru sejenak. “Kamu gak perlu maksain diri ngelawan respon dari trauma kamu buat ngerasa pantas untuk aku, Bi.”
“You are so precious to me, more than you think.” timpalnya.
“Kamu tau seberapa sempurna kamu di mata aku selama ini di balik hal yang justru menurut kamu jadi kekurangan kamu.”
Jeva kemudian mengusap lembut punggung tangan Biru dengan ibu jarinya. “Kalau emang dengan orang lain tau soal hubungan kita bikin kamu ngerasa terganggu…”
“Aku gak apa-apa kok kalau kita pura-pura udah putus, Bi. Aku bakalan bilang ke mereka kalau kamu ninggalin aku karena sikap aku bikin kamu risih,” tuturnya.
Mendengar penuturan pacarnya sontak membuat Biru melepas genggaman tangan Jeva. Nampak raut tidak terima di wajah Biru.
“Kamu tau gak sih, dengan kamu bilang kayak gini, kamu makin bikin aku ngerasa useless, Jev?”
“Kenapa harus selalu kamu yang berkorban buat aku? Kenapa aku kesannya enggak bisa ngelakuin apa-apa buat kamu?” lanjutnya.
“Karena aku sakit? Iya kan, Jev?” air mata Biru kembali menetes.
“Kamu masih nganggap aku kek gitu kan?” suaranya kian lirih.
“Aku tau kok aku sakit, tapi kamu juga tau kan kalau aku gak mau diperlakukan kayak orang sakit?”
Jeva tidak menjawab, namun dia memberikan respon gelengan. Jeva, terlebih dahulu, ingin agar Biru meluapkan isi di benaknya bersama tangis yang ditahannya.
“Aku udah bilang sama kamu dari awal, nggak mudah buat ngejalin hubungan sama orang sakit kek aku.” kata Biru. “Kamu tuh nggak nemenin aku sembuh, tapi kamu cuma nyari penyakit buat diri kamu. Kamu bisa ikutan sakit.”
Sejenak Biru mengambil napas dalam-dalam sebelum menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia menahan tangisnya di sana.
Sementara itu, Jeva masih tetap bungkam. Namun, satu tangan Jeva tak tinggal diam. Diusapnya dengan lembut punggung Biru yang bergetar guna membuat pacarnya itu sedikit lebih tenang.
Sampai saat Biru sudah mulai bisa kembali berbicara, dia pun kembali mengangkat kepalanya. Biru lalu menoleh ke arah Jeva.
“Jev…”
“Iya, Bi?” Jeva mengusap pelan belakang kepala Biru sesaat. “Ngomong aja, aku dengerin.”
Biru menatap Jeva lamat.
“Let’s take a break.”
Penuturan Biru sontak membuat Jeva tercekat, netranya melebar.
“Sayang,” Jeva meraih jemari Biru lalu menggenggamnya amat erat. “Bukan ini yang mau aku denger.”
“Biarin aku sembuh dulu, Jev.”
Bibir Biru bergetar, “Aku gak mau bikin kamu jadi ikutan sakit juga.”
“Orang yang punya sakit kayak aku nggak pantes buat ngejalin hubungan sama siapa-siapa, apalagi sama kamu.” katanya.
“Kamu selalu mencintai aku dengan cara yang sempurna dan kamu bikin aku merasa diterima dengan sempurna juga,” lanjut Biru. “Tapi hari ini aku sadar…”
“Cara aku mencintai kamu belum sesempurna itu, Jev. Aku belum jadi versi terbaik dari diri aku buat bisa mencintai kamu. Aku beneran harus sembuh dulu.”
Biru menunduk, “Let me go.”
Merasa bahwa Biru sudah cukup tenang dan telah selesai dengan apa yang ingin disampaikannya, Jeva lalu membingkai wajah Biru.
