“Ada yang bisa jemput Dika di bandara kan mba?”
“Iya, mas. Saya udah nyuruh adek laki-laki saya buat nungguin Dika di bandara.”
Aksa ngangguk dengerin tetangga Ibunya Dika yang lagi dia telepon; Jessica.
“Oke, mba. Ini saya udah nganterin suami saya ke bandara.”
“Baik, mas Aksa.”
“Saya tutup telponnya dulu ya mba,” kata Aksa sebelum mutus sambungan panggilan itu.
“Sa, aku masuk sekarang ya.”
Dika ngusap puncak kepala Aksa, “Kalau udah nyampe di rumah kabarin aku.”
Dika kemudian noleh ke Rian sama Yuda yang ikut nganterin dia ke Jakarta. Sebelum nanti terbang ke Belitung.
“Yan, jangan ngebut-ngebut ya. Lu gak cuma bawa nyawanya si Yuda.”
“Jujur, lu anjing banget, Ka. Tapi gue masih sedih, jadi gak bisa marah sama lu,”
Yuda meluk Dika, “Safe flight ya, bro. Ingat, yang tabah.”
Rian ikut meluk dua sahabatnya, “Yang kuat, Ka.”
“Iya, jangan lebay lu berdua.”
Dika ketawa, tapi hambar. Aksa pun paham kalau suaminya itu gak mau terlihat sedih di depan siapa-siapa.
Setelah Yuda sama Rian ngelepasin dekapannya, Dika kembali natap Aksa.
“Aku pergi dulu.”
“Dika.”
Aksa nahan lengan suaminya, “Jangan lama di sana ya.”
“Emang kenapa kalau aku lama?”
“...”
Dika senyum tipis ngeliat Aksa cuma diem sambil natap wajahnya pake eskpresi memelas. Dia pun ngebawa Aksa ke dalam pelukannya sebelum ngebisikin kalimat,
“Aku gak bakal lama. Kalau kangen, chat atau telepon aja.”
Aksa ngangguk sebelum Dika ngelepasin tautan mereka.
“Hati-hati, Ka.”
“Mhm,”
Dika nyium kening Aksa. “Kamu juga. Inget jaga hati selama aku gak ada.”
“Aduh, kenapa tiba-tiba panas ya di sini.”
“Hooh, hareudang pisan nya.”
Dika micingin mata ngeliat dua sahabatnya ngeledekin dia sama Aksa, “Jomblo, diem.”
“Udah, masuk sana.” kata Aksa, “Jangan lupa kabarin aku kalo udah nyampe.”
“Iya, Aksa sayang.”