Argument

Jam istirahat makan siang telah tiba. Flow pasien yang masuk ke IGD pun sudah mereda. Alhasil, kini Jeva dan Biru lantas memiliki sedikit waktu ‘tuk mengisi perut.

Dua Koas itu kemudian berjalan beriringan keluar dari ruang IGD menuju tempat mereka biasanya makan dan bertemu; ruang Koas. Baik itu Biru maupun Jeva sama-sama meregangkan otot mereka sesekali sambil terus melangkah.

“Ini gara-gara si Salsa nih,” oceh Jeva. “Segala pake nyebut mantra pagi tadi, kan jadi banyak pasien.”

“Itu bukan karena Salsa, emang kitanya aja yang bau mulu.” kekeh Biru, sementara Jeva mendengus.

“Iya sih, Bi.”

“Semangat,” Biru menepuk pelan pundak Jeva. “Nggak kerasa kita bakal pindah stase lagi kok, Jev.”

“Masih dua Minggu lagi, Bi.” Jeva menghela napas pelan, “Kenapa stase pas di RSCM rasanya lama banget ya, Bi? Aku udah pengen cepet-cepet pindah ke RS lain.”

“Ya itu, kamu ngerasanya lama, soalnya kamu udah mau cepet-cepet pindah stase ke RS lain.”

Biru kemudian melipat lengan di depan dada. “Kamu aneh deh, di RS sendiri kok malah gak betah?”

“Apa gara-gara yang kemarin ya? Pas Papa kamu ngenalin kamu ke orang RS?” timpalnya menebak.

“Bukan gak betah sih, Bi. Asalkan bisa bareng kamu mulu, aku tuh pasti bakalan betah.” sahut Jeva yang membuat Biru mendengus.

“Tapi Koas di RS Papa bikin aku ngerasa jadi… Alasan orang lain terluka bahkan nyakitin mereka.”

Biru menautkan alisnya. Dia tak menangkap ucapan Jeva barusan.

“Maksud kamu apa, Jev?” tanya Biru. “Apa ini tentang aku lagi?”

“Salah satunya tentang kamu,” sahut Jeva. “Pas aku tau kalau kamu dapat DM aneh-aneh, aku jadi ngerasa kalau semua ini gak bakal terjadi kalau aja status aku sebagai anaknya Papa ditutupi.”

“Semua mata tertuju ke aku sejak kabar itu nyebar di RS, dan kamu sebagai pacar aku malah ikutan kena getahnya. Orang-orang jadi nyakitin kamu juga karena aku.”

“Terus kamu tau gak sih, Bi? Aku abis DM-an sama akun kosongan itu pas di farmasi tadi.” lanjutnya.

“Dari isi chatnya, kayaknya dia juga lagi Koas bareng kita deh.”

Biru refleks terbelalak, namun dia tetap diam untuk menyimak ucapan pacarnya lebih dahulu.

“Terus aku jadi ngerasa kalau dia ngirim DM homophobic sekalian buat ngelampiasin rasa kesalnya karena aku dibantuin Papa sama Dokter Ghani di ICU kemarin.”

“Dia… Mungkin ngerasa gak adil karena dia mikir kalau aku dapet bantuan buat ngejelasin kondisi pasien ke suaminya itu karena aku anak Direktur Rumah Sakit.”

“Sementara itu Koas lain dibiarin ngejelasin sendiri, gak dibelain.”

Merasa kalau Jeva sudah selesai dengan keluh kesahnya itu, Biru lantas menarik napasnya dalam-dalam. Satu tangannya kemudian meraih jemari Jeva di samping paha lalu menggenggamnya erat.

“Jev, bisa gak sih sekali aja kamu gak nyalahin diri kamu sendiri?” lirih Biru. “Sejak nge-chat aku tadi, kamu selalu jadi orang yang minta maaf dan ngerasa salah.”

“Nggak logis kalau kamu pengen dan bisa nyenengin semua orang tau gak?” timpal Biru. “Gak bisa.”

“Satu lagi, perasaan setiap orang itu tanggung jawab mereka…”

“Perasaan orang yang nge-DM kamu itu valid kok, dia juga berhak ngerasa kalau semua ini gak adil buat dia.” timpalnya.

“Tapi perasaan itu dia sendiri yang nyiptain, kamu pun gak ada maksud buat nyakitin. Jadi bukan tugas kamu buat nyembuhin, apalagi sampai nyalahin diri kamu sendiri. Dia juga gak tau apa yang sebenarnya terjadi ke kamu dan Papa kamu kemarin.”