“Bi, aku minta maaf kalau ucapan aku yang tadi bikin kamu ngerasa kalau kamu gak ngelakuin apa-apa buat aku.” tutur Jeva, “Tapi aku pengen kamu tau, dengan adanya kamu di sisi aku itu udah bikin aku ngerasa dicintai sama kamu dengan sempurna, Biru.”
“Apa yang aku lakuin buat kamu dan apa yang tadi aku bilang ke kamu itu semata-mata karena aku cuma pengen bikin kamu ngerasa nyaman, Bi.” katanya.
“Aku gak mau siapa pun berani gangguin kamu sampai bikin kamu keinget sama trauma kamu kayak tadi,” lanjut Jeva. “Karena kamu se-berharga itu buat aku.”
Jeva mengusap lembut pipi Biru dengan ibu jarinya, “Kamu gak usah khawatir bakal bikin aku ikutan sakit. Karena bagi aku, kamu itu bukan orang sakit. Kamu itu orang yang butuh ditemenin, butuh dicintai.”
“Jadi biarin aku tetep jalan sama kamu ya, Bi? Kita lewatin semua ini sama-sama,” suara Jeva mulai bergetar. Matanya sembab. “Aku tuh pengen kita jadi versi terbaik dari diri kita sama-sama. I want to grow together with you, Biru.”
Penuturan panjang Jeva berhasil membuat Biru terisak pelan.
“I don’t deserve you, Jev.”
“No. We deserves each other, Bi.”
Tanpa sebuah aba-aba, Biru lantas berhambur ke dalam pelukan Jeva. Pacarnya itu pun dengan sigap membalasnya tak kalah erat. Keduanya berbagi kehangatan, bersamaan dengan isakan pilu Biru yang terbebas.
Menit demi menit pun berlalu, baik itu Jeva maupun Biru sudah sama-sama tenang. Namun, tak ada dari mereka berdua yang rela melepas dekapan hangat itu. Jeva dan Biru masih setia dengan posisi yang sama; berpelukan.
Sampai saat sebuah suara perut keroncongan menggema, Jeva dan Biru refleks terkekeh pelan. Biru pun menarik dirinya dari pelukan Jeva guna memandangi wajah pacarnya dengan raut geli. Sementara itu, Jeva lalu refleks menghapus jejak air mata di pipi Biru bersama senyum manisnya.
“Itu suara perut, apa babi sih?”
Jeva mencebik. “Kita udah telat makan siang tau, Bi. Aku laper.”
“Nasi Padang depan RS kayaknya cocok nih buat ngasih makan si babi di perut aku,” canda Jeva.
“Kita makan di sana aja yuk?”
Biru tersenyum, “Terus bekel kita di ruang Koas gimana?”
“Masih bisa kita makan entar.”
Biru geleng-geleng lalu kembali tersenyum, “Ya udah deh. Ayo.”
Buru-buru Jeva berdiri sebelum menyodorkan satu tangannya ke Biru. Pacarnya itu pun dengan sigap meraihnya hingga dia ikut berdiri. Kini keduanya saling berhadapan, namun bukannya berjalan ke arah pintu, Jeva justru terdiam sambil menatap wajah Biru dengan amat dalam.
“Kenapa?” Biru heran.
“Jangan pernah ngucapin kalimat yang tadi lagi ya, Bi?” pinta Jeva.
Biru yang paham akan maksud Jeva pun mengulum bibirnya diikuti anggukan pelan.
“Maaf ya, ketakutan aku malah bikin aku mikir kayak tadi, Jev.”
“Aku ngerti kok sama ketakutan kamu, Bi.” kata Jeva. “Tapi cerita sama aku ya? Ngomong ke aku. Kita pikirin sama-sama. Oke?”
Lagi, Biru mengangguk. Namun persekian sekon berselang, dia dibuat kaget saat Jeva mencuri satu kecupan kilat di bibirnya.
“Ayo,” Jeva menarik lengan Biru tanpa menunggu respon sang pacar atas ciumannya barusan.