“Dia gak tau kalau Papa kamu dateng sama Dokter Ghani ya karena keadaan emang udah genting. Belum lagi, posisinya Papa kamu itu seorang Ayah.”

“Ayah mana sih yang tega ngeliat anaknya dipukulin, diomongin, bahkan kemungkinan namanya dibawa-bawa sampai ke luar RS?”

“Jadi udah ya? It’s not your fault.”

Mengangguk paham, Jeva lalu menghentikan langkahnya. Dia beralih menuntun tubuh Biru agar saling berhadapan dengan tubuhnya. Jeva pun tersenyum saat mereka saling bersitatap. Dia celingukan sebelum kembali menggenggam tangan pacarnya saat melihat keadaan lengang.

“Bi, aku emang gak akan bisa nyenengin semua orang. Tapi, aku boleh ya nyenengin kamu selamanya?” tutur Jeva lembut.

Geleng-geleng kepala, Biru lalu melepaskan tautan tangannya dengan Jeva sebelum mencubit pelan hidung pujaan hatinya itu.

“Bukan waktunya buat flirting.”

Mereka sama-sama tertawa kecil sebelum kembali meneruskan langkahnya menuju ruang Koas.

“Oh iya, kok kamu bisa DM-an sama akun kosongan itu?” tanya Biru. “Bukannya kamu block ya?”

“Aku unblock, terus aku DM. Tapi pas aku ajakin ketemu, eh malah gantian aku yang di-block, Bi.”

“Padahal aku kan pengen bicara baik-baik secara langsung, udah capek ngetik juga. Dikiranya aku mau ngajak berantem kali ya?”

Biru hendak menjawab, namun di saat yang bersamaan, suara dari arah nurse station yang sebentar lagi akan mereka lewati tiba-tiba masuk ke telinganya. Alhasil, Biru juga Jeva lantas berhenti berjalan sesaat. Diam-diam menguping obrolan dari beberapa staff dan perawat rumah sakit yang kini sedang membelakangi mereka.

“Aku juga mikirnya sih gitu. Prof Harry gak ngenalin anak bungsu dia ke publik sebelumnya gara-gara anaknya itu suka laki-laki.”

Salah satu staff pun menyahut.

“Iya, mana yang dipacarin juga anak tirinya Dokter Adit lagi. Masa mereka gak negur anak-anaknya? Minimal pisahin kek, gak satu kelompok Koas gitu.”

“Bener, apalagi Prof Harry punya power. Gampang lah yaa, diatur sama orang kampus,” sahut satu staff lain yang juga ada di sana.

“Kayaknya Prof Harry ngasih tau orang RS kalau Jeva itu anak dia karena pengen ngalihin isu kalau anaknya pacaran sama Biru itu.”

“Iya, tapi anak-anaknya malah tetep nempel sampai hari ini. Gimana nggak ketahuan kalau mereka pacaran?” kata staff yang tadi juga telah sempat menyahut.

“Ada-ada aja deh ya anak jaman sekarang, kayak udah nggak ada cewek aja. Padahal mereka cakep terus calon Dokter. Sayang ih.”

“Tapi sekarang kan zaman udah berubah,” ada satu orang perawat yang kontra. “Negara kita emang belum mengakui, tapi udah ada banyak kok yang menyuarakan keadilan buat mereka. Anak-anak jaman sekarang bukan kita waktu masih muda dulu. Mereka bebas kok mau pacaran sama siapa aja.”

“Ndin, jangan-jangan kamu juga lesbi? Serem deh ngomongnya.”

Biru bisa melihat para staff dan perawat di sana menertawakan seseorang yang kontra tadi. Tapi, ketika perawat tersebut berbalik, hendak meninggalkan rekan-rekan yang menertawainya, saat itu pula tawa di sana terhenti. Sebab, perawat itu buru-buru menoleh kepada temannya lagi; memberi kode untuk berhenti.

Sementara itu, Jeva sendiri diam sambil mengepalkan tangannya di samping paha. Setelahnya, dia lantas menoleh ke Biru. Nampak kalau pacarnya itu menunduk, napas Biru terlihat putus-putus.

Terlalu sibuk menyimak ucapan orang-orang itu membuat Jeva justru lupa untuk membawa Biru pergi dari sana. Alhasil, dia panik.

“Bi, ayo. Kita ke ruang Koas.”

“Aku mau ke toilet dulu ya, Jev?”

“Aku anterin.”

“Gak usah,” kata Biru. “Tunggu aku di ruang Koas aja. See you.”

Biru menepuk pundak Jeva lalu berbalik dan meninggalkan area nurse station menuju ke toilet.