Biru pun hanya menghela napas pasrah sambil mengikuti langkah kaki pacarnya. Tepat saat mereka telah keluar dari pintu menuju tangga darurat itu, keduanya pun dibuat mematung sejenak. Sebab mereka tak sengaja berpapasan dengan Prof Harry; Papa Jeva.
“Jeva, Biru? Kalian abis ngapain keluar dari sana?” tanya si pria paruh baya dengan raut heran. “Kalian kok gak makan siang?”
“Oh,” Jeva gelagapan. “Tadi… Aku sama Biru abis ini… Ngobrol, Pa. Kita baru aja mau makan siang.”
“Kalau Papa ngapain di sini?”
“Papa abis ketemu sama Dokter di Radiologi, makanya lewat sini.” sahut Prof Harry. “Ini Papa mau balik ke ruangan, mau makan.”
Mata Prof Harry memicing.
“Itu kenapa mata kalian kayak orang yang abis nangis?” si pria paruh baya masih penasaran.
Biru menelan ludah. Nampak jika Profesor Harry skeptis dengan alasan mereka. Di lain sisi, Biru pun merasa bahwa sang Direktur perlu tau apa yang dialami Jeva. Apalagi, Biru paham bagaimana takutnya si Profesor jika anaknya itu mendengar omongan tak baik di lingkungan Rumah Sakitnya.
“Loh, sekarang malah diem. Ada apa? Kalian lagi ada masalah ya?” tanya Prof Harry, “Cerita sama Papa, jangan disimpen sendiri.”
Jeva menipiskan bibirnya. Si Papa nampak tak akan berhenti untuk bertanya jika dia tak mengatakan sesuatu, pikirnya lalu bersuara.
“Tadi Jeva sama Biru denger ada orang RS ngomong sesuatu, dan itu bikin Biru jadi inget sama hal yang nggak baik, Pa.” jawab Jeva.
“Jadi Jeva bawa Biru ke sini buat nenangin dia.” jelasnya pelan.
“Kenapa kamu gak ngasih tau ke Papa kamu apa yang orang RS omongin tadi, Jev?” tanya Biru. “Ini bukan cuma soal aku loh.”
Jeva berdeham, terlebih si Papa mengangguk dengan pandangan menuntut. “Mereka… Tau kalau aku sama Biru tuh pacaran, Pa.”
“Orang RS juga ngomongin Jeva, Om.” timpal Biru lalu mendelik ke Jeva sejenak, sebab pacarnya itu justru tidak mengatakan secara lengkap. “Soal… Statusnya dia.”
“Papa kamu berhak tau,” ujar Biru pada Jeva yang nampak enggan ‘tuk berterus terang ke Papanya. “Papa kamu khawatir tau, Jev.”
Jeva melirik Papanya yang jelas kaget mendengar ucapan Biru.
“Aku gak apa-apa kok soal status aku yang diomongin sama orang RS, Pa. Papa gak perlu khawatir,” Jeva berusaha menenangkannya.
“Aku cuma gak terima pacar aku dibawa-bawa kek tadi,” katanya. “Biru gak ada sangkut pautnya.”
“Tapi aku bisa ngatasin ini kok, Pa. Aku bakal terus jagain Biru.” tegasnya, “Papa nggak usah mikir buat ngelakuin apa-apa lagi kek kemarin pas bantuin aku di ICU.”
“Kenapa jadi aku sih, Jev?” Biru tidak terima, “Kamu loh yang diomongin nggak bener tadi.”
“Udah, udah,” Prof Harry lantas menginterupsi. “Kalian cerita di ruangan Papa aja sambil makan. Kalian belum makan siang kan?”
Jeva mengangguk. Pun Biru yang tangannya masih digenggam oleh Jeva. Setelahnya, mereka lantas berjalan mengikuti sang Profesor yang melangkah lebih dahulu menuju ruang kerjanya.